MUTIARA WEDA: Guru
Jñānasakti samarudhah tattvamala vibhusitah, Bhukti mukti pradata cha tasmai shri gurave namah. (Guru Stotram, 8)
Sujud ke hadapan Guru, yang mantap dalam pengetahuan dan kekuatan, yang berhiaskan garlan pengetahuan dan yang menganugerahi baik kesejahteraan duniawi maupun pembebasan spiritual.
APAKAH guru yang dimaksudkan adalah catur guru (pengajian, rupaka, wisesa, dan svadhyaya) oleh teks di atas. Mungkin, dalam konteks apapun, ketika predikat ‘guru’ sebagai concern, maka ia benar adanya demikian. Teks di atas menyebutkan guru yang mana pun. Tetapi, jika dilihat dari segi profesi, tugas, dan kewajiban, mungkin bukan keempat itu kategorinya. Karena tidak semua dari keempat guru itu yang berhiaskan garlan pengetahuan dan mampu memberikan berkat kesejahteraan duniawi dan kebebasan sejati. Sehingga, menurut teks di atas, siapapun yang memiliki kualifikasi tersebut layak disebut guru. Dan, karena kualifikasinya, guru yang seperti itu layak untuk disujudi. Ini adalah konsep praktis Hindu yang tetap hidup, meskipun ada beberapa yang menganggap tradisi cium tangan dan sujud di hadapan guru itu tabu.
Namun, meskipun tiada jaminan keempat guru di atas memiliki kualifikasi seperti yang dinyatakan teks, hal yang perlu mendapat perhatian adalah mereka yang memiliki profesi sekaligus sandangan guru. Di Indonesia, mereka yang mengajar di sekolah disebut guru. Para pengajar ini mendapat sandangan itu, sehingga dalam praktiknya menjadi sangat berat. Ini unik dan tragis. Mengapa? Unik karena seorang pengajar belum tentu guru, mereka lebih tepat disebut mentor atau instruktur. Tragis karena menyandang sebutan guru itu sangat berat, jika mengacu sebagaimana teks di atas. Jika guru yang dimaksudkan hanya sekadar profesi untuk memperoleh penghasilan mungkin tidak masalah. Namun, masalahnya, guru yang hendak dicetak oleh bangsa Indonesia adalah guru yang mampu mentransfer pengetahuan, mentransformasi pengetahuan, dan menginternalisasi pengetahuan guna membentuk generasi yang cerdas, bijaksana, dan tercerahkan. Kriterinya tentu mirip dengan teks di atas.
Guna melahirkan lulusan yang cerdas, bijaksana, dan tercerahkan, hal pertama yang harus dipenuhi kriterianya adalah guru harus berkalungkan pengetahuan, yang telah menjadikan pengetahuan itu sebagai bukti diri dalam kehidupannya sehai-hari. Jika lihat kondisi sekarang, apakah guru-guru yang diangkat oleh Negara telah berkalungkan pengetahuan, yang nantinya mampu mencerdaskan muridnya, membuat mereka bijaksana, dan menjadikannya generasi yang tercerahkan? Rasanya jauh panggang dari api, meskipun sebagian kecil dari mereka sudah memenuhi kriteria. Bangsa kita masih darurat baca, tidak hanya masyarakatnya, tetapi juga murid dan gurunya. Menjadi guru masih dijadikan hanya sekadar pekerjaan untuk penghasilan, bukan profesi mulia untuk pelayanan.
Apa yang mesti dikerjakan? Merangsang para guru untuk belajar dan melakukan penelitian sangat penting. Merangsang mereka untuk gemar membaca juga sangat penting. Jika mereka telah cukup memiliki pengetahuan yang bersifat text book, maka modal ini bisa dijadikan pijakan untuk melompat ke jenjang yang lebih tinggi. Pengetahuan text book itu bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan sehingga kecerdasan dan kebijaksaan terasah. Saat kecerdasan dan kebijaksanaan itu tumbuh, maka pencerahan akan segera menyusul. Jika pencerahan diraih, maka inilah ideal dari pendidikan itu, dan peran guru menjadi sentral. Pesan proverb ‘guru kencing berdiri murid kencing berlari’ akan menemui puncaknya. Guru lah yang pertama harus cerdas, bijaksana, dan tercerahkan.
Apa kendala utama dalam membentuk guru seperti itu? Bisa eksternal dan internal. Secara eksternal dapat kita amati sehari-hari, yakni: sarana dan prasarana (seperti buku dan kelengkapannya) belum memadai, ketidakmampuan ekonomi yang membuat orang cenderung memikirkan perutnya ketimbang pengetahuan, pemerintah belum memiliki sistem dan teknik yang jitu di dalam mencetak guru yang ber-qualified, serta tidak adanya tantangan yang membuat orang dipaksa untuk belajar. Faktor internal (yang datang dari dalam diri sendiri), yakni: daya dorong atau keinginan untuk belajar masih lemah, belum mampu menginternalisasi prinsip bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci kehidupan, malas berpikir, dan tidak tertarik dengan berbagai bentuk pengetahuan. Bagaimana merevolusi ini? Apakah bisa ditanyakan kepada rumput yang bergoyang? *
I Gede Suwantana
Komentar