Netralisir Butha Kala dengan Ngerebeg di Tegallalang
Ratusan krama (warga) Desa Pakraman Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, mengikuti ritual Ngerebeg, Buda Kliwon Pahang, Rabu (12/10), di desa pakraman setempat.
GIANYAR, NusaBali
Ritual ini serangkaian Karya Pujawali di Pura Duur Bingin, Tegallalang. Ritual yang dilaksanakan secara turun-temurun ini bertujuan memohon keselamatan umat.
Di sela-sela persiapan ritual, Bendesa Adat Tegallalang I Made Jaya Kusuma menjelaskan, kegiatan ini untuk menetralisir segala pengaruh negatif yang ada di lingkungan Desa Pakraman Tegallalang. Wujud ritual ini, para pengayah (warga) mulai dari anak-anak hingga dewasa, dihias seluruh tubuhnya agar terlihat seram. Mereka menyimbolkan diri sebagai wong samar. Ritual ini sesungguhnya untuk memberikan tempat bagi wong samar yang diyakini akan ikut menjaga Desa Tegallalang. "Bhuta Kala itu perlu disomyakan atau diberikan persembahan agar bisa hidup berdampingan dan tidak saling mengganggu dengan manusia," terangnya.
Jaya Kusuma menceritakan, salah seorang warganya sempat mengganggu anak-anak yang ikut Ngerebeg. Penjor anak Ngerebeg tersebut diambilnya. Tak begitu lama, orang tersebut mendapatkan musibah kecelakaan. Secara kasat mata yang ngayah memang krama desa, namun diyakini saat prosesi Ngerebeg, para wong samar turut di dalamnya. Jaya Kesuma, berpesan agar tidak menggangu warganya yang ikut Ngrebeg desa itu.
Ngerebeg didahului dengan Pacaruan di Pura Duur Bingin. Setelah pacaruan, dilanjutkan menghaturkan paica alit, yakni krama nunas ajengan (mohon makanan) berupa nasi berisi lawar yang langsung dinikmati bersama di halaman Pura Duur Bingin. Setelah itu, krama melanjutkan ritual Ngamedalang Ida Sasuhunan Pura Duur Bingin. Barulah kemudian peserta Ngerebeg yang didominasi anak-anak dan remaja putra ini melakukan ritual jalan kaki keliling desa dengan payas aeng (hiasan tubuh menyeramkan).
Pada saat bersamaan, kalangan krama dewasa menghaturkan sesaji di setiap pura dan setra (kuburan) yang dilewati dalam prosesi Ngerebeg. Setelah keliling desa dengan melewati setiap pura dan setra, perjalanan ratusan peserta Ngerebeg kembali ke areal Pura Duur Bingin. Para pengayah dengan dandanan menyeramkan, berjalan kaki keliling desa sejauh 6 kilometer. Mereka sambil membawa pelbagai hiasan dari pelepah busung (janur) dan pelepah daun jaka (aren), juga lelontek, kober (bendera suci), dan penjor. Bahkan, ada pula penjor yang terbuat dari batang pohon salak ikut diarak.
Dijelaskan pula, ritual ini dilaksanakan sehari menjelang Karya Piodalan di Pura Duur Bingin setiap 210 hari sekali pada Wraspati Umanis Pahang. “Ritual Ngerebeg selalu dilaksanakan pas saat rahina Pegat Uwakan pada Buda Kliwon Pahang,” jelas Bendesa Jaya Kusuma.
Saat digelarnya prosesi ritual Ngerebeg, seluruh krama dari 7 banjar adat di Desa Pakraman Tegallalang, ikut terlibat. Yakni, Banjar Gagah, Banjar Pejeng Aji, Banjar Tegallalang, Banjar Tegal, Banjar Tengah, Banjar Penusuan, dan Banjar Tri Wangsa. Krama dewasa terlibat menghaturkan sesaji, sementara karma alit (anak-anak) melakukan arak-arakan dengan hiasan tubuh menyeramkan.
Salah sorang krama, Putu Arya Seva,12, mengaku sudah sering ikut ngayah Ngerebeg. Saat ngayah rasa kebersamaan begitu dirasakan, apalagi saat magibung (makan bersama). * cr62
Ritual ini serangkaian Karya Pujawali di Pura Duur Bingin, Tegallalang. Ritual yang dilaksanakan secara turun-temurun ini bertujuan memohon keselamatan umat.
Di sela-sela persiapan ritual, Bendesa Adat Tegallalang I Made Jaya Kusuma menjelaskan, kegiatan ini untuk menetralisir segala pengaruh negatif yang ada di lingkungan Desa Pakraman Tegallalang. Wujud ritual ini, para pengayah (warga) mulai dari anak-anak hingga dewasa, dihias seluruh tubuhnya agar terlihat seram. Mereka menyimbolkan diri sebagai wong samar. Ritual ini sesungguhnya untuk memberikan tempat bagi wong samar yang diyakini akan ikut menjaga Desa Tegallalang. "Bhuta Kala itu perlu disomyakan atau diberikan persembahan agar bisa hidup berdampingan dan tidak saling mengganggu dengan manusia," terangnya.
Jaya Kusuma menceritakan, salah seorang warganya sempat mengganggu anak-anak yang ikut Ngerebeg. Penjor anak Ngerebeg tersebut diambilnya. Tak begitu lama, orang tersebut mendapatkan musibah kecelakaan. Secara kasat mata yang ngayah memang krama desa, namun diyakini saat prosesi Ngerebeg, para wong samar turut di dalamnya. Jaya Kesuma, berpesan agar tidak menggangu warganya yang ikut Ngrebeg desa itu.
Ngerebeg didahului dengan Pacaruan di Pura Duur Bingin. Setelah pacaruan, dilanjutkan menghaturkan paica alit, yakni krama nunas ajengan (mohon makanan) berupa nasi berisi lawar yang langsung dinikmati bersama di halaman Pura Duur Bingin. Setelah itu, krama melanjutkan ritual Ngamedalang Ida Sasuhunan Pura Duur Bingin. Barulah kemudian peserta Ngerebeg yang didominasi anak-anak dan remaja putra ini melakukan ritual jalan kaki keliling desa dengan payas aeng (hiasan tubuh menyeramkan).
Pada saat bersamaan, kalangan krama dewasa menghaturkan sesaji di setiap pura dan setra (kuburan) yang dilewati dalam prosesi Ngerebeg. Setelah keliling desa dengan melewati setiap pura dan setra, perjalanan ratusan peserta Ngerebeg kembali ke areal Pura Duur Bingin. Para pengayah dengan dandanan menyeramkan, berjalan kaki keliling desa sejauh 6 kilometer. Mereka sambil membawa pelbagai hiasan dari pelepah busung (janur) dan pelepah daun jaka (aren), juga lelontek, kober (bendera suci), dan penjor. Bahkan, ada pula penjor yang terbuat dari batang pohon salak ikut diarak.
Dijelaskan pula, ritual ini dilaksanakan sehari menjelang Karya Piodalan di Pura Duur Bingin setiap 210 hari sekali pada Wraspati Umanis Pahang. “Ritual Ngerebeg selalu dilaksanakan pas saat rahina Pegat Uwakan pada Buda Kliwon Pahang,” jelas Bendesa Jaya Kusuma.
Saat digelarnya prosesi ritual Ngerebeg, seluruh krama dari 7 banjar adat di Desa Pakraman Tegallalang, ikut terlibat. Yakni, Banjar Gagah, Banjar Pejeng Aji, Banjar Tegallalang, Banjar Tegal, Banjar Tengah, Banjar Penusuan, dan Banjar Tri Wangsa. Krama dewasa terlibat menghaturkan sesaji, sementara karma alit (anak-anak) melakukan arak-arakan dengan hiasan tubuh menyeramkan.
Salah sorang krama, Putu Arya Seva,12, mengaku sudah sering ikut ngayah Ngerebeg. Saat ngayah rasa kebersamaan begitu dirasakan, apalagi saat magibung (makan bersama). * cr62
1
Komentar