Pengusaha Merasa Tak Terlalu Diuntungkan
Soal UU Cipta Kerja
JAKARTA, NusaBali
UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah disahkan dinilai banyak pihak menguntungkan pengusaha.
Apalagi dari kalangan buruh yang mengaku perlindungannya dikikis dalam UU ini. Menurut Kabid Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Harijanto UU Cipta Kerja sebetulnya tidak terlalu menguntungkan pengusaha. Dia menilai pengusaha cuma diuntungkan pada ketentuan soal pesangon saja.
Pesangon yang awalnya dibayarkan maksimal 32 kali gaji, kini cuma 25 gaji. Itu pun pengusaha hanya membayar 19 gaji saja, 6 kali gaji sisanya dibayar pemerintah ke pekerja.
"Kalau dibilang menguntungkan pengusaha, saya kira nggak benar ya. Yang lebih baik cuma masalah pesangon saja, yang 32 jadi turun hanya 19 saja kita bayarkan. Lalu 6-nya pemerintah jadi 25. Itu juga kita belum tahu bagaimana atasi yang eksisting sekarang transisinya," kata Harijanto dalam bincang-bincang d'Rooftalks detikcom, Rabu (7/10/2020) malam.
Menurutnya ada pasal yang sebetulnya memberatkan pengusaha. Pasal tersebut adalah mengenai kompensasi yang mesti dibayar pengusaha kepada karyawan kontrak atau pekerja kontrak waktu tertentu (PKWT).
Menurutnya, memang dari draft yang diterima pengusaha PKWT tak lagi memiliki batasan waktu. Hanya saja, pemerintah menurutnya mewajibkan pengusaha untuk membayar kompensasi kepada pekerja PKWT usai kontraknya habis.
Menurutnya, pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk mengatur soal hitungan waktu dan kompensasi untuk PKWT.
"Saya tanggapi PKWT yang dipersoalkan. Dari draft yang diterima masalah waktu kerja nggak ada, tapi di waktu kerja ini akan diatur di Peraturan Pemerintah. Nah bedanya sekarang pengusaha diminta untuk membayar kompensasi. Jadi waktu dan kompensasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah," ungkap Harijanto.
"Sekali lagi, tidak fair kalau disebut menguntungkan pengusaha, pengusaha berkeberatan sebenarnya tapi akhirnya disepakati ada kompensasi itu," ujarnya.
Kembali ke pembahasan soal pesangon, Harijanto menilai selama ini pesangon maksimal 32 kali gaji memberatkan pengusaha. Bahkan, cuma 27% pengusaha yang melakukan PHK kepada pekerjanya mampu membayar 32 kali gaji.
"Mengenai pesangon, diakuin pesangon memang tinggi dan jadi hambatan utama investor. Yang di UU lama cuma 27% saja yang bisa membayar, malah banyak pengusaha asing kabur karena nggak kuat bayar pesangon," ujar Harijanto.
Dia menilai pesangon di Vietnam jumlahnya lebih sedikit daripada di Indonesia. Meski begitu, dengan langkah pengurangan pesangon dia menilai bisa menjadi harapan datangnya investor.
"Sekarang diturunkan, memang head to head dengan Vietnam yang jadi kompetitor masih lebih tinggi. Tapi bisa jadi harapan investasi bisa datang kembali," kata Harijanto.
Di sisi lain, anggota DPR Panja Cipta Kerja Lamhot Sinaga mengatakan untuk PKWT DPR dan pemerintah mau mengakomodir sistem kerja yang adaptif dengan industri 4.0.
Menurutnya, di zaman sekarang ada pekerjaan yang sifatnya memang tidak bisa dikontrak secara tetap, begitu pun pekerjanya lebih nyaman apabila tidak dikontrak. Maka dari itu, tidak ada penjelasan batas waktu kontrak bagi PKWT dalam UU Cipta Kerja.
"Jadi kita membicarakan UU Cipta Kerja adalah adaptif terhadap industrialisasi ke depan, sehingga semua ini harus kita akomodir oleh berbagai pihak. Ada orang yang tidak mau juga diangkat karyawan tetap, ada yang seperti itu dengan era digital saat ini. Nah hal seperti ini yang kita perdebatkan di Panja," kata Lamhot pada acara yang sama. *
Pesangon yang awalnya dibayarkan maksimal 32 kali gaji, kini cuma 25 gaji. Itu pun pengusaha hanya membayar 19 gaji saja, 6 kali gaji sisanya dibayar pemerintah ke pekerja.
"Kalau dibilang menguntungkan pengusaha, saya kira nggak benar ya. Yang lebih baik cuma masalah pesangon saja, yang 32 jadi turun hanya 19 saja kita bayarkan. Lalu 6-nya pemerintah jadi 25. Itu juga kita belum tahu bagaimana atasi yang eksisting sekarang transisinya," kata Harijanto dalam bincang-bincang d'Rooftalks detikcom, Rabu (7/10/2020) malam.
Menurutnya ada pasal yang sebetulnya memberatkan pengusaha. Pasal tersebut adalah mengenai kompensasi yang mesti dibayar pengusaha kepada karyawan kontrak atau pekerja kontrak waktu tertentu (PKWT).
Menurutnya, memang dari draft yang diterima pengusaha PKWT tak lagi memiliki batasan waktu. Hanya saja, pemerintah menurutnya mewajibkan pengusaha untuk membayar kompensasi kepada pekerja PKWT usai kontraknya habis.
Menurutnya, pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk mengatur soal hitungan waktu dan kompensasi untuk PKWT.
"Saya tanggapi PKWT yang dipersoalkan. Dari draft yang diterima masalah waktu kerja nggak ada, tapi di waktu kerja ini akan diatur di Peraturan Pemerintah. Nah bedanya sekarang pengusaha diminta untuk membayar kompensasi. Jadi waktu dan kompensasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah," ungkap Harijanto.
"Sekali lagi, tidak fair kalau disebut menguntungkan pengusaha, pengusaha berkeberatan sebenarnya tapi akhirnya disepakati ada kompensasi itu," ujarnya.
Kembali ke pembahasan soal pesangon, Harijanto menilai selama ini pesangon maksimal 32 kali gaji memberatkan pengusaha. Bahkan, cuma 27% pengusaha yang melakukan PHK kepada pekerjanya mampu membayar 32 kali gaji.
"Mengenai pesangon, diakuin pesangon memang tinggi dan jadi hambatan utama investor. Yang di UU lama cuma 27% saja yang bisa membayar, malah banyak pengusaha asing kabur karena nggak kuat bayar pesangon," ujar Harijanto.
Dia menilai pesangon di Vietnam jumlahnya lebih sedikit daripada di Indonesia. Meski begitu, dengan langkah pengurangan pesangon dia menilai bisa menjadi harapan datangnya investor.
"Sekarang diturunkan, memang head to head dengan Vietnam yang jadi kompetitor masih lebih tinggi. Tapi bisa jadi harapan investasi bisa datang kembali," kata Harijanto.
Di sisi lain, anggota DPR Panja Cipta Kerja Lamhot Sinaga mengatakan untuk PKWT DPR dan pemerintah mau mengakomodir sistem kerja yang adaptif dengan industri 4.0.
Menurutnya, di zaman sekarang ada pekerjaan yang sifatnya memang tidak bisa dikontrak secara tetap, begitu pun pekerjanya lebih nyaman apabila tidak dikontrak. Maka dari itu, tidak ada penjelasan batas waktu kontrak bagi PKWT dalam UU Cipta Kerja.
"Jadi kita membicarakan UU Cipta Kerja adalah adaptif terhadap industrialisasi ke depan, sehingga semua ini harus kita akomodir oleh berbagai pihak. Ada orang yang tidak mau juga diangkat karyawan tetap, ada yang seperti itu dengan era digital saat ini. Nah hal seperti ini yang kita perdebatkan di Panja," kata Lamhot pada acara yang sama. *
Komentar