MUTIARA WEDA: Mencuri sebagai Yadnya?
Yajñārthāt karmano ‘nyatra loko ‘yam karma bandhanah, Tad artham karma kaunteya mukta sangah samāchara. (Bhagavad-gita, III.9)
Kerja harus dilaksanakan sebagai yadnya. Jika tidak, kerja menyebabkan rintangan di dunia material ini. Maka dari itu, wahai Putra Kunti, lakukan apa yang menjadi kewajibanmu tanpa harus terikat dengan hasilnya.
APAKAH semua jenis pekerjaan yang dilaksanakan sebagai yadnya akan menjadikan dunia ini aman dan sejahtera, damai, dan bahagia? Pekerjaan ada yang baik dan ada yang buruk. Pekerjaan yang baik artinya pekerjaan yang setiap orang menyetujuinya, sementara pekerjaan buruk adalah pekerjaan yang tidak disetujui oleh siapa pun termasuk oleh orang yang sedang mengerjakannya. Kalau pekerjaan baik dikerjakan sebagai yadnya mungkin luar biasa. Tetapi, jika pekerjaan buruk dikerjakan sebagai yadnya, apa jadinya? Perang adalah pekerjaan yang sebenarnya tidak disetujui oleh siapa pun, tetapi Krishna menganjurkan agar Arjuna harus berperang. Krishna menyatakan bahwa tindakan perang itu harus dilakukan sebagai yadnya dan tidak terikat akan hasilnya.
Mencuri juga pekerjaan, korupsi juga pekerjaan, menyalahkan orang lain juga pekerjaan. Jika itu adalah profesi seseorang dan kemudian mendedikasikan dirinya untuk mengerjakan itu dengan penuh pengorbanan dan tanpa pamrih, apa yang akan terjadi? Seorang yang bekerja sebagai pencuri sangat mencintai pekerjaannya dan melakukannya dengan penuh kesadaran, mendedikasikan semuanya sebagai yadnya, dan tidak terikat akan hasilnya, apa jadinya? Tidak dipungkiri, jika teks di atas dijadikan sebagai landasan, maka apapun jenis pekerjaan itu secara moral demikian adanya. Teks di atas tidak memisahkan jenis pekerjaan. Teks di atas hanya menyebut bahwa pekerjaan harus dikerjakan sebagai yadnya. Jika pernyataannya seperti ini, maka segala jenis pekerjaan bisa masuk. Penekanannya bukan pada jenis pekerjaan, tetapi bagaimana pekerjaan itu dikerjakan.
Demikianlah kerja pikiran yang bekerja sesuai dengan data yang diperolehnya. Jika data yang diperolehnya sedikit, maka dengan sedikit itu pikiran bekerja, demikian juga sebaliknya. Jika orang mendapatkan data tentang kebenaran hanya pada satu bentuk yang dimuat pada sebuah teks tertentu saja, maka pikiran akan melihat kebenaran hanya pada bentuk itu dan tidak bisa melihatnya dalam bentuk yang lain. Pikiran punya asumsinya dan untuk dirinya semua asumsi itu benar adanya. Upanisad mencontohkannya dengan sangat baik. Orang buta yang diminta untuk mendeskripsikan seekor gajah. Ketika orang itu menyentuh kupingnya yang lebar, orang itu punya persepsi bahwa gajah itu seperti kipas besar, dan seterusnya.
Teks di atas akan dipersepsi lain ketika orang mendalami keseluruhannya. Ia akan mampu melihat dalam konteks apa teks di atas dihadirkan. Hanya ketika gajah itu dikenali secara menyeluruh saja yang dapat membuat pikiran mempersepsi sesuai aslinya. Tapi, masalah latennya adalah sebagian besar orang buta dan tidak mampu melihat sesuatu dengan utuh. Kebenaran yang diyakini dan dilaksanakan sebagian besar berupa persepsi yang terbangun dari pecahan. Makanya, kebenaran yang dijunjung oleh semua umat manusia selalu berdinamika. Setiap orang memegang kebenaran, tetapi kebenaran yang ada pada orang lain lebih sering salah. Si A berpegang pada kebenaran, demikian juga dengan si B. Si A melihat bahwa kebenaran yang dipegang si B tidak benar dan si B juga melihat bahwa si A salah.
Kebenaran yang berbingkai persepsi ini yang selalu bertikai. Bahkan, orang yang telah mampu melihat keseluruhan pun tidak bisa meniadakan atau melerai pertikaian. Kebenaran yang dipegang olah Pandawa dan oleh Korawa bersifat perspektifal yang hadir dari persepsi, tetapi kebenaran yang dilihat oleh Krishna bersifat menyeluruh. Meskipun menyeluruh, Krishna tidak mampu mendamaikan pertikaian, dan bahkan harus berpihak pada kebenaran perspektifal tersebut. Bahkan yang spektakuler, meskipun Arjuna dari pihak Pandawa telah luluh, Krishna bergeming dari dukungannya untuk perang dan ‘memprovokasi’ Arjuna dengan ajaran esoteris tentang kehidupan. Pemahaman yang menyeluruh dari pihak Krishna pun harus menggantungkan diri dari pemahaman perspektifal. Alasannya? Guna menegakkan rumah kebenaran yang baru, kebenaran yang telah ternoda pun harus dihabiskan sampai ke akar. Caranya? Perang. *
I Gede Suwantana
1
Komentar