Berkelindan dengan Perangkap Budaya
PERANGKAP memiliki arti lugas ‘jebakan’. Berbagai perangkap tikus memang banyak tersedia di pasaran.
Tikus merupakan hama yang meresahkan dan harus dinafikan kehadirannya! Dalam hal demikian, tidak ada yang protes atau menghalangi tindak aksi itu. Krama Bali kadang masuk perangkap, perangkap budaya yang minim penggunaan nalar atau budaya kritis. Akibatnya, mereka tersandung batu masalah.
Menurut Jaques Derrida, seorang filsuf Prancis dan pengusung tema dekonstruksi dalam filsafat paska-modernisme, menyebut fenomena budaya itu sebagai fonosentrisme. Menurut Derrida, fonosentrisme merupakan konsep yang meyakini bahwa suatu ucapan dianggap sebagai sumber kebenaran otentik. Karena keyakinan, seseorang atau sekelompok orang terperosok ke liang makna subyektif, yang kurang atau bahkan tidak mengandung kebenaran obyektif. Nalar kritis amat penting disisipkan ke dalam keyakinan budaya, apalagi berkait dengan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan orang banyak.
Memang, keyakinan harus di kedepankan, namun keyakinan harus didampingi dengan pemikiran kritis. Menurut Derrida, keyakinan bukanlah prioritas primer yang meminggirkan realita. Realita sering menunjukkan bahwa keyakinan budaya berelasi dengan berbagai kemungkinan makna, bisa begini atau begitu, bisa negatif atau positif, menang atau kalah!
Pemikiran Derrida mungkin terbukti dalam situasi wabah mematikan saat ini. Keyakinan religi, seperti melakukan panca yadnya tetap dapat dilangsungkan, tetapi diimbau untuk tetap mematuhi protokol kesehatan secara disiplin, taat azas kesehatan dan keamanan, menjaga jarak aman, memperlebar jarak interaksi dengan sesama, serta menjauhi kerumunan. Sikap demikian amat bijaksana, karena kesehatan dan keselamatan merupakan prioritas primer dalam mewujudkan keyakinan menjadi sebuah realita obyektif.
Ada satu konsep lain yang perlu disimak maknanya, yaitu metafisika kehadiran. Sederhananya, konsep ini bermakna bahwa kehadiran merupakan bukti obyektif. Misalnya, ketika ada kematian anggota keluarga dekat, kehadiran di tempat duka merupakan budaya dan kewajiban sosial. Itu dalam situasi normal! Tetapi, apakah kehadiran hanya memiliki makna belasungkawa? Menurut Derrida, ketidak-hadiran juga ‘berkelindan’ atau erat menjadi satu dengan teks kematian. Misalnya, ‘sebel’ atau ‘cuntaka’ amat terkait dengan dukacita, mustahil ‘kesebelan’ atau ‘kecuntakaan’ terlepas dari teks kematian! Jadi, kehadiran bukanlah satu-satunya representasi dari makna dukacita atau kekerabatan.
Saat Galungan, persembahyangan di pura diatur jumlah maupun jarak antara ‘pamedek’ satu dengan lainnya. Kerumunan umat terhindarkan dan penggunaan ‘masker’ ditertibkan, semua itu dimaksudkan menjadikan kesehatan dan keselamatan jiwa menjadi prioritas primer, meminjam istilahnya Jacques Derrida. Dengan sikap budaya kritis terhadap situasi Covid-19, maka penularan pandemi ini dapat diminimalkan.
Sikap budaya kritis demikian tidak hanya dimiliki dan disikapi saat wabah, tetapi ia harus terintegrasi dalam sistem sosio-budaya krama Bali secara utuh dan konsisten. Sikap budaya kritis harus menjadi disiplin dan keyakinan krama Bali dalam prikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembelajaran berharga dari Filsafat Dekonstruksinya Derrida adalah menyesuaikan ‘narasi-narasi besar’ sosio-budaya-religi krama Bali dengan ‘narasi-narasi kecil’ realita kehidupan saat ini dan masa yang akan datang. Misalnya, pelaksanaan panca yadnya dapat dilakukan dalam tingkatan ‘ utamaning utama’ sampai dengan ‘nistaning nista’ dengan satu makna, yaitu semuanya utama! Sikap demikian dalam melaksanakan yadnya merupakan penolakan terhadap logosentrisme, atau kebenaran transedental selalu berada di balik yang tampak di permukaan. Sebaliknya, yang tampak di permukaan sering tidak berkelindan dengan yang berada di balik sebuah keyakinan. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)
Komentar