MUTIARA WEDA: Tanpa Menginginkan Hasil, Mungkinkah?
Karmany evādhikāras te mā phalesu kadācana, mā karma-phala hetur bhur mā te sango ‘stv akarmani. (Bhagavad-gita, 2.47)
Engkau mesti melakukan tugas yang telah ditentukan, tetapi tidak berhak atas hasil dari tindakan itu. Jangan merasa dirimu sebagai penyebab dari hasil pekerjaanmu, dan jangan terikat untuk tidak melakukan kewajibanmu.
Bukankah pelajaran seperti ini sangat menakutkan bagi sebagian besar orang? Bukankah mereka merasa tidak atau belum mampu melakukan ajaran ini dengan berjejal-jejal alasannya? Orang berkata, “Saya masih punya anak, punya cicilan, dan punya tanggungan lainnya yang menuntut ketersediaan uang. Bagaimana saya bisa bekerja tanpa mengharapkan hasil atau tidak berhak atas hasil itu? Terus terang saya belum mampu, semoga suatu saat nanti ketika semua beban telah selesai saya mampu melakukannya”. Orang ini ingin melakukannya tetapi merasa belum mampu. Sementara pendapat lain menyatakan “Ngawur sekali ajaran ini, bagaimana mungkin bekerja tanpa memperhitungkan hasil, bukankah itu tolol namanya? Segala sesuatu yang dikerjakan pasti memiliki tujuan agar semua pekerjaan itu berhasil”. Orang ini merasa bahwa ajaran ini keliru, sebuah ajaran yang bertolak belakang dengan prinsip kehidupan.
Jika dilihat, pendapat orang kedua tampak rasional dan benar menurut perhitungan. Sementara orang pertama tampak konyol dan mau saja percaya dengan ajaran yang mustahil dikerjakan meskipun dirinya sendiri mengakuinya belum bisa. Ada beberapa alasan logis. Pertama, segala sesuatu di dunia ini memiliki tujuan, sehingga orang bekerja pun memiliki tujuan, yakni hasil pekerjaan. Kedua, hasil merupakan motivasi dalam menyelesaikan pekerjaan. Tanpa ada hasil, orang merasa sia-sia melakukan pekerjaan. Ini tidak ubahnya seperti tahanan perang yang dipaksa bekerja tetapi tidak diupah dengan layak. Ketiga, hukum alam menyatakan bahwa setiap tindakan (karma) akan mendapat balasan yang setimpal (phala). Bukankah teks di atas berlawanan dengan hukum karmaphala? Keempat, dalam sistem manajemen kerja, goal adalah poros mengapa berbagai rencana harus dikoordinasikan dan dikerjakan dengan baik. Kelima, tidak ada orang yang mau secara sadar untuk melakukan pekerjaan secara terus-menerus tanpa ada hasil. Orang menanam padi ingin
beras, orang mengajar ingin muridnya pintar, orang menulis ingin menghasilkan artikel atau buku, dan seterusnya.
Sementara itu, ada beberapa pendapat yang agak sophisticated. Pertama, hukum karmaphala berlaku universal dan ketat. Namun, pikiran manusia lebih condong berpijak pada hasil. Mereka mempercayakan kebahagiaannya pada hasil. Faktanya, banyak orang yang penghasilannya berlimpah, tetapi kebahagiaannya tidak pernah bertambah, tingkat unhappy-nya justru meninggi. Oleh karena itu, rasa bahagia itu mesti dinikmati dan dirasakan sejak awal, yakni saat melakukan kewajibannya, dan hasil hanyalah sebuah konsekuensi dari bahagianya melakukan kewajiban itu. Kedua, jika hukum karmaphala berlaku ketat, lalu mengapa kita sibuk dengan hasil, sebab semesta telah mengerjakannya dengan baik. Bukankah kita hanya perlu mengerjakan kewajiban itu secara maksimal dalam mendukung kerja semesta itu, dan menjadikan goal sebagai poros untuk mampu membuat rencana kerja (planning, organizing, motivating, controlling dan evaluating) yang baik? Ketiga, memikirkan hasil adalah kerja pikiran biasa, tetapi memfokuskan diri pada kewajiban adalah prinsip yoga, yang berlawanan dengan pikiran biasa. Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih ketika mampu mengubah kerja menjadi yoga. Keempat, memfokuskan diri pada tindakan sesungguhnya memfokuskan energi agar mampu mengerjakan kewajiban secara maksimal. Jika kewajiban maksimal bisa dikerjakan, tentu hasil pun akan maksimal, karena hukum alam seperti itu kerjanya.
Jika dibandingkan pendapat rasional pertama dan kedua, sepertinya yang kedua lebih rasional. Pikiran kadang mampu mengertinya, tetapi sangat jarang mengikutinya. Pikiran selalu mengingkari kebenaran rasional yang kedua ini.
Jadi kesimpulannya; pertama, ajaran seperti teks di atas berbahaya diberikan kepada mereka yang pemikirannya pada tahap rasional pertama. Orang cenderung menolak dan meremehkan ajaran itu. Kalaupun orang dengan rasional pertama mau menerimanya, ajaran ini akan membuatnya hypocrite (munafik). Kedua, orang yang sudah mengerti kebenaran rasional kedua, namun jika pikirannya sendiri masih sering mengkhianati pemahamannya itu, ia akan bimbang. Ketiga, hanya orang yang benar-benar memiliki rasional kedua yang bisa menerima ajaran seperti teks di atas. *
I Gede Suwantana
Komentar