Uang Kepeng Mulya Mengwi, Lestarikan Sejarah, Kreasikan Karya Seni
Selain sebagai pemenuhan ketersediaan untuk kegiatan adat keagamaan, uang kepeng bernilai seni tinggi setelah dijadikan patung.
MANGUPURA, NusaBali
Berawal dari sebuah mimpi, Putu Andika menguatkan diri untuk menekuni dunia kerajinan uang kepeng atau pis bolong. “Dalam mimpi itu saya dicari oleh panglingsir berpakaian serba putih yang melempar uang kepeng pada tubuh saya,” cerita Putu Andika yang juga Ketua Asosiasi Industri dan Perdagangan Usaha Kecil Menengah (Asperinda) Kabupaten Badung ini.
Usaha yang ditekuni sejak 2007 itu nyatanya berhasil, kreasi uang kepeng yang dibentuk menjadi berbagai ragam kerajinan, terutama patung, disambut pasar. Bukan hanya tingkat lokal ataupun nasional, melainkan sudah merambah pasar mancanegara.
Mulai dari pembeli berkebangsaan Belanda, Australia, Singapura, bahkan China yang merupakan asal-muasal ‘tradisi’ uang kepeng, menaruh minat pada kerajinan yang diproduksi di sebuah workshop berlokasi di Jalan Raya Mengwitani 108 A-E, Mengwitani, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali ini.
Putu Andika percaya bahwa apa yang ia lakukan ini juga sebagai usaha mengembangkan peradaban serta panggilan kehidupan atau dharma dalam ajaran Hindu. Bahkan di masa pandemi Covid-19 yang penuh keprihatinan bagi para pelaku usaha, khususnya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) menyatakan tetap optimis. “Saya menjalankan sebuah amanah dengan pengembangan usaha kreatif. Sebagai generasi muda yang beragama Hindu, saya ingin meneruskan warisan leluhur,” ungkapnya.
Uang kepeng sendiri punya nilai sejarah bagi masyarakat Bali kuna. Budaya uang kepeng ini dibawa oleh para saudagar dari negeri Tirai Bambu yang membawa misi dagang di Pulau Dewata. Hingga pada akhirnya, salah satu putri saudagar yang bernama Kang Cing Wie dipersunting oleh Raja Bali Sri Jaya Pangus.
Selain sebagai alat perdagangan, uang kepeng atau pis bolong itu juga dijadikan sebagai sarana upacara adat dan keagamaan. Alhasil tradisi penggunaan pis bolong itu tetap berlanjut hingga sekarang, walaupun sebagai alat tukar resmi perdagangan sudah tidak berlaku lagi.
Soal pelestarian budaya inilah yang juga mendasari jalan pilihan Putu Andika menggeluti kerajinan uang kepeng. Melalui usaha yang dibangunnya, ia juga ingin uang kepeng tidak sulit dicari bagi umat yang memerlukan untuk sarana upacara. “Jadi tidak hanya profit oriented, melainkan juga menunjang prospek agama Hindu yang sesungguhnya,” ungkap Andika.
Bahkan terkait proses pembuatannya pun diakui menerapkan filosofi atau pakem dari Bali Heritage Trust (BHT). Perlu diketahui, sebelumnya uang kepeng sempat diimpor dari China ke Bali. Sehingga BHT pun menginisiasi pakem uang kepeng lokal bermotif dan bernuansa ke-Bali-an.
Lalu apa pakem yang dimaksud? Pakem ini berkaitan dengan aturan dalam proses pembuatan uang kepeng. Seperti pencampuran bahan, produksi, bahkan menyertakan komponen pancadatu dan inti terkandung dalam proses produksi. Pancadatu sendiri terdiri dari emas, perak, perunggu, kuningan dan tembaga.
“Proses pembuatan sama seperti upacara pakelem di laut dan danau yang bertujuan mengantisipasi dampak dan gejolak bumi sehingga menetralisir logam serta goyangan alam dan logam,” urai Putu Andika.
Berawal dari sebuah mimpi, Putu Andika menguatkan diri untuk menekuni dunia kerajinan uang kepeng atau pis bolong. “Dalam mimpi itu saya dicari oleh panglingsir berpakaian serba putih yang melempar uang kepeng pada tubuh saya,” cerita Putu Andika yang juga Ketua Asosiasi Industri dan Perdagangan Usaha Kecil Menengah (Asperinda) Kabupaten Badung ini.
Usaha yang ditekuni sejak 2007 itu nyatanya berhasil, kreasi uang kepeng yang dibentuk menjadi berbagai ragam kerajinan, terutama patung, disambut pasar. Bukan hanya tingkat lokal ataupun nasional, melainkan sudah merambah pasar mancanegara.
Mulai dari pembeli berkebangsaan Belanda, Australia, Singapura, bahkan China yang merupakan asal-muasal ‘tradisi’ uang kepeng, menaruh minat pada kerajinan yang diproduksi di sebuah workshop berlokasi di Jalan Raya Mengwitani 108 A-E, Mengwitani, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali ini.
Putu Andika percaya bahwa apa yang ia lakukan ini juga sebagai usaha mengembangkan peradaban serta panggilan kehidupan atau dharma dalam ajaran Hindu. Bahkan di masa pandemi Covid-19 yang penuh keprihatinan bagi para pelaku usaha, khususnya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) menyatakan tetap optimis. “Saya menjalankan sebuah amanah dengan pengembangan usaha kreatif. Sebagai generasi muda yang beragama Hindu, saya ingin meneruskan warisan leluhur,” ungkapnya.
Uang kepeng sendiri punya nilai sejarah bagi masyarakat Bali kuna. Budaya uang kepeng ini dibawa oleh para saudagar dari negeri Tirai Bambu yang membawa misi dagang di Pulau Dewata. Hingga pada akhirnya, salah satu putri saudagar yang bernama Kang Cing Wie dipersunting oleh Raja Bali Sri Jaya Pangus.
Selain sebagai alat perdagangan, uang kepeng atau pis bolong itu juga dijadikan sebagai sarana upacara adat dan keagamaan. Alhasil tradisi penggunaan pis bolong itu tetap berlanjut hingga sekarang, walaupun sebagai alat tukar resmi perdagangan sudah tidak berlaku lagi.
Soal pelestarian budaya inilah yang juga mendasari jalan pilihan Putu Andika menggeluti kerajinan uang kepeng. Melalui usaha yang dibangunnya, ia juga ingin uang kepeng tidak sulit dicari bagi umat yang memerlukan untuk sarana upacara. “Jadi tidak hanya profit oriented, melainkan juga menunjang prospek agama Hindu yang sesungguhnya,” ungkap Andika.
Bahkan terkait proses pembuatannya pun diakui menerapkan filosofi atau pakem dari Bali Heritage Trust (BHT). Perlu diketahui, sebelumnya uang kepeng sempat diimpor dari China ke Bali. Sehingga BHT pun menginisiasi pakem uang kepeng lokal bermotif dan bernuansa ke-Bali-an.
Lalu apa pakem yang dimaksud? Pakem ini berkaitan dengan aturan dalam proses pembuatan uang kepeng. Seperti pencampuran bahan, produksi, bahkan menyertakan komponen pancadatu dan inti terkandung dalam proses produksi. Pancadatu sendiri terdiri dari emas, perak, perunggu, kuningan dan tembaga.
“Proses pembuatan sama seperti upacara pakelem di laut dan danau yang bertujuan mengantisipasi dampak dan gejolak bumi sehingga menetralisir logam serta goyangan alam dan logam,” urai Putu Andika.
Salah satu proses yang unik adalah proses membuat antik uang kepeng. Caranya dengan pembakaran, pencucian, lalu dibakar dan dicuci lagi. Setelah dicampur berulang kali, logam dimasukkan ke dalam gentong guci, lalu ditimbun dalam tanah yang tidak terlalu kering atau terlalu basah selama kurun waktu 10 bulan sampai satu tahun. “Dari situlah muncul rasa kunonya. Semakin lama dipendam, semakin antik juga uang kepeng yang muncul,” tutur Andika.
Industri Uang Kepeng Mulya Mengwi sendiri telah memproduksi sekitar 500 jenis uang kepeng beraksara Bali dan China. Aksara China juga disesuaikan dengan peradaban dari dinasti China yang sudah masuk ke Bali. Dinasti tersebut antara lain Dinasti Zheng, Dinasti Weng, Dinasti Lin hingga Dinasti Khong.
Sementara itu proses pengembangan uang kepeng ini difokuskan pada produksi patung yang dirangkai dari uang kepeng. Patung dinilai bisa menjadi daya tarik tersendiri khususnya dari segi pengamat seni yang tidak akan ada matinya meskipun Covid-19 melanda.
Difasilitasi Pemkab Badung untuk promosi wisata, uang kepeng produksinya biasa mengikuti berbagai pameran di tingkat nasional serta internasional. Salah satu yang pernah diikuti adalah Inacraft (The Jakarta International Handicraft Trade Fair) pada tahun 2017.
Di balik itu, Putu Andika juga risau soal karya ciptanya atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). “Semoga pemerintah bisa memberikan hak cipta, hak milik, dan hak merk. Harusnya sudah bisa ya difasilitasi pemerintah daerah dan tidak perlu ke pemerintah pusat sehingga pengusaha kecil bisa lebih termotivasi untuk membuat produk,” harap Putu Andika.
Andika pun menyampaikan perbandingan yang ia amati. “Seperti di China, sudah diberikan fasilitas untuk produksi sampai soal hak paten, hak kekayaan intelektual, serta merk dagang. Niscaya ini bisa meningkatkan nilai produk,” pungkasnya.*cla
Komentar