Lontar Tenget Hadang Pelestarian Lontar
Petugas penyelamat lontar di Buleleng kini masih mengalami Berbagai kendala dalam menyelamatkan itu.
SINGARAJA, NusaBali
Antara lain, kesadaran masyarakat untuk menjaga pusaka kuno itu masih lemah. Kendala utamanya, rata- rata masyarakat pemilik lontar tenget (menyakralkan,Red) benda tersebut.
Hal itu ditegaskan, Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali Nyoman Suka Ardyasa di Buleleng, Minggu (16/10). Kata dia, lontar adalah media bacaan tradisional yang terbuat dari daun lontar beraksara Bali atau Jawa Kuno. “Ketika sampai di rumah warga, petugas diminta menunggu hari baik untuk nedunang (membuka isi, Red) lontar. Akibatnya inventarisasi lontar ini memakan waktu lebih lama,” imbuh dia.
Kata dia, masyarakat yang memiliki lontar rata-rata tidak tahu cara merawatnya. Ratusan dari ribuan lembar lontar yang ditemukan dalam kondisi rusak parah. Diantaranya, karena lontar yang dianggap pusaka, kadang dibasuh (direndam), dan air rendamannya dipakai untuk kepentingan tertentu. Cara seperti ini tentu sangat bertolakbelakang dengan cara perawatan lontar.
Suka menjelaskan, ratusan penyuluh bahasa Bali yang bertugas di Buleleng hingga kini masih ngaruruh (menyusuri, Red) lontar kuno ke rumah-rumah warga hingga ke pelosok desa. Perburuan ini tiada lain untuk memetakan lontar di Bali, khususnya di Buleleng. Per September 2016, sedikitnya 611 lontar telah ditemukan pada sembilan kecamatan di Buleleng. Namun di luar jumlah tersebut kini masih ada ratusan lontar yang belum direkap dan diyakini akan terus bertambah hingga akhir tahun 2017.
Kata dia, timnya kini terus turun ke lapangan untuk ngaruruh lontar itu. “Seluruh temuan lontar itu nanti akan direkap akhir tahun 2017,” ujarnya. Sejauh ini, jelas dia, untuk di Buleleng ia menerjunkan 121 anggota pemburu lontar. Mereka disebar pada 148 desa/kelurahan. Namun ada beberapa desa yang masih kosong tim pemburu lontar karena 20 anggotanya mengundurkan diri belum lama ini. Meski demikian, pihaknya tetap bersemangat untuk menyusuri lontar. Kegiatan ini, kata dia, dengan tujuan utama melestarikan warisan budaya dan bahasa Bali yang belakangan makin terdegradasi akibat penurunan jumlah penutur dan penulis bahasa Bali.
Setelah masa inventarisasi dan pemetaan selesai, seluruh lontar yang sudah didata akan dikonservasi sesuai tempat yang ditemukan, baik di rumah warga ataupun di pura-pura. Dari 611 lembar lontar yang terdata, masih bagus 330 lembar, dan 281 lembar dalam kondisi rusak parah, sulit dibaca. Lontar terbanyak ditemukan di Kecamatan Sukasada 381 lembar, disusul Kecamatan Kubutambahan 65 lontar dan Busungbiu 58 lontar. * k23
Antara lain, kesadaran masyarakat untuk menjaga pusaka kuno itu masih lemah. Kendala utamanya, rata- rata masyarakat pemilik lontar tenget (menyakralkan,Red) benda tersebut.
Hal itu ditegaskan, Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali Nyoman Suka Ardyasa di Buleleng, Minggu (16/10). Kata dia, lontar adalah media bacaan tradisional yang terbuat dari daun lontar beraksara Bali atau Jawa Kuno. “Ketika sampai di rumah warga, petugas diminta menunggu hari baik untuk nedunang (membuka isi, Red) lontar. Akibatnya inventarisasi lontar ini memakan waktu lebih lama,” imbuh dia.
Kata dia, masyarakat yang memiliki lontar rata-rata tidak tahu cara merawatnya. Ratusan dari ribuan lembar lontar yang ditemukan dalam kondisi rusak parah. Diantaranya, karena lontar yang dianggap pusaka, kadang dibasuh (direndam), dan air rendamannya dipakai untuk kepentingan tertentu. Cara seperti ini tentu sangat bertolakbelakang dengan cara perawatan lontar.
Suka menjelaskan, ratusan penyuluh bahasa Bali yang bertugas di Buleleng hingga kini masih ngaruruh (menyusuri, Red) lontar kuno ke rumah-rumah warga hingga ke pelosok desa. Perburuan ini tiada lain untuk memetakan lontar di Bali, khususnya di Buleleng. Per September 2016, sedikitnya 611 lontar telah ditemukan pada sembilan kecamatan di Buleleng. Namun di luar jumlah tersebut kini masih ada ratusan lontar yang belum direkap dan diyakini akan terus bertambah hingga akhir tahun 2017.
Kata dia, timnya kini terus turun ke lapangan untuk ngaruruh lontar itu. “Seluruh temuan lontar itu nanti akan direkap akhir tahun 2017,” ujarnya. Sejauh ini, jelas dia, untuk di Buleleng ia menerjunkan 121 anggota pemburu lontar. Mereka disebar pada 148 desa/kelurahan. Namun ada beberapa desa yang masih kosong tim pemburu lontar karena 20 anggotanya mengundurkan diri belum lama ini. Meski demikian, pihaknya tetap bersemangat untuk menyusuri lontar. Kegiatan ini, kata dia, dengan tujuan utama melestarikan warisan budaya dan bahasa Bali yang belakangan makin terdegradasi akibat penurunan jumlah penutur dan penulis bahasa Bali.
Setelah masa inventarisasi dan pemetaan selesai, seluruh lontar yang sudah didata akan dikonservasi sesuai tempat yang ditemukan, baik di rumah warga ataupun di pura-pura. Dari 611 lembar lontar yang terdata, masih bagus 330 lembar, dan 281 lembar dalam kondisi rusak parah, sulit dibaca. Lontar terbanyak ditemukan di Kecamatan Sukasada 381 lembar, disusul Kecamatan Kubutambahan 65 lontar dan Busungbiu 58 lontar. * k23
1
Komentar