Pandemi Covid-19 Ancam Punahkan Tenun Ikat
GIANYAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 yang melanda Bali sejak Maret membuat hampir segenap sektor usaha tiarap. Tak terkecuali, pengusaha besar, menengah, kecil, maupun mikro.
Seperti dialami Usaha Kerajinan Tenun Wisnu Murti di Banjar Palak, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pemilik usaha jenis tenun ikat ini, I Nyoman Ludra,61, saat ditemui Kamis (24/9) lali, merasa terpukul dengan dampak pandemi sejak April 2020. Selama enam bulan ilebih ni, Nyoman Ludra memaksakan diri tetap mempekerjakan beberapa tukang tenun. Meskipun biaya produksi dirasakan sangat berat, saat tidak ada pendapatan sama sekali. “Sejak April 2020 mulai terasa dampaknya. Order sepi,” ungkap suami dari Ni Nyoman Konci ini.
Sejak jauh sebelum pandemi yang makin mengkhawatirkan masyarakat ini, 25 alat tenun miliknya beroperasi. Tapi sejak pandemi, alat tenun yang dipergunakan hanya sekitar 4 sampai 5 alat. Begitu pula para penenun, terpaksa sebagian besar di rumahkan. “Yang tetap kerja saat ini, karena saya kasihan. Mereka sudah kami ajak puluhan tahun,” jelasnya.
Lima penenun tersebut seperti biasa membuat kain tenun di lantai 2 rumah produksinya di Jalan Selukat, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh. Di samping itu, Nyoman Ludra tidak ingin aktivitas menenunnya mati total. “Sepi rasanya, kalau tidak dengar suara alat tenun,” ungkap pria kelahiran 1959 ini.
Namun, jika kondisi pandemi terus merajam atau tak pulih, Nyoman Ludra mengaku tak tahu harus berbuat apa. “Sementara saat ini kami membuat stok kain tenun. Kalau kondisi belum juga pulih, ya mau bagaimana lagi. Mungkin semua kami rumahkan,” ujarnya.
Nyoman Ludra mengaku sudah melakukan segala upaya. Mulai dari pemberian diskon, hingga jualan online. Namun hasilnya tak memuaskan. “Karena semua kegiatan sekarang dibatasi. Wisuda online, orang kerja dari rumah, termasuk sembahyang ke pura juga dibatasi,” jelas lulusan Fisipol Universitas Ngurah Rai, Denpasar, tahun 1985 ini.
Sementara sumber pesanan kain, jelas dia, dominan dari kalangan perkantoran, mahasiswa yang akan wisuda, untuk seragam sekolah dan busana adat ke pura. “Dulu, kami sampai tidak punya stok. Karena setiap saat ada pesanan. Sekarang tumben lemari kami full kain,” ujarnya. Nyoman Ludra mengaku setiap malam terus kepikiran, bagaimana keberlanjutan usaha yang dirintisnya sejak tahun 1990an ini.
Di sisi lain, jika semua tukang tenun di rumahkan, Nyoman Ludra tambah khawatir tentang pelestarian kain tenun ikat Bali. “Untuk punya tenaga tenun 25 orang itu sudah lumayan. Kalau mereka dirumahkan, nanti mengajak kembali kerja itu, kemungkinan akan sulit. Apalagi umumnya anak muda sekarang, enggan belajar menenun,” ungkapnya.
Padahal dari segi penghasilan, Nyoman Ludra memastikan tidak lebih kecil dari gaji dari kerja menjaga toko. “Kerjanya sistem borongan, jadi tidak tertekan. Tapi anak muda tetap tidak mau belajar menenun. Yang saya takutkan lagi, bagaimana tenun Bali ini nanti jangan sampai hilang,” harapnya.
Perajin yang rutin ikut pameran-pameran kain tenun ikat ini pun berharap pandemic cepat berakhir. Aktivitas masyarakat kembali normal, sehingga geliat perekonomian bisa bangkit kembali. *nvi
Sejak jauh sebelum pandemi yang makin mengkhawatirkan masyarakat ini, 25 alat tenun miliknya beroperasi. Tapi sejak pandemi, alat tenun yang dipergunakan hanya sekitar 4 sampai 5 alat. Begitu pula para penenun, terpaksa sebagian besar di rumahkan. “Yang tetap kerja saat ini, karena saya kasihan. Mereka sudah kami ajak puluhan tahun,” jelasnya.
Lima penenun tersebut seperti biasa membuat kain tenun di lantai 2 rumah produksinya di Jalan Selukat, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh. Di samping itu, Nyoman Ludra tidak ingin aktivitas menenunnya mati total. “Sepi rasanya, kalau tidak dengar suara alat tenun,” ungkap pria kelahiran 1959 ini.
Namun, jika kondisi pandemi terus merajam atau tak pulih, Nyoman Ludra mengaku tak tahu harus berbuat apa. “Sementara saat ini kami membuat stok kain tenun. Kalau kondisi belum juga pulih, ya mau bagaimana lagi. Mungkin semua kami rumahkan,” ujarnya.
Nyoman Ludra mengaku sudah melakukan segala upaya. Mulai dari pemberian diskon, hingga jualan online. Namun hasilnya tak memuaskan. “Karena semua kegiatan sekarang dibatasi. Wisuda online, orang kerja dari rumah, termasuk sembahyang ke pura juga dibatasi,” jelas lulusan Fisipol Universitas Ngurah Rai, Denpasar, tahun 1985 ini.
Sementara sumber pesanan kain, jelas dia, dominan dari kalangan perkantoran, mahasiswa yang akan wisuda, untuk seragam sekolah dan busana adat ke pura. “Dulu, kami sampai tidak punya stok. Karena setiap saat ada pesanan. Sekarang tumben lemari kami full kain,” ujarnya. Nyoman Ludra mengaku setiap malam terus kepikiran, bagaimana keberlanjutan usaha yang dirintisnya sejak tahun 1990an ini.
Di sisi lain, jika semua tukang tenun di rumahkan, Nyoman Ludra tambah khawatir tentang pelestarian kain tenun ikat Bali. “Untuk punya tenaga tenun 25 orang itu sudah lumayan. Kalau mereka dirumahkan, nanti mengajak kembali kerja itu, kemungkinan akan sulit. Apalagi umumnya anak muda sekarang, enggan belajar menenun,” ungkapnya.
Padahal dari segi penghasilan, Nyoman Ludra memastikan tidak lebih kecil dari gaji dari kerja menjaga toko. “Kerjanya sistem borongan, jadi tidak tertekan. Tapi anak muda tetap tidak mau belajar menenun. Yang saya takutkan lagi, bagaimana tenun Bali ini nanti jangan sampai hilang,” harapnya.
Perajin yang rutin ikut pameran-pameran kain tenun ikat ini pun berharap pandemic cepat berakhir. Aktivitas masyarakat kembali normal, sehingga geliat perekonomian bisa bangkit kembali. *nvi
Komentar