Perilaku Mengolok-Olok
Konon kebiasaan mengolok-olok sudah ditemukan sejak berabad-abad silam di Bali. Pada umumnya, tindak tutur atau perilaku verbal mengolok-olok dilakukan dengan mempermainkan kata dan ungkapan.
Perilaku verbal demikian dianggap biasa dan merupakan ‘hiburan’ merupakan penghinaan, (offence) pelecehan (harassment) atau perundungan (bullying). “Jangan terlalu ngotot bekerja. Sesekali mari tertawa”, olokan demikian amat demotivatif. Ucapan demikian juga dapat mengendorkan semangat, bahkan cenderung mengejek. Sesungguhnya, yang bersangkutan sedang berupaya memperbaiki nasib dengan bekerja giat. Namun, orang lain tidak memahami situasi yang sebenarnya, lalu keluarlah olok-olok demikian, dan perilaku demikian menjadi budaya secara tak sengaja.
Di ruang publik, misalnya seorang perempuan berperawakan gendut, pendek, kulit tidak cerah, diolok-olok sebagai ‘baluan mentas’ (janda lewat). Geeeerr tertawa khalayak menyeruak ria. Bukannya berempati, tetapi malahan diejek karena berpenampilan ‘lucu’ dan ‘aneh’? Penampilan demikian menjadi celah orang iseng untuk mencerca atau menghina sesamanya! Walau maksudnya hanyalah bercanda, namun bisa membuat orang menjadi rendah diri, sakit hati, dicibir dibuatnya!
Saat seperti sekarang musim bencana Covid-19, orang harus tinggal di rumah, keluar bila amat penting, tidak berkumpul berlebihan, menjaga jarak aman dan seterusnya, berakibat bobot badan bertambah.
Bahasa kasarnya penampilan berubah menjadi ‘gendut’, ‘gembrot’, atau ‘membengkak’! Kata-kata demikian sungguh tidak menunjukkan budaya adiluhung, sopan, bermoral dan sebagainya. Apa ada bahasa halus, sopan yang membuat telinga enak mendengarnya, walau kenyataannya demikian. Misalnya, menggunakan sedikit campur kode, seperti misalnya, “Sekarang kamu high resolution, ya?” Dengan campur kode (code mix) bahasa Inggris demikian, pendengarnya lebih enak mendengarnya, walau makna lugasnya sama!
Dalam bahasa gaul yang berterima luas, seperti “Ih, kamu HD ya sekarang!”. Atau, “kamu montok kebablasan”. Orang yang disebut demikian bukannya sakit hati, tersinggung, rendah diri, malahan ia akan membalas dengan ceria, “ tetapi seksi khan!”, penuh percaya diri. Ada yang juga yang gendut itu sebagai ‘kurus yang tertunda”.. Lebih keren mengatakan seseorang yang gendut sebagai “kamu kurus di planet Mars”. Kenapa bisa demikian? Karena di planet Mars 100 kilogram setara dengan 38 kilogram atau langsing! Jadi hanya tinggal di planet yang salah saja.
Sebagian generasi milenial muda terbiasa dengan percakapan penuh olok-olok. Bahkan yang berkembang saat ini, generasi muda yang terjebak dalam prasangka bahwa stand up comedy adalah komedi cerdas.
Padahal kenyataannya stand up comedy sering dijadikan ruang untuk mengolok-olok agama, budaya, politik, ekonomi, atau bahkan pertahanan. Para pelawak sering absen dari kecerdasan diri efek lawakannya mengandung unsur penindasan, perundungan atau cyber bullying, ajang lawakan dengan bungkus bahasa intelek.
Jika fenomena demikian dibiarkan lewat dari perhatian budaya, atau lawakan yang tidak lucu dianggap sekedar aksi lucu-lucuan saja, niscaya beban mental dan efek negatif terpicu dengan amat mudah. Apalagi hal-hal yang diyakini amat sakral dijadikan lawakan lucu, tidak mustahil akan mengundang reaksi keras. Karenanya, kegemaran mengolok-olok dengan dalih humor harus dihilangkan dalam memori budaya seseorang atau sekelompok orang. Liberalisme dan modernism sudah amat merasuki jiwa, maka dari itu kewaspadaan sosial budaya mesti ditingkatkan. Salah satunya adalah meniadakan kriminal perundungan dalam semua aspek budaya Bali yang adiluhung. Dengan cara demikian, maka kebudayaan Bali akan harum mewangi mendatangkan rejeki. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D
(Permerhati Masalah Sosial dan Budaya)
1
Komentar