Pasca Kasepekang, Krama Diusir Saat Ngayah di Pura
GIANYAR, NusaBali
Salah satu dari dua krama Desa Adat Jro Kuta Pejeng, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar yang kasepakang (dikucilkan secara adat), dipulangkan paksa saat ngayah di Pura Kebo Edan, Kamis (10/9) pagi.
Sempat melawan, I Ketut Suteja, krama yang disuruh pulang paksa tersebut, akhirnya bersedia meninggalkan pura demi menjaga kondusivitas. Saat ngayah di Pura Kebo Edan, Kamis kemarin, Ketut Suteja disuruh pulang oleh Kelian Adat Banjar Intaran, Desa Pejeng, Made Sukerta. Aksi pengusiran saat ngayah di pura ini kontan memicu ketegangan. Kapolsek Tampaksiring AKP I Wayan Sujana SH MM, Camat Tampaksiring Nyoman Alit Wirawan, Danramil Tampaksiring Kapten AA Raka Malya pun sempat terjun ke Pura Kebo Edan dan rumah Ketut Suteja, untuk meredakan situasi.
Ketut Suteja sendiri kemarin pagi ngayah untuk persiapan upacara Ngerehin Sesuhunan di Pura Kebo Edan, Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Kehadirannya dilihat oleh prajuru adat, hingga kemudian disuruh pulang dari pura. "Tiba-tiba datang salah satu prajuru, yaitu kelian banjar adat. Tiyang disuruh pulang, dengan alasan tiyang sudah dapat surat kanorayang (kasepekang, Red)," tutur Ketut Suteja.
Ketut Suteja pun menolak pulang dari pura. Menurut Suteja, dirinya keberatan disuruh pulang saat menjalankan kewajiban ngayah sebagai krama adat. "Tiyang datang ke pura tujuannya untuk ngayah. Tiyang subakti ring Ida Sesuhunan, nunas rahayu,” dalihnya.
Menurut Suteja, dirinya bersikukuh tidak mau pergi dari pura, dengan alasan pura adalah tempat umum khususnya bagi umat Hindu. “Hendaknya tidak ada larangan meyadnya bagi umat Hindu dari mana pun. Tapi, justru di sini kok saya diusir? Padahal, turis yang bukan umat Hindu dan dari luar negeri saja bebas masuk dan melihat pura-pura di Pejeng," protesnya.
Namun, pada akhirnya, demi menjaga kondusivitas, Suteja pilih meredam emosi dan pulang dari lokasi ngayah di Pura Kebo Edan. "Di jaba pura, saya ketemu Perbekel (Kepala Desa Pejeng, Tjokorda Agung Kusuma Yuda, Red). Dia bilang, 'Tolong Pak Tut, biar situasi di Pejeng kondusif'. Setelah itu, saya mau pulang, untuk agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan," beber Suteja.
Sementara, rombongan Muspika Tampaksiring kemarin sempat mendatangi rumah Ketut Suteja di Banjar Intaran, Desa Pejeng. Kapolsek Tampaksiring dan Camat Tampaksiring menanyakan permasalahan yang dihadapi Suteja. “Saya intinya tetap memohon agar masalah saya dikanorayang agar dibicarakan sama jajaran Muspika," harap Suteja.
Sayangnya, Kelian Adat Banjar Intaran, Desa Pejeng, Made Sukerta, belum berhasil dikonfirmasi terkait pengusiran krama kasepekang saat ngayah di Pura Kebo Edan. Ketika dihubungi NusaBali per telepon, Kamis kemarin, Made Sukerta tidak mengangkat ponselnya. Pesan WhatsApp yang dikirim NusaBali juga belum dibaca hingga berita ini ditulis.
Terkait kasus kasepekang di Desa Adat Jero Kuta Pejeng ini, sebagaimana diberitakan, sejumlah warga Desa Pejeng sempat menemui Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra, 4 Agustus 2020) lalu. Perwakilan warga, I Ketut Wisna, mengatakan kedatangan tersebut untuk menyampaikan masalah tanah teba yang dijadikan pekarangan desa (PKD). Selain itu, warga juga mengadukan pengenaan sanksi kase-pekang bagi dua krama yang membuat laporan polisi terkait polemik tanah teba ini.
Dua krama yang kasepekang tersebut, masing-masing I Made Wisna (asal Banjar Guliang, Desa Pejeng) dan I Ketut Suteja (Banjar Intaran, Desa Pejeng). Keduanya kasepekang dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng, sejak 1 Agustus 2020 lalu. Sejak saat itu, Ketut Suteja dan Made Wisna berikut keluarganya dilarang melakukan kegiatan ngayah dan menggunakan fasilitas desa adat.
"Sanksi adat tersebut kami terima 1 Agustus 2020 melalui surat tertulis yang langsung berlaku saat itu juga. Hak kami selaku krama adat sudah dicabut. Kalau mati pun, tidak dapat kuburan," ungkap Made Wisna saat itu. Sedangkan untuk kewajiban adat, kata Wisna, belum ada penjelasan lebih lanjut. "Sampai kapan dikenakan sanksi ini, juga belum ada penjelasan," katanya. *nvi
Komentar