Kesan Tenget Hadang Konservasi Lontar
Lontar dapat ibaratkan sebuah buku yang berisikan aksara. Baik lontar dan buku sama-sama harus dirawat dan dibaca atau dijadikan materi pelajaran.
GIANYAR, NusaBali
Meskipun dalam suasana pandemi Covid-19, Penyuluh Bahasa Bali (PBB) yang tersebar di desa-desa masih terus mengkonservasi lontar milik krama. Bukan karena suasana pandemi, namun kesan tenget (disakralkan,Red) menjadikan PBB kesulitan mengkonservasi lontar secara lugas.
Hal itu terungkap saat PBB Kecamatan Blahbatuh, Gianyar mengkonservasi dengan mengidentifikasi dan merawat lontar milik Jro Mangku Dewa Ngakan Putu Busulangsa di Banjar Antugan Desa/Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Kamis (1/10). Dari total 50 cakep lontar yang tersimpan, hanya 17 cakep yang berhasil diidentifikasi. Sisanya, lembar lontar rusak karena termakan ngengat atau rayap.
Koordinator PBB Kecamatan Blahbatuh Ni Wayan Miani mengakui konservasi tersebut guna menghilangkan kesan tenget pada sebuah lontar. Sebab, jika lontar tidak dibuka dan dipelajari, maka akan rusak termakan ngengat.
Konservasi bertujuan untuk melestarikan peninggalan dan warisan leluhur terdahulu. “Kami merawat lontar ini agar kondisinya menjadi lebih baik. Di Kecamatan Blahbatuh, banyak krama memiliki lontar. Tapi, konservasi terkendala oleh kurangnya pemahaman para pemilik lontar. Lontar dianggap benda tenget (sakral,Red) hingga akhirnya rusak dimakan ngenget (rayap,Red),” jelasnya.
Miani menjelaskan sesungguhnya sebuah lontar dapat ibaratkan sebuah buku yang berisikan aksara. Baik lontar dan buku sama-sama harus dirawat dan dibaca atau dijadikan materi pelajaran. Lontar bukan tumpukan lembaran lembaran yang hanya dipajang pada tempatnya.
“Lontar itu tidak ada tenget. Tugas kami di sini untuk merawat lontar yang ada. Jika lontar tidak dibuka dan dirawat, maka lama kelamaan akan dimakan ngenget,” sambungnya.
Miani menyampaikan di Kecamatan Blahbatuh terdapat banyak lontar, namun kebanyakan pemiliknya hanya mendiamkan saja. Lantaran dianggap tenget, maka lontar jadi rusak dan berhamburan di tempatnya. Ketika itu diizinkan untuk dirawat dan dikonservasi oleh pemiliknya, maka dia dan penyuluh lainnya memerlukan waktu cukup lama untuk mengelompokkan lontar tersebut. Satu cakep lontar membutuhkan waktu membersihkan sekitar 30 menit. “Membersihkan satu cakep lontar memerlukan waktu 30 menit. Yang lama itu saat mengindentifikasi lontar tersebut. Sesuai mengidentifikasi lontar di Kecamatan Blahbatuh, rata-rata tentang usadha,” ucapnya.
Bendesa Adat Antugan Ngakan Made Sukarsana menjelaskan, di desanya terdapat dua rumah pemilik lontar yang mengizinkan lontarnya dikonservasi. Berkat bantuan para penyuluh, kami bisa menjaga dan merawat lontar yang ada. ‘’Ke depan juga akan kami sampaikan kepada pemilik lontar yang lain, untuk diberikan pemahaman agar lontar yang ada dirawat supaya tidak rusak dimakan rayap," jelasnya. Setelah diidentifikasi, lontar tersebut rencananya akan dibaca, terutama saat rahina (hari suci) Saraswati. *nvi
Meskipun dalam suasana pandemi Covid-19, Penyuluh Bahasa Bali (PBB) yang tersebar di desa-desa masih terus mengkonservasi lontar milik krama. Bukan karena suasana pandemi, namun kesan tenget (disakralkan,Red) menjadikan PBB kesulitan mengkonservasi lontar secara lugas.
Hal itu terungkap saat PBB Kecamatan Blahbatuh, Gianyar mengkonservasi dengan mengidentifikasi dan merawat lontar milik Jro Mangku Dewa Ngakan Putu Busulangsa di Banjar Antugan Desa/Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Kamis (1/10). Dari total 50 cakep lontar yang tersimpan, hanya 17 cakep yang berhasil diidentifikasi. Sisanya, lembar lontar rusak karena termakan ngengat atau rayap.
Koordinator PBB Kecamatan Blahbatuh Ni Wayan Miani mengakui konservasi tersebut guna menghilangkan kesan tenget pada sebuah lontar. Sebab, jika lontar tidak dibuka dan dipelajari, maka akan rusak termakan ngengat.
Konservasi bertujuan untuk melestarikan peninggalan dan warisan leluhur terdahulu. “Kami merawat lontar ini agar kondisinya menjadi lebih baik. Di Kecamatan Blahbatuh, banyak krama memiliki lontar. Tapi, konservasi terkendala oleh kurangnya pemahaman para pemilik lontar. Lontar dianggap benda tenget (sakral,Red) hingga akhirnya rusak dimakan ngenget (rayap,Red),” jelasnya.
Miani menjelaskan sesungguhnya sebuah lontar dapat ibaratkan sebuah buku yang berisikan aksara. Baik lontar dan buku sama-sama harus dirawat dan dibaca atau dijadikan materi pelajaran. Lontar bukan tumpukan lembaran lembaran yang hanya dipajang pada tempatnya.
“Lontar itu tidak ada tenget. Tugas kami di sini untuk merawat lontar yang ada. Jika lontar tidak dibuka dan dirawat, maka lama kelamaan akan dimakan ngenget,” sambungnya.
Miani menyampaikan di Kecamatan Blahbatuh terdapat banyak lontar, namun kebanyakan pemiliknya hanya mendiamkan saja. Lantaran dianggap tenget, maka lontar jadi rusak dan berhamburan di tempatnya. Ketika itu diizinkan untuk dirawat dan dikonservasi oleh pemiliknya, maka dia dan penyuluh lainnya memerlukan waktu cukup lama untuk mengelompokkan lontar tersebut. Satu cakep lontar membutuhkan waktu membersihkan sekitar 30 menit. “Membersihkan satu cakep lontar memerlukan waktu 30 menit. Yang lama itu saat mengindentifikasi lontar tersebut. Sesuai mengidentifikasi lontar di Kecamatan Blahbatuh, rata-rata tentang usadha,” ucapnya.
Bendesa Adat Antugan Ngakan Made Sukarsana menjelaskan, di desanya terdapat dua rumah pemilik lontar yang mengizinkan lontarnya dikonservasi. Berkat bantuan para penyuluh, kami bisa menjaga dan merawat lontar yang ada. ‘’Ke depan juga akan kami sampaikan kepada pemilik lontar yang lain, untuk diberikan pemahaman agar lontar yang ada dirawat supaya tidak rusak dimakan rayap," jelasnya. Setelah diidentifikasi, lontar tersebut rencananya akan dibaca, terutama saat rahina (hari suci) Saraswati. *nvi
Komentar