Perayaan Gema Perdamaian XIV 2016 Berlangsung Semarak namun Khidmat
Gema Perdamaian merupakan acara swadana, swadaya. Acara ini tidak dimiliki oleh suatu komunitas tertentu, tapi dimiliki oleh seluruh rakyat Bali, seluruh rakyat Indonesia, seluruh insan pendamba damai.
DENPASAR, NusaBali
Masyarakat dari berbagai suku, agama, ras, dan budaya berkumpul bersama memperingati Gema Perdamaian (GP) XIV 2016 di timur Lapangan Monumen Perjuangan Rakyat Bali kawasan Niti Mandala Denpasar, Sabtu (8/10) sore. Melalui tema ‘Damai Itu Indah, Damai Itu Upaya’, pelaksanaan puncak gema perdamaian tahun ini berlangsung semarak dengan pagelaran berbagai budaya, dan juga berlangsung khidmat dengan lantunan doa-doa.
Acara kemarin sore diawali dengan penampilan gender, palawakya, dan Agni Hotra sekaligus mengiringi undangan VIP menggoreskan ekspresi damai di dua kanvas serta menyaksikan demo dari beberapa ashram. Kemudian dilanjutkan dengan atraksi Okokan yang langsung menjadi pemimpin Padayatra (berjalan berkeliling) mengelilingi lapangan, dan diiringi oleh arak-arakan GP, patung Garuda Pancasila, bentangan kain merah putih sepanjang 100 meter, kain putih sepanjang 100 meter, 100 lembar bendera merah putih, serta paguyuban seni masing-masing etnis daerah yang ada di Bali, seperti penampilan Reog Ponorogo, tari Minang, serta berbagai daerah lainnya.
Ketua Panitia Gema Perdamaian XIV 2016 Jero Jemiwi, mengatakan, Gema Perdamaian yang pertama kali digelar tahun 2003 adalah sebagai sebuah gerakan kebangkitan rasa percaya diri, meyakinkan diri sendiri, dan meyakinkan dunia bahwa Bali ini adalah pulau damai. Dia menegaskan, momentum GP bukan untuk memperingati bom Bali, namun gelaran GP yang dilakukan sebelum tanggal 12 Oktober ini menyiratkan makna bahwa ke depan harus memiliki antisipatif, senantiasa selalu waspada, dan melakukan berbagai upaya damai.
“Kita menyadari bahwa pendidikan akan kedamaian sangat diperlukan. Belajar dari musibah itu (bom Bali, Red), kita mengambil spirit damai, untuk mengingatkan bahwa kita yang berbeda ini baik suku, ras, agama, adat, dan budaya membutuhkan rasa damai sebagai dasar kehidupan,” ujarnya.
Ditambahkan, acara tersebut dihadiri oleh semua pemuka agama yaitu pandita, pinandita, swamiji, yogi, ulama, pastur, dan juga dari kalangan aparat dan pemerintah, seperti Kapolda Bali dan Ketua DPRD Provinsi Bali, serta Kepala Kesbangpol Provinsi Bali yang mewakili Gubernur Made Mangku Pastika karena tidak bisa hadir di tengah-tengah masyarakat yang merayakan gema perdamaian, sebab gubernur sedang melakukan simakrama dengan masyarakat di Kabupaten Buleleng.
Jemiwi mengungkapkan, momentum GP merupakan acara tahunan atas swadana, swadaya, tidak ada satu pihak pun yang menjadi sponsor acara tersebut. Karenanya, acara ini tidak dimiliki oleh suatu komunitas tertentu, tapi dimiliki oleh seluruh rakyat Bali, seluruh rakyat Indonesia, seluruh insan pendamba damai.
“Siapapun bisa ikut di sini, baik dari ormas, non ormas, forum komunikasi, ataupun masyarakat. Acara ini agar kita sadar akan dua hal, pertama, hidup ini luar biasa anugerah indah kalau kita hidup dalam damai dan harmoni. Kedua, damai itu urusan hati, urusan pribadi setiap individu, tapi individu ini untuk disadarkan perlu engineering social sehingga giat gema perdamaian inilah mesin sosialnya,” jelasnya.
Presiden World Hindu Parisad sekaligus Ketua Sabha Pandita PHDI Pusat Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa menambahkan, lantunan doa damai dalam gema perdamaian ini patut dihargai di hadapan peradaban situasi dunia yang bergejolak. Pendidikan informal akan multi kultur, toleransi, dan pemahaman akan arti damai perlu dilakukan selain melakukan upaya yang sifatnya hakikat yaitu berdoa memohon ke hadapan Tuhan.
“Kita meyakini doa menghasilkan energi harmonis yang mampu mengkompensasi energi buruk di dalam kosmik, semoga dapat membawa hasil yang positif,” tuturnya.
Acara semakin khidmat dengan doa bersama yang dipimpin oleh Jero Jemiwi, diikuti oleh seluruh masyarakat dari berbagai agama dan aliran kepercayaan, dilanjutkan dengan penyalaan 10 obor, menerbangkan 10 balon dan kembang api, dibarengi penampilan anak-anak Nusantara dengan pakaian khas daerah yang ada di Indonesia, penampilan Barongsai, barong Tunggal, Ebeg Banyumasan, dan Sasingaan Bamus. Untuk menambah semarak suasana, juga hadir lawak tunggal Sengap dan yoga tertawa, serta penampilan kelompok-kelompok masyarakat, ashram, dan paguyuban seni. * in
Acara kemarin sore diawali dengan penampilan gender, palawakya, dan Agni Hotra sekaligus mengiringi undangan VIP menggoreskan ekspresi damai di dua kanvas serta menyaksikan demo dari beberapa ashram. Kemudian dilanjutkan dengan atraksi Okokan yang langsung menjadi pemimpin Padayatra (berjalan berkeliling) mengelilingi lapangan, dan diiringi oleh arak-arakan GP, patung Garuda Pancasila, bentangan kain merah putih sepanjang 100 meter, kain putih sepanjang 100 meter, 100 lembar bendera merah putih, serta paguyuban seni masing-masing etnis daerah yang ada di Bali, seperti penampilan Reog Ponorogo, tari Minang, serta berbagai daerah lainnya.
Ketua Panitia Gema Perdamaian XIV 2016 Jero Jemiwi, mengatakan, Gema Perdamaian yang pertama kali digelar tahun 2003 adalah sebagai sebuah gerakan kebangkitan rasa percaya diri, meyakinkan diri sendiri, dan meyakinkan dunia bahwa Bali ini adalah pulau damai. Dia menegaskan, momentum GP bukan untuk memperingati bom Bali, namun gelaran GP yang dilakukan sebelum tanggal 12 Oktober ini menyiratkan makna bahwa ke depan harus memiliki antisipatif, senantiasa selalu waspada, dan melakukan berbagai upaya damai.
“Kita menyadari bahwa pendidikan akan kedamaian sangat diperlukan. Belajar dari musibah itu (bom Bali, Red), kita mengambil spirit damai, untuk mengingatkan bahwa kita yang berbeda ini baik suku, ras, agama, adat, dan budaya membutuhkan rasa damai sebagai dasar kehidupan,” ujarnya.
Ditambahkan, acara tersebut dihadiri oleh semua pemuka agama yaitu pandita, pinandita, swamiji, yogi, ulama, pastur, dan juga dari kalangan aparat dan pemerintah, seperti Kapolda Bali dan Ketua DPRD Provinsi Bali, serta Kepala Kesbangpol Provinsi Bali yang mewakili Gubernur Made Mangku Pastika karena tidak bisa hadir di tengah-tengah masyarakat yang merayakan gema perdamaian, sebab gubernur sedang melakukan simakrama dengan masyarakat di Kabupaten Buleleng.
Jemiwi mengungkapkan, momentum GP merupakan acara tahunan atas swadana, swadaya, tidak ada satu pihak pun yang menjadi sponsor acara tersebut. Karenanya, acara ini tidak dimiliki oleh suatu komunitas tertentu, tapi dimiliki oleh seluruh rakyat Bali, seluruh rakyat Indonesia, seluruh insan pendamba damai.
“Siapapun bisa ikut di sini, baik dari ormas, non ormas, forum komunikasi, ataupun masyarakat. Acara ini agar kita sadar akan dua hal, pertama, hidup ini luar biasa anugerah indah kalau kita hidup dalam damai dan harmoni. Kedua, damai itu urusan hati, urusan pribadi setiap individu, tapi individu ini untuk disadarkan perlu engineering social sehingga giat gema perdamaian inilah mesin sosialnya,” jelasnya.
Presiden World Hindu Parisad sekaligus Ketua Sabha Pandita PHDI Pusat Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa menambahkan, lantunan doa damai dalam gema perdamaian ini patut dihargai di hadapan peradaban situasi dunia yang bergejolak. Pendidikan informal akan multi kultur, toleransi, dan pemahaman akan arti damai perlu dilakukan selain melakukan upaya yang sifatnya hakikat yaitu berdoa memohon ke hadapan Tuhan.
“Kita meyakini doa menghasilkan energi harmonis yang mampu mengkompensasi energi buruk di dalam kosmik, semoga dapat membawa hasil yang positif,” tuturnya.
Acara semakin khidmat dengan doa bersama yang dipimpin oleh Jero Jemiwi, diikuti oleh seluruh masyarakat dari berbagai agama dan aliran kepercayaan, dilanjutkan dengan penyalaan 10 obor, menerbangkan 10 balon dan kembang api, dibarengi penampilan anak-anak Nusantara dengan pakaian khas daerah yang ada di Indonesia, penampilan Barongsai, barong Tunggal, Ebeg Banyumasan, dan Sasingaan Bamus. Untuk menambah semarak suasana, juga hadir lawak tunggal Sengap dan yoga tertawa, serta penampilan kelompok-kelompok masyarakat, ashram, dan paguyuban seni. * in
Komentar