Kenapa Legong Japatwan Tampilkan Sisi Maskulinitas Tarian Legong
Garapan ini merupakan bentuk kekaguman seorang Dayu Ani terhadap proses penciptaan Legong
DENPASAR, NusaBali
Apa jadinya, jika tarian Legong yang selama ini ditarikan oleh wanita ditarikan oleh pria? Inilah kreasi Dayu Ani, seniman dan akademisi yang mempersembahkan pertunjukan Kenapa Legong ‘Japatwan’ yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Budayasaya dari studio Antida Music Production, Rabu (30/9) malam.
Tarian betajuk Kenapa Legong ‘Japatwan’ ini terinspirasi dari teks Japatwan yang mengangkat kisah petualangan kakak beradik Gagak Turas dan Japatwan saat menyusul Ratnaningrat ke Siwaloka. Garapan ini merupakan bentuk kekaguman seorang Dayu Ani terhadap proses penciptaan Legong.
“Legong itu dari sekian abad lalu kemudian berhasil menembus zaman. Kemudian ketika dia masuk ke era Kebyar, dia menjelma, menjadi Teruna Jaya, menjadi tari Kebyar, dan sampai sekarang masih menjadi inspirasi kelanggengan itu. Kita generasi sekarang harus belajar dari sana,” ungkap pemilik nama lengkap Ida Ayu Wayan Arya Satyani ini.
Ditarikan oleh tujuh penari legong yang semuanya pria, ini memiliki tujuan untuk menunjukan sisi maskulinitas dari tarian Legong. Dayu Ani juga menggunakan momentum ini untuk mengungkapkan seni tari sebagai suatu seni yang genderless, tak memandang penarinya pria atau wanita. “Menari itu bukan tentang gender, tapi dia adalah jiwa. Jiwa yang tampil melalui tubuh, entah dia laki, perempuan, untuk membawakan karakter sebenarnya,” tutur seniman sekaligus akademisi di ISI Denpasar ini.
Tarian Kenapa Legong ini sendiri bukan satu-satunya persembahan dalam Panggung Seni ini. Kidung Pangraksa Jiwa menjadi penampilan penutup dari pertunjukan virtual berdurasi satu jam ini. Oleh Dayu Ani, wadah berupa pertunjukan virtual ini menjadi angin segar bagi seniman yang telah vakum beberapa bulan selama pandemi.
“Tentu di awal-awal (pandemi) pasti ada selang jeda. Kemudian ketika memasuki new normal ya mulai bangkit lagi mencari cara untuk berkumpul dan beraktivitas lagi. Dan kebetulan Gung Ajik (Anom Darsana, red) ada event seperti ini, seperti gayung bersambut. Ada ruang bagi anak-anak untuk tampil,” jelasnya.
Persembahan ini merupakan bentuk kerjasama antara Antida Music Production bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program Panggung Seni Online Streaming. “Inilah proses yang terjadi karena pandemi. Kita tidak bisa diam, dalam arti kita terus punya pendirian bagaimana biar kita tetap kreatif dan memberikan semangat ke seniman, baik itu modern, tradisi, dan segala bentuk seni yang ingin kita kembangkan walaupun dengan keterbatasan,” jelas Anom Darsana, pendiri Antida Music Production.
Antida Music Production sendiri telah menyelenggarakan sebanyak 10 pertunjukan virtual sejak bulan April lalu yang memang lebih banyak menampilkan musik modern. Namun pihak Antida juga ingin mengangkat seni tradisi, yang diwujudkan dengan Panggung Seni streaming virtual ini.
“Kita ingin membangun juga seniman-seniman tradisi, karena mereka juga tidak mempunyai pekerjaan, dalam arti mereka juga stuck tanpa adanya fasilitator yang memberikan wadah. Jadi mereka pun tidak melakukan pertunjukan, tapi mereka masih tetap memperjuangkan kehidupan sehari-hari,” tandas Anom Darsana.*cr74
Komentar