Sebel Tak Mesti Urungkan Mayadnya
Kekeran (batasan waktu) pemberlakuan larangan berupacara itu sampai berakhirnya masa menstruasi, biasanya antara 3 - 7 hari.
DENPASAR, NusaBali
DI Bali, perempuan yang sedang mengalami menstruasi dipandang dalam fase kacuntakan atau sebel. Di beberapa tempat di Bali menghaluskan arti menstruasi dengan istilah kotor kain.
Dalam tradisi Hindu di Bali, secara sederhana sebel dianggap sebagai kotor secara niskala. Karenanya wanita yang sedang sebel tidak dianjurkan bahkan ada yang dilarang melakukan aktivitas yang berkaitan dengan yadnya. Yadnya dimaksu mulai dari yadnya dengan ayah-ayahan karya setingkat Ngenteg Linggih, mempersiapkan atau nanding upakara atau banten hingga membuat banten saiban sehari-hari. Sehingga muncul ungkap saran sederhana; nak sebel sing dadi mabanten (wanita menstruasi dilarang menggarap upakara).
Di beberapa tempat di Bali, kekeran (batasan waktu) pemberlakuan larangan berupacara itu sampai berakhirnya masa menstruasi, biasanya antara 3 - 7 hari. Sebagai tanda berakhirnya kacuntakan ditandai dengan melukat atau paling sederhana dengan keramas. Teknis penyucian diri pasca sebel seperti itu merupakan hal lumrah dilakoni perempuan Bali.
Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan indik atau perihal kesebelan tersebut, selain secara tradisi sudah dilakoni secara turun-temurun di Bali, tentang fase sebel juga ada rujukan susastranya.
Dikatakan Ngurah Sudiana, sapaan I Gusti Ngurah Sudiana, perihal kacuntakan itu sudah diatur dalam Keputusan PHDI Bali tahun 1968, tentang Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu.”Itu bisa dilihat dalam keputusan tersebut,” ucap pria yang juga Rektor IHDN I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar, Jumat (4/9).
Lebih dalam lagi, lanjutnya, tentang tata perilaku bagi orang sebel diatur dalam Kitab Menawadharmasastra. Hanya saja, Ngurah Sudiana tak menyebut detil ujaran susastra dimaksud. Namun dengan buru-buru, karena mengaku akan mengajar Ngurah Sudiana meyakinkan hal tersebut, yakni perempuan tak diizinkan mempersiapkan upakara, termasuk juga natabin, kalau sedang dalam kondisi menstruasi.
Dikatakan cuntaka, lanjut dia, karena menstruasi atau datang bulan merupakan kancuntakan karena diri sendiri. Termasuk dalam cuntaka akibat dari diri sendiri adalah cuntaka karena usai bersalin atau melahirkan.
Sekedar diketahui, untuk cuntaka karena melahirkan pada masa lalu, kata Ngurah Sudiana, benar- benar ditaati dengan patuh. Jangankan untuk mebanten, masuk ke dapur pun tidak dibolehkan. Alasannya, dapur dipandang tempat suci, ditandai dengan keberadaan jalikan atau tungku perapian. Dimana api sebagai simbol dari Dewa Brahma. Batas waktu tidak boleh ke daput selama 42 hari. Karena jika ada keluarga sebel di beberapa tempat disebut dengan istilah riget/reged (mengganggu rasa).
Selain itu, ada juga jenis kacuntakan lain. Misalnya, kacuntakan karena ada warga, atau kerabat atau keluarga meninggal juga sebab-sebab lain.
Namun bukan alasan kacuntakan menjadikan pelaksanaan matanding, natabin, dan kegiatan lain yang berkaitan upacara, harus ditiadakan. “Anak-anak atau suami juga bisa ikut membantu mempersiapkan upakara itu,” jelasnya. Karena itulah pentingnya keluarga dan edukasi. Tetapi diakui, umumnya para laki-laki memang jarang punya keterampilan dalam nanding banten. Kesimpulannya, tegas Ngurah Sudiana, bukan alasan hanya karena siklus kacuntakan karena menstruasi siklus yadnya mesti terhenti juga.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Bali yang juga Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra. Tentang perempuan yang sedang cuntaka dilarang ikut matanding dan mabanten, dia melihat dari fungsi banten itu sendiri. Banten tidak saja berarti material persembahan rasa sujud bakti kepada Ida Bathara-Bathari. Namun, sebagaimana lumrah dipahami umat Hindu Bali, banten sebagai simbol atau nyasa Dewa-Dewi atau peragaan Dewa yang suci. Singkatnya, banten merupakan sarana atau benda yang dianggap suci. “Bisa dilogikakan, matanding itu sama dengan ngalinggihang (menstanakan) Dewa,” ucapnya.
Karena itu, jelas Sukra, dengan logika sederhana, tentu kurang pas jika sesuatu yang dipandang suci atau disucikan, dibuat oleh mereka yang sedang sebel. Karena sebel atau cuntaka tak bermakna sempit merujuk kondisi lahiriah, tetapi juga keadaan batin dan kejiwaan seseorang. Misalnya, perempuan usai melahirkan, secara fisik tentu masih lemah. Kondisi fisik yang kurang prima tentu berpengaruh pada kondisi psikis. Makanya kurang pas, dalam suasana fisik dan psikis yang tidak seimbang, harus mempersiapkan sesuatu yang detil dan telaten dalam proses pembuatan banten. ‘’Alasan tidak prima fisik dan psikis bagi orang sebel ini lah yang masuk akal, mengapa pada zaman dulu perempuan yang sedang menstruasi atau usai melahirkan dilarang ke dapur. Karena masih lemah untuk mengambil pekerjaan di dapur yang tidak ringan tentunya,’’ tegasnya.
Sukra berpandangan lebih realitis dalam menyiasti tentang perempuan sedang datang bulan dilarang mempersiapkan banten atau upakara. “Kalau memang belum bisa, ya tak usah. Atau juga bisa dengan membeli,” sarannya.*nt
Dalam tradisi Hindu di Bali, secara sederhana sebel dianggap sebagai kotor secara niskala. Karenanya wanita yang sedang sebel tidak dianjurkan bahkan ada yang dilarang melakukan aktivitas yang berkaitan dengan yadnya. Yadnya dimaksu mulai dari yadnya dengan ayah-ayahan karya setingkat Ngenteg Linggih, mempersiapkan atau nanding upakara atau banten hingga membuat banten saiban sehari-hari. Sehingga muncul ungkap saran sederhana; nak sebel sing dadi mabanten (wanita menstruasi dilarang menggarap upakara).
Di beberapa tempat di Bali, kekeran (batasan waktu) pemberlakuan larangan berupacara itu sampai berakhirnya masa menstruasi, biasanya antara 3 - 7 hari. Sebagai tanda berakhirnya kacuntakan ditandai dengan melukat atau paling sederhana dengan keramas. Teknis penyucian diri pasca sebel seperti itu merupakan hal lumrah dilakoni perempuan Bali.
Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan indik atau perihal kesebelan tersebut, selain secara tradisi sudah dilakoni secara turun-temurun di Bali, tentang fase sebel juga ada rujukan susastranya.
Dikatakan Ngurah Sudiana, sapaan I Gusti Ngurah Sudiana, perihal kacuntakan itu sudah diatur dalam Keputusan PHDI Bali tahun 1968, tentang Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu.”Itu bisa dilihat dalam keputusan tersebut,” ucap pria yang juga Rektor IHDN I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar, Jumat (4/9).
Lebih dalam lagi, lanjutnya, tentang tata perilaku bagi orang sebel diatur dalam Kitab Menawadharmasastra. Hanya saja, Ngurah Sudiana tak menyebut detil ujaran susastra dimaksud. Namun dengan buru-buru, karena mengaku akan mengajar Ngurah Sudiana meyakinkan hal tersebut, yakni perempuan tak diizinkan mempersiapkan upakara, termasuk juga natabin, kalau sedang dalam kondisi menstruasi.
Dikatakan cuntaka, lanjut dia, karena menstruasi atau datang bulan merupakan kancuntakan karena diri sendiri. Termasuk dalam cuntaka akibat dari diri sendiri adalah cuntaka karena usai bersalin atau melahirkan.
Sekedar diketahui, untuk cuntaka karena melahirkan pada masa lalu, kata Ngurah Sudiana, benar- benar ditaati dengan patuh. Jangankan untuk mebanten, masuk ke dapur pun tidak dibolehkan. Alasannya, dapur dipandang tempat suci, ditandai dengan keberadaan jalikan atau tungku perapian. Dimana api sebagai simbol dari Dewa Brahma. Batas waktu tidak boleh ke daput selama 42 hari. Karena jika ada keluarga sebel di beberapa tempat disebut dengan istilah riget/reged (mengganggu rasa).
Selain itu, ada juga jenis kacuntakan lain. Misalnya, kacuntakan karena ada warga, atau kerabat atau keluarga meninggal juga sebab-sebab lain.
Namun bukan alasan kacuntakan menjadikan pelaksanaan matanding, natabin, dan kegiatan lain yang berkaitan upacara, harus ditiadakan. “Anak-anak atau suami juga bisa ikut membantu mempersiapkan upakara itu,” jelasnya. Karena itulah pentingnya keluarga dan edukasi. Tetapi diakui, umumnya para laki-laki memang jarang punya keterampilan dalam nanding banten. Kesimpulannya, tegas Ngurah Sudiana, bukan alasan hanya karena siklus kacuntakan karena menstruasi siklus yadnya mesti terhenti juga.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Bali yang juga Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra. Tentang perempuan yang sedang cuntaka dilarang ikut matanding dan mabanten, dia melihat dari fungsi banten itu sendiri. Banten tidak saja berarti material persembahan rasa sujud bakti kepada Ida Bathara-Bathari. Namun, sebagaimana lumrah dipahami umat Hindu Bali, banten sebagai simbol atau nyasa Dewa-Dewi atau peragaan Dewa yang suci. Singkatnya, banten merupakan sarana atau benda yang dianggap suci. “Bisa dilogikakan, matanding itu sama dengan ngalinggihang (menstanakan) Dewa,” ucapnya.
Karena itu, jelas Sukra, dengan logika sederhana, tentu kurang pas jika sesuatu yang dipandang suci atau disucikan, dibuat oleh mereka yang sedang sebel. Karena sebel atau cuntaka tak bermakna sempit merujuk kondisi lahiriah, tetapi juga keadaan batin dan kejiwaan seseorang. Misalnya, perempuan usai melahirkan, secara fisik tentu masih lemah. Kondisi fisik yang kurang prima tentu berpengaruh pada kondisi psikis. Makanya kurang pas, dalam suasana fisik dan psikis yang tidak seimbang, harus mempersiapkan sesuatu yang detil dan telaten dalam proses pembuatan banten. ‘’Alasan tidak prima fisik dan psikis bagi orang sebel ini lah yang masuk akal, mengapa pada zaman dulu perempuan yang sedang menstruasi atau usai melahirkan dilarang ke dapur. Karena masih lemah untuk mengambil pekerjaan di dapur yang tidak ringan tentunya,’’ tegasnya.
Sukra berpandangan lebih realitis dalam menyiasti tentang perempuan sedang datang bulan dilarang mempersiapkan banten atau upakara. “Kalau memang belum bisa, ya tak usah. Atau juga bisa dengan membeli,” sarannya.*nt
Komentar