Hari Aksara Internasional sebagai Momentum Penguatan Literasi Digital
Selamat Hari Aksara Internasional (International Literacy Day) bagi setiap insan literasi dimanapun berada. Pada hari ini, Selasa, 8 September 2020 seluruh masyarakat dunia memperingati Hari Aksara Internasional.
Penulis : I Putu Yoga Purandina, M.Pd.
Dosen Jurusan Dharma Acarya, STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Peringatan yang dikenal pula sebagai Hari Melek Huruf Internasional ini muncul pertama kali pada konfrensi pemberantasan buta huruf yang diadakan pada tanggal 8-19 September di Teheran, Iran. Kemudian pada Tahun 1966 UNESCO mencanangkan Hari Aksara Internasional (International Literacy Day) untuk selalu diperingati setiap tahunnya. Kemudian pada tahun 1967 Hari Aksara International ini pertama kali diperingati oleh masyarakat dunia.
Pencanangan Hari Aksara Internasional bertujuan untuk mengingatkan masyarakat dunia akan pentingnya melek aksara atau melek huruf bagi setiap individu di dunia ini. Di setiap penjuru dunia masalah pendidikan, buta huruf, kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang menjadi momok setiap bangsa dan Negara. Bagaimana tidak, fenomena ini sampai saat ini masih kita hadapi. Di samping itu, permasalahan yang diakibatkan oleh kurangnya kemampuan dalam literasi dewasa ini juga menjadi permasalahan yang snagat serius terutama di dunia maya yang sering kita sebut dengan literasi digital (Digital Literacy).
Apakah yang dimaksud dengan literasi? Apa pula yang dimaksud dengan literasi digital? Dalam arti sempit literasi merupakan kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis atau sering disebut dengan melik huruf. Namun dalam arti luas, literasi tidak sekedar membaca dan menulis, namun sebuah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahmi informasi secara menyeluruh dengan melakukan proses membaca dan menulis. Seseorang harus mampu memilah dan memilih informasi yang sesuai fakta dan tidak berisi ujaran kebencian yang menyinggung SARA. Sedangkan literasi digital merupakan kemampuan sesorang dalam membaca dan menulis dengan kaitannya mengolah informasi di dunia digital, baik menulis, membaca, membagiakan, dan mengomentari informasi.
Di Indonesia sendiri, dikutif dari laman resmi kemdikbud.com tanggal 29 Agustus 2019, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah penduduk buta aksara turun menjadi 3,29 juta orang pada tahun 2018, dimana sebelumnya pada tahun 2017 tercatat ada 3,4 juta orang atau 1,93% penduduk buta aksara. Hal ini merupakan keberhasilan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan Republik Indonesia. Pemerintah menjadikan program penuntasan buta aksara ini sebagai prioritas atau fokus. Memang program ini sudah sangat berasil jika dilihat dari awal kemerdekaan dimana terdapat 97% penduduk buta aksara.
Sebagi bangsa yang bangsa yang besar, memang kita harus berbangga dengan keberhasilan program pemerintah dalam pemberantasan buta aksara ini secara langsung maupun tidak langsung telah mampu memajukan bangsa kita di segala lini kehidupan. Dengan melek asara setiap penduduk dewasa ini menjadi lebih mandiri, lebih dmokratis, lebih terbuka terhadap informasi, tingkat pendidikan yang semakin baik, tingkat ekonomi yang semakin baik, serta dipandang dalam pergaulan dunia internasional. Namun dibalik itu permasalahan baru pun mulai muncul. Ternyata tidak setiap orang tidak cukup hanya dibekali kemampuan membca dan menulis saja. Akan tetapi dibutuhkan sebuah kemampuan literasi yang lebih kompleks. Terutama dalam literasi digital ini.
Permasalahan yang terjadi belakangan ini adalah seringnya terjadi kegaduhan dalam menyikapi sebuah fenomena di media sosial. Memang perbedaan pendapat atau sikap merupakan sesuatu keniscayaan atau kewaajaran dalam negara demokrasi. Diskusi, menyampaikan pendapat, memberikan solusi, dll merupakan hal yang baik dalam negara demokrasi. Malah hal ini akan selalu mengobarkan api semangat kebersamaan sebagai bangsa yang besar. Namun belakngan hal yang terjadi bukanlah sebuah diskusi perbedaan yang indah dan menyejukkan, melainkan sebuah debat kusir yang tidak ada ujung pangkalnya. Lebih parah lagi diskusi yang terjadi di media sosial telah bersinggungan dengan SARA. Misalnya seperti membuli, menyerang perseorangan, memaki, berkata kasar, menyebarkan hoax, kampanye hitam, melakukan pembunuhan karakter, dll.
Hal ini sungguh sangat memilukan dan memalukan. Sebagai bangsa yang besar semestinya kita harus mampu mengupgrade kemapuan literasi kita yang tidak hanya mampu dalam mebaca dan menulis saja. namun harus pula mampu mengolah informasi yang didapat khususnya di dunia maya. Informasi yang dibaca, ditulis, dan digaikan hendaknya informasi yang benar sesuai data dan fakta yang sebenarya di lapangan. Sehingga tidak akan mudah dihasut, menghasut, dipolitisi, mempolitisi, serta lebih dewasa dalam menggunakan media sosial. “Saring sebelum Sharing”, merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan hal ini.
Sebagai bangsa yang maju tidaklah cukup jika sekedar menjadi bangsa yang melek huruf dalam hal ini baca dan tulis saja. Lebih baik jika kemampuan literasi secara lebih luas untuk dikuasai. Untuk menguasai kemampuan literasi yang lebih baik dan luas memang tidaklah gampang. Perlu adanya sebuah upaya peningkatan kemampuan membaca dan menulis itu sendiri, dibarengi dengan peningkatan pengetahuan
umum, kepekaan nalar dalam memilah informasi, serta santun dalam berujar.
Pada era revolusi industry 4.0 ini setiap individu harus mampu meningkatkan soft skill seperti (a) Menyelesaikan Masalah secara Sietematis (Complex Problem Solving), (b) Berfikir Kritis (Critical Thinking), (c) Kreatif (Creativity), (d) Kemampuan Memimpin/Leadership (People Management), (e) Menjalin Hubungan Baik dengan Setiap Orang (Coordinating with Other), (f) Mampu Mengelola Emosi (Emotion Intelligence), (g) Mampu Mengambil Keputusan dengan Cepat (Judgment and Decision Making), (h) Melayani (Service Orientation), (i) Menjadi Negosiator yang Handal (Negotiation), (j) Mampu Berfikir sesuai dengan Kebutuhan (Cognitive Flexibility).
Sepuluh kemampuan yang harus dikuasai setiap individu tersebut akan membantu melengkapi kemapuan membaca dan menulis, untuk meningkatkan kemampuan literasi di era digital ini. Semua pihak harus sadar dengan hal ini, kalau tidak komunikasi yang terjadi di dunia digital akan sangat tidak manusiawi (barbar). Wibawa bangsa akan jatuh dihadapan masyarakat dunia. Untuk itu, para insan pendidik, baik guru, dosen, pemerintah, orang tua dan masyarakat hendaknya menanamkan literasi yang lebih luas khususnya literasi digital kepada anak kita, sebagai penerus kemajuan dan kewibawaan bangsa kita tercinta ini. Pada peringatan Hari Aksara Internasional ini, semoga kita semua sadar akan pentingnya literasi sebagai kebutuhan yang hakiki dalam bersosialisasi khususnya di dunia digital.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar