FSGI Evaluasi Metode Pembelajaran Jarak Jauh
JAKARTA, NusaBali
Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti menyoroti metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Corona.
Retno menilai selama penerapan PJJ di berbagai daerah di RI terjadi sejumlah kendala. "FSGI menyerukan untuk Kemdikbud ke pemerintah itu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pembelajaran jarak jauh. Kalau yang tadi dijelaskan oleh Pak Reza itu kan betul-betul pelaksanaannya, implementasi dari kebijakan Kemendikbud. Nah kami kemudian juga mencoba melihat seperti apa implementasinya sehingga kemudian kami meminta pemerintah lakukan evaluasi menyeluruh terhadap PJJ," kata Retno dalam konferensi Pers FSGI secara virtual, Minggu (4/10).
Hasil pemantauan FSGI, PJJ pada fase kedua yang sekarang diterapkan ini belum mengalami perubahan dengan fase pertama. Dia menyebut ada beban kerja guru dan murid pada posisi yang sama. Retno menyebut ada tiga penerapan PJJ selama pandemi. Pertama PJJ secara daring, lalu gabungan antara PJJ dan Luring (luar jaringan), lalu ketiga melakukan pembelajaran tatap muka.
"Kedua adalah dalam perkembangannya, memang terjadi buka-tutup sekolah di sejumlah daerah termasuk daerah-daerah di mana teman-teman FSGI mengajar di wilayah-wilayah itu di mana terjadi perubahan zona. Jadi buka tutup sangat ditentukan oleh zona yang semula hijau dari hitungan hari bisa tiba-tiba berubah oranye, berubah merah," tuturnya.
"Kemudian yang awalnya kuning bisa, kemudian dalam waktu singkat berubah menjadi merah. Nah dampak dari peningkatan kasus pada satu wilayah mengakibatkan juga sekolah itu jadi dibuka dan ditutup gitu ya. Kabupaten Tegal misalnya sempat menutup 50 sekolah kemudian membuka kembali tetapi sejak Senin yang lalu Kabupaten Tegal memutus semuanya PJJ. Jadi bisa dalam satu tempat dalam sebulan berganti-ganti model pelaksanaan dari pembelajarannya," imbuh dia.
Retno juga mengungkapkan sekolah di daerah yang kebingungan soal penerapan kurikulum darurat. Retno menyebut sejumlah sekolah akhirnya memilih untuk tidak menerapkan kurikulum darurat. "Sekolah tidak memiliki keberanian melaksanakan kebijakan memilih kurikulum yang disederhanakan, kurikulum 2013 yang disederhanakan. Jadi di level daerah ternyata penggunaan ini lantaran sekolah juga bingung dan sekolah tidak berani karena merasa tidak ada petunjuk dari dinas pendidikan. Dinas Pendidikan sendiri pun menganggap tidak perlu memberi petunjuk mungkin, jadi tidak pernah ada koordinasi, sosialisasi apalagi diskriminasi apa yang diterima oleh kepala-kepala sekolah atau para guru," sebut Retno.
Untuk itu dia mendorong agar pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Pendidikan maupun Kemdikbud dapat memberikan sosialisasi terkait penerapan kurikulum darurat.
"Jadi misalnya, kalau seorang kepala dinas kemudian rapat dengan kepala-kepala SMA dan SMK lalu menyatakan PJJ harus begini, orang tua harus begini, anaknya disiapkan begini sementara guru harus begini, misalnya ada panduan yang membantu guru ada kisi-kisi seperti bagaimana sih ini melakukan panduan orang tua dan lain-lain, mungkin setelah disosialisasi harus dilihat ketika itu bisa nggak dipraktikkan oleh orang tua, dipraktikkan guru kalau kemudian bisa tapi ada kendala, maka kendalanya apa? Lalu diselesaikan. Nah ini yang harusnya dilakukan sehingga gurunya tidak jenuh muridnya tidak stres gitu ya," ujarnya.
Sementara itu, kendala ini juga disampaikan Kepala Sekolah SMA 3 Seluma Kabupaten Bengkulu, Nizam. Ia mengungkapkan bahwa kabupatennya saat ini menerapkan zona risiko COVID-19 di tingkat kecamatan. Hal ini, sebutnya, berpengaruh terhadap buka-tutupnya sekolah.
"Pertama yang kami rasakan di daerah mengenai pelaksanaan PJJ maupun luring ini buka tutup sekolahnya. Yang jelas, pelaksanaan PJJ dan luring kadang-kadang campuran. Kenapa? Karena terjadi perubahan yang sangat cepat, yang kemarin zonanya hijau terus kuning, terus merah, terus kembali hijau sehingga menyebabkan buka tutup. Nah, ini menyebabkan dengan terpaksa kami menggunakan campuran, daring setengah luring juga setengah," kata Nizam.
Tak hanya itu, Nizam pun mengakui bahwa guru-guru di sekolahnya kesulitan menerapkan kurikulum darurat yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Terutama, berkaitan dengan opsi penyederhanaan dari kurikulum 2013.
"Kemudian, mengenai kurikulum yang kami gunakan sampai saat ini hampir seluruh sekolah masih menggunakan kurikulum K13. Kenapa demikian? Karena di daerah itu untuk menggunakan kurikulum yang disempurnakan itu memang agak sulit karena belum ada petunjuk bahkan teknisnya belum sampai kepada di lapangan," ungkap Nizam.
"Nah, yang jadi masalah sekarang di lapangan, bahkan guru-guru juga banyak kesulitan menghadap kepala sekolah, bagaimana pak kalau kita sederhanakan, yang mana yang kita kurangi KB ini, nah itu nggak jelas sekarang ini sehingga yang nggak tahu mana yang dikurangi, mana harus diprioritaskan sehingga masih menggunakan K13," lanjutnya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menerbitkan Kurikulum Darurat di tengah pandemi virus Corona (COVID-19). Kurikulum darurat itu diterbitkan lewat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Kepmen itu diteken Nadiem pada 4 Agustus 2020. *
Komentar