Harga dan Permintaan Kucit Merangkak Naik
Saat heboh virus ASF harga kucit hanya Rp 200 ribu, kin harga di tingkat peternak sampai Rp 600-700 ribu per ekornya.
SINGARAJA, NusaBali
Beberapa waktu lalu, sejumlah peternak babi di Buleleng menjerit lantaran diterjang isu demam flu babi atau African Swine Fever (ASF) yang menyebabkan harga daging babi anjlok. Bahkan, jual beli kucit (anakan babi) juga lesu, meski dijual dengan harga murah. Namun, kini mereka sudah mulai bisa tersenyum semringah.
Hal ini diakui oleh Ketut Wijaya, peternak babi asal Banjar Dinas Joanyar, Desa Joanyar, Kecamatan Seririt, Buleleng. Bertepatan perayaan Galungan dan Kuningan kemarin harga kucit sudah normal kembali. Bahkan, justru mengalami kenaikan tajam. Permintaan anakan babi dari masyarakat pun mengalami peningkatan.
Ia mengungkapkan, saat isu demam flu babi masih merebak, harga kucit di Buleleng hanya Rp 200 ribu setiap ekor. Diakuinya, meski murah, kalangan peternak sangat kesulitan menjual. Setelah mereda, harga kucit saat ini sudah berangsur normal kembali. Satu ekor kucit yang berumur 50-60 hari bisa dibanderol dengan harga Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu.
Tak hanya harga yang mulai merangkak naik, permintaan masyarakat pada anakan babi ini pun mengalami peningkatan. Bahkan, dirinya tak mampu memenuhi permintaan bibit babi yang kadang mencapai puluhan ekor. "Permintaannya pun banyak. Saat Hari Raya Galungan kemarin saya hanya mampu memenuhi permintaannya 18 ekor kucit," ujar Wijaya, Minggu (27/9).
"Sedangkan permintaan beberapa kali datang dari masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu sempat ada permintaan sebanyak 30 ekor," imbuh pria yang juga menjabat sebagai Perbekel Desa Joanyar ini.
Ia memperkirakan, tingginya permintaan anakan babi lantaran tidak tersedianya bibit babi. Bibit babi sudah banyak yang mati saat virus ASF menyerang dari bulan Februari sampai Juni lalu.
Sehingga, tambah dia, stok bibit babi dipeternak babi rumahan dan skala besar menipis. "Anakan babi (kucit) sudah langka saat ini. Kemudian peternak babi banyak yang belum mulai beternak atau restocking. Itu yang mendorong harga kucit naik di tingkat peternak sampai Rp 600-700 ribu per ekornya," turur pria berusia 43 tahun ini.
Wijaya mengungkapkan, permintaan anakan babi sementara ini banyak datang dari wikayah Kecamatan Seririt dan Kecamatan Banjar, yakni warga Bali Aga seperti Desa Pedawa, Sidatapa, Tigawasa.
Namun beberapa permintaan juga datang dari daerah lainnya di Buleleng. Selain digunakan oleh masyarakat sebagai kebutuhan kuliner, hewan ternak itu juga digunakan untuk keperluan sarana upacara keagamaan.
"Permintaan kucit dari sebagian besar untuk upacara. Apalagi Galungan dan Kuningan. Maka yang diburu bibit babi hitam. Saya saat ini khusus berternak indukan babi, sudah memelihara 38 ekor. Sedangkan kucit di Hari Raya Kuningan ini sudah ada permintaan 15, terpenuhi hanya 10 ekor," tutupnya.*cr75
Beberapa waktu lalu, sejumlah peternak babi di Buleleng menjerit lantaran diterjang isu demam flu babi atau African Swine Fever (ASF) yang menyebabkan harga daging babi anjlok. Bahkan, jual beli kucit (anakan babi) juga lesu, meski dijual dengan harga murah. Namun, kini mereka sudah mulai bisa tersenyum semringah.
Hal ini diakui oleh Ketut Wijaya, peternak babi asal Banjar Dinas Joanyar, Desa Joanyar, Kecamatan Seririt, Buleleng. Bertepatan perayaan Galungan dan Kuningan kemarin harga kucit sudah normal kembali. Bahkan, justru mengalami kenaikan tajam. Permintaan anakan babi dari masyarakat pun mengalami peningkatan.
Ia mengungkapkan, saat isu demam flu babi masih merebak, harga kucit di Buleleng hanya Rp 200 ribu setiap ekor. Diakuinya, meski murah, kalangan peternak sangat kesulitan menjual. Setelah mereda, harga kucit saat ini sudah berangsur normal kembali. Satu ekor kucit yang berumur 50-60 hari bisa dibanderol dengan harga Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu.
Tak hanya harga yang mulai merangkak naik, permintaan masyarakat pada anakan babi ini pun mengalami peningkatan. Bahkan, dirinya tak mampu memenuhi permintaan bibit babi yang kadang mencapai puluhan ekor. "Permintaannya pun banyak. Saat Hari Raya Galungan kemarin saya hanya mampu memenuhi permintaannya 18 ekor kucit," ujar Wijaya, Minggu (27/9).
"Sedangkan permintaan beberapa kali datang dari masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu sempat ada permintaan sebanyak 30 ekor," imbuh pria yang juga menjabat sebagai Perbekel Desa Joanyar ini.
Ia memperkirakan, tingginya permintaan anakan babi lantaran tidak tersedianya bibit babi. Bibit babi sudah banyak yang mati saat virus ASF menyerang dari bulan Februari sampai Juni lalu.
Sehingga, tambah dia, stok bibit babi dipeternak babi rumahan dan skala besar menipis. "Anakan babi (kucit) sudah langka saat ini. Kemudian peternak babi banyak yang belum mulai beternak atau restocking. Itu yang mendorong harga kucit naik di tingkat peternak sampai Rp 600-700 ribu per ekornya," turur pria berusia 43 tahun ini.
Wijaya mengungkapkan, permintaan anakan babi sementara ini banyak datang dari wikayah Kecamatan Seririt dan Kecamatan Banjar, yakni warga Bali Aga seperti Desa Pedawa, Sidatapa, Tigawasa.
Namun beberapa permintaan juga datang dari daerah lainnya di Buleleng. Selain digunakan oleh masyarakat sebagai kebutuhan kuliner, hewan ternak itu juga digunakan untuk keperluan sarana upacara keagamaan.
"Permintaan kucit dari sebagian besar untuk upacara. Apalagi Galungan dan Kuningan. Maka yang diburu bibit babi hitam. Saya saat ini khusus berternak indukan babi, sudah memelihara 38 ekor. Sedangkan kucit di Hari Raya Kuningan ini sudah ada permintaan 15, terpenuhi hanya 10 ekor," tutupnya.*cr75
1
Komentar