Bersekolah, Apa Fungsinya?
Sekolah tidak selalu membelajarkan dan pembelajaran tidak selalu melalui sekolah. Bersekolah dan belajar tidak selalu berkorespondensi satu per satu.
APA gunanya bersekolah?
Pertanyaan ini sepintas menggelikan. Karena, fungsi bersekolah jelas, yaitu mencerdaskan.
Tetapi ketika anak ditanya, apa yang diperoleh di sekolah? Jawabannya sangat beragam. Anak usia dini menjawab polos, ‘aku bernyanyi ... naik delman ku duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja’.
Apa kusir sedang bekerja?
Apa makna kerja yang dipahami anak?
Anak lain bersemangat bernyanyi ‘naik kereta api tut..tut..tut. Siapa hendak turut?
Ke Bandung, Surabaya. Naiklah dengan percuma’.
Apa naik kereta api gratis, tidak bayar?
Kenapa kepada anak ditransfer nilai yang kurang bernilai?
Apakah bersekolah maknanya sama dengan belajar?
Apa gunanya mengajarkan matematika kepada anak sekolah dasar? Misalnya, akar 12 sama dengan berapa? Kalau anak menjawab benar, lalu sesudahnya apa dan bagaimana? Apa manfaat kebenaran jawaban anak terhadap persoalan anak yang sebenarnya?
David Riesman menyebut fenomena ini sebagai pendekatan siklustis terbalik (counter-cyclical approach) terhadap pendidikan.
Atau, menurut Norbert Wiener peserta didik, anak usia dini sampai mahasiswa, diajarkan nilai, norma, etika, dan moral yang berbeda dengan realitanya. Dengan kata lain, bersekolah memiliki fungsi sebagai sistem balikan antientrofi (anti-entropic feedback systems).
Menurut Nobert Riesman sekolah hendaknya berfungsi sebagai sistem yang dapat mereduksi suasana gaduh. Misalnya, ujian nasional telah mendorong perbuatan tidak terpuji di kalangan insan pendidikan. Dengan perkataan lain, ujian nasional telah gagal dalam menciptakan kualitas pembelajaran. Atau, ujian nasional telah gagal dijadikan instrumen perubahan, karena tidak mampu mereduksi entrofi dalam pembelajaran. Bahkan sebaliknya, ujian nasional telah mendorong insan pendidikan untuk berbuat curang secara masif dan terstruktur.
Bersekolah tidak semakna dengan belajar. Bersekolah identik dengan perolehan sertifikat, diploma atau ijazah. Orang bisa memperoleh ijazah atau gelar tanpa perlu belajar. Sebaliknya, orang belajar tidak harus bersekolah. Belajar dapat terlaksana di mana saja dan kapan saja, sepanjang hayat. Jadi, sekolah bukanlah instrumen untuk belajar tentang perubahan. Belajar merupakan instrumen untuk mengenal, memahami, dan peka terhadap perubahan.
Dalam konteks desa pakraman, awig-awig desa tidak menjadikan krama sensitif terhadap efek negatif suatu tradisi. Demikian juga, elite desa pakraman tidak serta merta mampu mendeteksi entrofi sosial dan budaya. Idealnya memang, desa pakraman dikembangkan menjadi ‘a subversive intellectual instrument’, meminjam istilah Kenneth Boulding. Desa pakraman yang berspektif antropologis memungkinkan peran ganda. Artinya, di satu sisi krama merupakan bagian dari sistem sosio-kultural desa. Namun, di sisin lain krama juga dimungkinkan berada di luar sistem, tanpa merasa terancam sekuritasnya.
Perspektif antropologis memungkinkan krama memahami rasa takut krama lain, bukan menekannya. Atau, krama dapat berbeda prinsip dengan elitenya, tanpa konsekuensi dimarginalkan. Atau, krama dapat memprotes kebijakan umum, tanpa harus dinafikan eksistensinya. Atau, krama juga diharapkan dapat mendeteksi sisi terang dan gelap suatu organisasi sosial religius, tanpa terusik privilesenya. Sesungguhnya, situasi demikian telah membuktikan hasil pembelajaran yang baik. Apa yang dipelajari dilaksanakan dengan baik dan apa yang dilaksanakan baik merupakan hasil pembelajaran yang baik. Sekolah tidak selalu membelajarkan dan pembelajaran tidak selalu melalui sekolah. Bersekolah dan belajar tidak selalu berkorespondensi satu per satu. Artinya, sekolah akan membelajarkan peserta didik melalui kurikulum yang dibakukan. Demikian juga, menjadi anggota desa pakraman tidak menjamin loyalitas dan komitmen krama secara otomatis. Ke depan sekolah dan desa pakraman hendaknya diupayakan menjadi lokus pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik dan krama Bali. Semoga.
1
Komentar