Berkat Ketekunannya Menulis 4.120 Cakep Lontar Aksara Bali
Setelah Sabet 'Nugra Jasadharma Pustaloka Tahun 2019', Ida I Dewa Gede Catra Kembali Dapat Muri
Ida I Dewa Gede Catra masih terus berkarya nyurat lontar aksara Bali hingga usianya yang kini 83 tahun. Tokoh dari Sidemen, Karangasem ini sudah menulis sejumlah lontas usada, seperti Lontar Kalima Usada Mahaputus, Kalima Osada Kalima Osadi, Ratuning Usada, Usada Wong Agering,Usada Tatenger Beling, Usada Netra
AMLAPURA, NusaBali
Ketekunan dan konsistensi Ida I Dewa Gede Catra, 83, dalam menyalin dan menulis lontar aksara Bali, berbuah penghargaan. Tokoh sepuh berusia 83 tahun asal Banjar Tengah, Desa Sidemen, Kecamatan Sidemen, Karangasem ini kembali mendapatkan plakat Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai ‘Penulis Lontar Aksara Bali Terbanyak’, yakni mencapai 4.120 cakep lontar. Sebelumnya, dia juga sabet penghargaan nasional ‘Nugra Jasadharma Pustaloka Tahun 2019’.
Penghargaan Muri tersebut telah diserahkan pihak manajemen Muri kepada Ida I Dewa Gede Catra di salah satu hotel kawasan wisata Ubud, Gianyar, 30 Agustus 2020 lalu. Sebulan sebelum dianugerahi plakat Muri, Dewa Catra sempat menerima surat dari pendiri dan sekaligus Ketua Umum Muri, Jaya Suprana, untuk meraih penghargaan. Kemudian, pihak Muri mengutus orang ke rumah Dewa Catra.
Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi Muri atas ketekunan dan konsistensi Dewa Catra dalam melestarikan budaya menulis aksara Bali di daun lontar. Dewa Catra telah menggeluti profesinya sebagai penulis aksara Bali di daun lontar selama 48 tahun, sejak 1972. Selama itu pula, tokoh sepuh kelahiran 23 Juni 1937 yang sempat menjadi guru SD ini telah menulis 4.120 cakep lontar.
"Awalnya saya bingung, kenapa saya dapat undangan meraih Muri. Padahal, saya tak pernah berambisi meraih penghargaan itu. Biasanya, untuk meraih Muri, orang mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah guna membuat acara spektakuler," ungkap Dewa Catra saat ditemui NusaBali di kediamannya, Jalan Untung Surapati Amlapura, Karangasem, Selasa (8/9).
Meski merendah, kiprah Dewa Catra sebagai penulis lontar aksara Bali sebetulnya sudah mendapat pengakuan secara nasional. Setahun sebelum dapat plakat Muri, Dewa Catra sudah sempat meraih penghargaan tingkat nasional, yakni ‘Nugra Jasadharma Pustaloka Tahun 2019’ untuk kategori pelestari naskah kuno. Penghargaan ‘Nugra Jasadharma Pustaloka Tahun 2019’ tersebut diserahkan langsung Ke-pala Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, dalam acara Gemilang Perpustakaan Nasional di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, 5 September 2019 silam.
Penghargaan tingkat nasional itu juga diraih Dewa Catra atas ketekunannya menyalin 4.120 cakep lontar. Rinciannya, Dewa Cakra menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis naskah asli 120 cakep lontar. Lontar yang ditulis Dewa Cakra, termasuk tentang usada (pengobatan). Lontar usada yang telah ditulis Dewa Catra dan kini dikoleksi di Museum Pustaka Lontar di Desa Pakraman Dukuh Penaban, Kecamatan Karangasem, antara lain, Lontar ‘Kalima Usada Mahaputus’, ‘Kalima Osada Kalima Osadi’, ‘Ratuning Usada’, ‘Usada Wong Agering’, ‘Usada Tatenger Beling’, dan Usada Netra’.
Ketertarikan Ida I Dewa Gede Catra menulis aksara Bali di daun lontar berawal tahun 1970, ketika masih menjadi guru SD di Karangasem. Kala itu, Dewa Catra yang masih berusia 35 tahun sering melayani pamannya, I Dewa Made Oka, yang menjadi balian (dukun). Suatu ketika, pamannya menyuruh Dewa Catra menulis aksara Bali di daun lontar mengenai obat yang diperlukan pasiennya, setelah ngewacakang sakitnya.
Tulisan yang dituangkan di daun lontar menggunakan pisau temutik, boleh dibilang semacam resep untuk mendapatkan obat buat sang pasien. Sejak itu sang paman rutin menyuruh Dewa Catra bantu menulis di daun lontar mengenai jenis-jenis obat yang diperlukan pasiennya.
Karena tulisan aksara Bali-nya di daun lontar lumayan baik, maka Dewa Catra disarankan sang paman untuk menulis satu cakep lontar berjudul ‘Kunti Yadnya Nila Candra’. Dewa Catra pun melaksanakan saran pamannya. Lontar Kunti Yadnya Nila Candra yang ditulis Dewa Catra tahun 1972 itu hingga kini masih disimpan, tidak dijual dan diberikan kepada siapa pun. “Lontar Kunti Yadnya Nila Candra itu saya simpan dan dkeramatkan sebagai pembuka sejarah saya selaku penulis lontar,” kenang Dewa Catra.
Lontar aksara Bali kedua yang ditulis Dewa Catra adalah berjudul ‘Tantri’. Setelah menulis lontar Tantri, Dewa Catra rutin menulis hingga akhirnya menulis 120 naskah asli di daun lontar. Selain itu, mantan Kepala Sekolah (Kasek) SD Padangkerta, Kecamatan Karangasem (1986-1992) ini juga menyalin 4.000 cakep lontar aksara Bali.
Dewa Catra sempat kesulitan mendapatkan daun lontar yang siap ditulis. Maka, dia pun berusaha dan akhirnya menemukan tata cara menyediakan bahan baku daun lontar yang berkualitas. Ilmu itu juga didapatkan dari sang paman. Daun lontar yang dipilih adalah yang serat dan panjangnya bagus, lalu dijadikan satu ikat. Setelah itu, daun lontar tersebut direbus, lalu dijemur, dan setelah kering dipress selama 3 bulan. Setelah itu, masih berlanjut press kedua dan seterusnya hingga memakan waktu selama 2 tahun.
Menurut Dewa Catra, selama periode 1972-1979, dirinya lebih banyak menulis lontar pesanan, berupa silsilah keluarga. Pada 1975, dia sempat dapat proyek menulis lontar dari pusat senilai Rp 20 juta, atas perantara Kadis Pendidikan Dasar Bali (waktu itu) I Wayan Warna. Agar proyek itu tuntas selama 3 bulan, Dewa Catra memanfaatkan penulis lontar se-Bali, hingga mampu mengoleksi 400 cakep lontar. Koleksi tersebut kemudian diserahkan ke UPTD Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Dewa Catra juga aktif nyurat awig-awig di daun lontar, sejak tahun 1999. Diawali dengan nyurat lontar awig-awig Desa Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen. "Satu hal yang sulit dalam menyurat lontar awig-awig adalah ketika memasuki Bab III. Sebab, di situ mengatur orang, antara krama tamiu dengan krama pribumi, sehingga perlu pasal-pasal yang tepat," kata ayah 4 anak dari pernikahannya dengan almarhum Jro Wija Kesuma ini.
Di usianya yang kini menginjak 83 tahun, Dewa Catra masih tetap aktif menulis lontar aksara Bali. Dari empat anaknya, hanya si bungsu Ida Ayu Puspita Padmi yang mewarisi hobi Dewa catra menulis lontar. Saat ini, Ida Ayu Puspita Padmi menjadi guru di SMPN 5 Amlapura. Sedangkan tiga anaknya yang lain, kurang tertarik menulis lontar, yakni I Dewa Gede Putu Pucangan (alm), I Dewa Ayu Kusuma Dewi, dan I Dewa Ayu Mayun Trisna Wati. *k16
Penghargaan Muri tersebut telah diserahkan pihak manajemen Muri kepada Ida I Dewa Gede Catra di salah satu hotel kawasan wisata Ubud, Gianyar, 30 Agustus 2020 lalu. Sebulan sebelum dianugerahi plakat Muri, Dewa Catra sempat menerima surat dari pendiri dan sekaligus Ketua Umum Muri, Jaya Suprana, untuk meraih penghargaan. Kemudian, pihak Muri mengutus orang ke rumah Dewa Catra.
Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi Muri atas ketekunan dan konsistensi Dewa Catra dalam melestarikan budaya menulis aksara Bali di daun lontar. Dewa Catra telah menggeluti profesinya sebagai penulis aksara Bali di daun lontar selama 48 tahun, sejak 1972. Selama itu pula, tokoh sepuh kelahiran 23 Juni 1937 yang sempat menjadi guru SD ini telah menulis 4.120 cakep lontar.
"Awalnya saya bingung, kenapa saya dapat undangan meraih Muri. Padahal, saya tak pernah berambisi meraih penghargaan itu. Biasanya, untuk meraih Muri, orang mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah guna membuat acara spektakuler," ungkap Dewa Catra saat ditemui NusaBali di kediamannya, Jalan Untung Surapati Amlapura, Karangasem, Selasa (8/9).
Meski merendah, kiprah Dewa Catra sebagai penulis lontar aksara Bali sebetulnya sudah mendapat pengakuan secara nasional. Setahun sebelum dapat plakat Muri, Dewa Catra sudah sempat meraih penghargaan tingkat nasional, yakni ‘Nugra Jasadharma Pustaloka Tahun 2019’ untuk kategori pelestari naskah kuno. Penghargaan ‘Nugra Jasadharma Pustaloka Tahun 2019’ tersebut diserahkan langsung Ke-pala Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, dalam acara Gemilang Perpustakaan Nasional di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, 5 September 2019 silam.
Penghargaan tingkat nasional itu juga diraih Dewa Catra atas ketekunannya menyalin 4.120 cakep lontar. Rinciannya, Dewa Cakra menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis naskah asli 120 cakep lontar. Lontar yang ditulis Dewa Cakra, termasuk tentang usada (pengobatan). Lontar usada yang telah ditulis Dewa Catra dan kini dikoleksi di Museum Pustaka Lontar di Desa Pakraman Dukuh Penaban, Kecamatan Karangasem, antara lain, Lontar ‘Kalima Usada Mahaputus’, ‘Kalima Osada Kalima Osadi’, ‘Ratuning Usada’, ‘Usada Wong Agering’, ‘Usada Tatenger Beling’, dan Usada Netra’.
Ketertarikan Ida I Dewa Gede Catra menulis aksara Bali di daun lontar berawal tahun 1970, ketika masih menjadi guru SD di Karangasem. Kala itu, Dewa Catra yang masih berusia 35 tahun sering melayani pamannya, I Dewa Made Oka, yang menjadi balian (dukun). Suatu ketika, pamannya menyuruh Dewa Catra menulis aksara Bali di daun lontar mengenai obat yang diperlukan pasiennya, setelah ngewacakang sakitnya.
Tulisan yang dituangkan di daun lontar menggunakan pisau temutik, boleh dibilang semacam resep untuk mendapatkan obat buat sang pasien. Sejak itu sang paman rutin menyuruh Dewa Catra bantu menulis di daun lontar mengenai jenis-jenis obat yang diperlukan pasiennya.
Karena tulisan aksara Bali-nya di daun lontar lumayan baik, maka Dewa Catra disarankan sang paman untuk menulis satu cakep lontar berjudul ‘Kunti Yadnya Nila Candra’. Dewa Catra pun melaksanakan saran pamannya. Lontar Kunti Yadnya Nila Candra yang ditulis Dewa Catra tahun 1972 itu hingga kini masih disimpan, tidak dijual dan diberikan kepada siapa pun. “Lontar Kunti Yadnya Nila Candra itu saya simpan dan dkeramatkan sebagai pembuka sejarah saya selaku penulis lontar,” kenang Dewa Catra.
Lontar aksara Bali kedua yang ditulis Dewa Catra adalah berjudul ‘Tantri’. Setelah menulis lontar Tantri, Dewa Catra rutin menulis hingga akhirnya menulis 120 naskah asli di daun lontar. Selain itu, mantan Kepala Sekolah (Kasek) SD Padangkerta, Kecamatan Karangasem (1986-1992) ini juga menyalin 4.000 cakep lontar aksara Bali.
Dewa Catra sempat kesulitan mendapatkan daun lontar yang siap ditulis. Maka, dia pun berusaha dan akhirnya menemukan tata cara menyediakan bahan baku daun lontar yang berkualitas. Ilmu itu juga didapatkan dari sang paman. Daun lontar yang dipilih adalah yang serat dan panjangnya bagus, lalu dijadikan satu ikat. Setelah itu, daun lontar tersebut direbus, lalu dijemur, dan setelah kering dipress selama 3 bulan. Setelah itu, masih berlanjut press kedua dan seterusnya hingga memakan waktu selama 2 tahun.
Menurut Dewa Catra, selama periode 1972-1979, dirinya lebih banyak menulis lontar pesanan, berupa silsilah keluarga. Pada 1975, dia sempat dapat proyek menulis lontar dari pusat senilai Rp 20 juta, atas perantara Kadis Pendidikan Dasar Bali (waktu itu) I Wayan Warna. Agar proyek itu tuntas selama 3 bulan, Dewa Catra memanfaatkan penulis lontar se-Bali, hingga mampu mengoleksi 400 cakep lontar. Koleksi tersebut kemudian diserahkan ke UPTD Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Dewa Catra juga aktif nyurat awig-awig di daun lontar, sejak tahun 1999. Diawali dengan nyurat lontar awig-awig Desa Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen. "Satu hal yang sulit dalam menyurat lontar awig-awig adalah ketika memasuki Bab III. Sebab, di situ mengatur orang, antara krama tamiu dengan krama pribumi, sehingga perlu pasal-pasal yang tepat," kata ayah 4 anak dari pernikahannya dengan almarhum Jro Wija Kesuma ini.
Di usianya yang kini menginjak 83 tahun, Dewa Catra masih tetap aktif menulis lontar aksara Bali. Dari empat anaknya, hanya si bungsu Ida Ayu Puspita Padmi yang mewarisi hobi Dewa catra menulis lontar. Saat ini, Ida Ayu Puspita Padmi menjadi guru di SMPN 5 Amlapura. Sedangkan tiga anaknya yang lain, kurang tertarik menulis lontar, yakni I Dewa Gede Putu Pucangan (alm), I Dewa Ayu Kusuma Dewi, dan I Dewa Ayu Mayun Trisna Wati. *k16
Komentar