DB di Buleleng Tembus 3.290 Kasus
Jika pada 2019 hanya tercatat 487 kasus, kini Buleleng sudah terdata lonjakan hingga di atas 3.000 kasus DB.
SINGARAJA, NusaBali
Ledakan kasus demam berdarah (DB) yang disebabkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti terjadi pada tahun 2020 ini. Hingga akhir September, tercatat sebanyak 3.290 kasus DB di Buleleng yang 7 di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Lonjakan jumlah kasus DB di Buleleng ini pun sudah terbaca pada sejak awal tahun lalu. Jumlah itu meroket jika dibandingkan dengan jumlah kasus DB yang tercatat di Dinas Kesehatan Buleleng pada tahun 2019, hanya 487 kasus.
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng jumlah kasus DB tertinggi terjadi pada bulan Maret lalu yakni sebanyak 720 kasus. Peningkatan jumlah kasus sudah terjadi sejak bulan Januari 2020 lalu sebanyak 396 kasus. Kasus pun masih tinggi di bulan April hingga Juli lalu dengan jumlah tiga digit. Namun pada bulan Agustus dan September menunjukkan penurunan yang signifikan dengan jumlah kasus di bawah seratus per bulannya.
Wakil Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra ditemui Senin (28/9), menjelaskan DB sudah menjadi penyakit endemis di Buleleng, karena setiap tahun selalu terjadi. Ledakan kasus seperti tahun ini disebut Wabup yang juga seorang dokter itu biasa terjadi pada kurun waktu 4-5 tahun.
Jumlah kasus DB terakhir meledak di Buleleng pada tahun 2015 lalu yakni menyentuh angka 4.000 kasus.
“Jumlah kasusnya memang tinggi sekali karena sebagai penyakit endemis biasa terjadi ledakan kasus 4-5 tahun. Tetapi jika dihitung jumlah kasus dengan jumlah kematian akibta DB case fatality ratenya sangat rendah yakni hanya 0,2 persen. Ledakan kasus ini terjadi di semua daerah yang menjadi endemis DB tidak hanya di Buleleng saja,” jelas dia.
Penyakit yang selalu muncul setiap tahun di Buleleng ini dipastikan Sutjidra sudah ditangani tim kesehatan dan juga masyarakatnya melalui gerakan gotong royong Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Upaya lain seperti membagikan bubuk abate dan melaksanakan gerakan 3M Plus (menguras, mengubur, menutup) plus memasang kelambu dan menanam tanaman pengusir nyamuk di pekarangan rumah.
Hanya saja dari kasus yang terjadi di Buleleng, Dinas Kesehatan menetapkan tiga kecamatan menjadi zona merah DB. Ketiganya yakni Kecamatan Buleleng, Banjar dan Tejakula yang memang menjadi kecamatan dengan kasus tiga tertinggi dari 9 kecamatan yang ada. Namun dari angka penyebaran kasus, Wabup Sutjidra mengatakan ada pergeseran tabiat nyamuk aedes aegypti yang biasanya banyak hidup di daerah perkotaan dengan situasi padat penduduk bergeser ke daerah yang agak lengang dan panas seperti Kecamatan Tejakula Seririt dan Gerokgak.
Sementara itu lonjakan kasus DB tahun ini juga diakibatkan karena mobilitas penduduk Buleleng sangat tinggi. Jumlah kasus juga berbanding lurus dengan jumlah penduduk Buleleng yang terbanyak di Bali dan banyak yang hidup di rantauan. Saat penduduk yang merantau kembali ke kampung halamannya diprediksi Wabup juga rentan membawa penyakit DB. “Kita tidak bisa menahan orang pulang kampung, nah mobilitas penduduk kita yang sangat tinggi ini juga bisa bawa pulang penyakit, padahal kena di derah rantau pas pulangnya sakit. Ada kasus yang seperti itu,” jelasnya.
Untuk menekan kasus DB, Wabup Sutjidra kembali menekankan kepada masyraakat untuk tetap menerapkan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di lingkungan rumahnya.
Meski terjadi ledakan kasus DB yang mencapai 3 ribuan kasus Sutjidra memastikan Buleleng tak menjadi kabupaten yang menempati posisi pemuncak kasus DB tertinggi di Indonesia. “Kasus kita sekarang kan lebih rendah 1.000 kasus dari tahun 2015 lalu, semua daerah juga pasti sama sekarang tidak di Buleleng saja,” kata Wabup asal Desa Bontihing Kecamatan Kubutambahan ini.*k23
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng jumlah kasus DB tertinggi terjadi pada bulan Maret lalu yakni sebanyak 720 kasus. Peningkatan jumlah kasus sudah terjadi sejak bulan Januari 2020 lalu sebanyak 396 kasus. Kasus pun masih tinggi di bulan April hingga Juli lalu dengan jumlah tiga digit. Namun pada bulan Agustus dan September menunjukkan penurunan yang signifikan dengan jumlah kasus di bawah seratus per bulannya.
Wakil Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra ditemui Senin (28/9), menjelaskan DB sudah menjadi penyakit endemis di Buleleng, karena setiap tahun selalu terjadi. Ledakan kasus seperti tahun ini disebut Wabup yang juga seorang dokter itu biasa terjadi pada kurun waktu 4-5 tahun.
Jumlah kasus DB terakhir meledak di Buleleng pada tahun 2015 lalu yakni menyentuh angka 4.000 kasus.
“Jumlah kasusnya memang tinggi sekali karena sebagai penyakit endemis biasa terjadi ledakan kasus 4-5 tahun. Tetapi jika dihitung jumlah kasus dengan jumlah kematian akibta DB case fatality ratenya sangat rendah yakni hanya 0,2 persen. Ledakan kasus ini terjadi di semua daerah yang menjadi endemis DB tidak hanya di Buleleng saja,” jelas dia.
Penyakit yang selalu muncul setiap tahun di Buleleng ini dipastikan Sutjidra sudah ditangani tim kesehatan dan juga masyarakatnya melalui gerakan gotong royong Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Upaya lain seperti membagikan bubuk abate dan melaksanakan gerakan 3M Plus (menguras, mengubur, menutup) plus memasang kelambu dan menanam tanaman pengusir nyamuk di pekarangan rumah.
Hanya saja dari kasus yang terjadi di Buleleng, Dinas Kesehatan menetapkan tiga kecamatan menjadi zona merah DB. Ketiganya yakni Kecamatan Buleleng, Banjar dan Tejakula yang memang menjadi kecamatan dengan kasus tiga tertinggi dari 9 kecamatan yang ada. Namun dari angka penyebaran kasus, Wabup Sutjidra mengatakan ada pergeseran tabiat nyamuk aedes aegypti yang biasanya banyak hidup di daerah perkotaan dengan situasi padat penduduk bergeser ke daerah yang agak lengang dan panas seperti Kecamatan Tejakula Seririt dan Gerokgak.
Sementara itu lonjakan kasus DB tahun ini juga diakibatkan karena mobilitas penduduk Buleleng sangat tinggi. Jumlah kasus juga berbanding lurus dengan jumlah penduduk Buleleng yang terbanyak di Bali dan banyak yang hidup di rantauan. Saat penduduk yang merantau kembali ke kampung halamannya diprediksi Wabup juga rentan membawa penyakit DB. “Kita tidak bisa menahan orang pulang kampung, nah mobilitas penduduk kita yang sangat tinggi ini juga bisa bawa pulang penyakit, padahal kena di derah rantau pas pulangnya sakit. Ada kasus yang seperti itu,” jelasnya.
Untuk menekan kasus DB, Wabup Sutjidra kembali menekankan kepada masyraakat untuk tetap menerapkan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di lingkungan rumahnya.
Meski terjadi ledakan kasus DB yang mencapai 3 ribuan kasus Sutjidra memastikan Buleleng tak menjadi kabupaten yang menempati posisi pemuncak kasus DB tertinggi di Indonesia. “Kasus kita sekarang kan lebih rendah 1.000 kasus dari tahun 2015 lalu, semua daerah juga pasti sama sekarang tidak di Buleleng saja,” kata Wabup asal Desa Bontihing Kecamatan Kubutambahan ini.*k23
Komentar