MUTIARA WEDA: Logika Agama Tubuh
Sri Devi Uvāca: Anuttaram katham deva sadyah kaulikasiddhim, Yena vijñātamātrena khecari samatām vrajet. (Para Trisika Vivarana, 1)
Bhairavi berkata (kepada Bhairava): Wahai Deva, bagaimana bisa Kesadaran Ilahi yang tak tertandingi itu memberikan pencapaian langsung atas identitas ‘aku’ empirik dengan kesadaran ‘Aku’ Siwa secara sempurna di dalam tubuh fisik ini, dan dengan pengetahuan itu seseorang memperoleh kesatuan dengan kekuatan Kesadaran Universal (khecari).
SATU hal yang menjadi inti dari ajaran tantra (terutama yang berkembang di Nusantara) adalah kauliki siddhi. Mungkin istilah yang digunakan berbeda tetapi secara esensi apa yang ditujukan sebagian besar sama, yakni pencapaian atas sebuah penyatuan antara jiwa (‘aku’ empiris) dengan Brahman (‘Aku’ Siwa) di dalam tubuh fisik. Teks-teks Vedanta menyebut bahwa kesadaran ‘aku’ individu (jiva) akan menjadi satu dengan Kesadaran Universal (paramātman-brahman) hanya ketika pengaruh maya lenyap. Artinya ketika purusa (jiva) murni di dalam dirinya, telah terlepas sempurna dari ikatan prakrti, maka kesadaran universal (paramātman) bisa diraih. Hal yang berbeda mungkin di sini, di mana kesatuan itu ada di dalam tubuh yang merupakan aspek paling kasar dari prakrti.
Mungkin karena hal ini, agama Siva atau agama tantra yang berkembang bisa dikatakan sebagai agama tubuh. Tubuh adalah alat yang bisa digunakan sebagai proses penyatuan itu. Tubuh tidak dinegasi, melainkan media untuk itu. Tubuh memiliki potensi besar untuk itu. Sehingga tidak salah pula jika sebagian besar proses sadhana yang dilakukan menggunakan tubuh sebagai landasannya. Media tubuh yang dimaksudkan bukan dalam rangka melakukan karma atau bhakti sebagaimana teks-teks Vedanta nyatakan, melainkan tubuh sebagai tempat berdiamnya berbagai aspek deity, yang nantinya bisa diakses dan dimanfaatkan menemukan kesadaran Siva tersebut dan kemudian satu identitas dengannya.
Wujud nyata (fisik) dari proses tersebut adalah dengan menjadikan tubuh sebagai aksara, atau secara lebih lugas tubuh adalah tempat berdiamnya aksara-aksara yang merepresentasikan deity tertentu. Bagaimana ‘aku’ empirik ini bisa menyatu dengan ‘Aku’ Siwa? Dalam beberapa sloka berikutnya, Bhairava menjelaskan kepada Bhairavi tentang gugusan dari aksara-aksara tersebut di dalam tubuh. Dalam konteks ini tubuh adalah aksara. Aksara-aksara ini membentuk mantra, dan di dalam mantra mengandung sakti (matrka). Sakti inilah titik terang dari penyatuan itu. Menemukan matrka sakti dari setiap silabel yang tersusun di dalam tubuh merupakan upaya dari penyatuan itu. Teks lokal Nusantara menyebut ini sebagai mantrātma, yakni prinsip kesadaran yang ada pada mantra itu.
Bagaimana logika tubuh bisa dijadikan sebagai panteon dari dewa-dewa (yang merupakan inti dari aksara) itu? Saivisme memandang bahwa purusa dan prakrti hadir ketika aspek universal subjek-objek terkena maya serta proses pembatasan (kanchuka). Purusa adalah kesadaran ‘aku’ dan prakrti adalah tubuh itu sendiri. Jadi, baik tubuh dan kesadarannya adalah Siva-sakti itu sendiri. Dalam hal ini tubuh adalah aspek prakrti dari Siva, yang secara esensi adalah Siva itu sendiri. Tubuh dan kesadaran dalam tataran universal bukanlah dua melainkan tunggal, yakni Siwa itu sendiri. Ia tampak berbeda hanya karena pengaruh Triguna (maya). Aspek kesadaran dan fisikalitas tampak memerankan fungsinya masing-masing. Kesadaran (subjek) dan fisikalitas (objek) adalah Siva itu sendiri.
Jadi, anuttaram (kesadaran absolut atau kesadaran Ilahi yang tak tertandingi itu) dapat menghadirkan Kauliki siddhi melalui upaya atau proses kontemplasi terhadap sakti atau deity dari tubuh (objektifitas). Dengan memiliki pengetahuan atas Kauliki sakti ini (kesatuan identitas dari kesadaran empiris dan kesadaran Siva dalam tubuh), maka orang mampu menyatukan dirinya dengan kechari (kesadaran universal). Saat kesatuan terjadi antara kesadaran ‘aku’ empirik dan kesadaran ‘Aku’ Siva dalam tubuh (mikrokosmos), maka pengetahuan ini akan membuat seorang sadhaka mampu mengakses kesadaran yang ada di seluruh jagat raya (makrokosmos). Prinsip inilah yang mendasari ajaran agama Siva yang pernah berkembang di Nusantara dan masih hidup dan dipraktikkan sampai saat ini, khususnya di Bali. Namun, oleh karena pengaruh prinsip teologis ajaran monoteistik (akibat proses dijadikannya agama resmi), sisi praktisnya masih sepenuhnya dikerjakan, tetapi dari sisi epistemic (dalam rangka memahami esensi ajaran ini), sebagian besar dari mereka tidak mendaraskan prinsip pokoknya seperti aslinya di atas, melainkan melalui prinsip-prinsip monoteistik itu sendiri. Apa yang terjadi kemudian? Tentu mereka tidak akan menemukan titik terang antara praktik dan penjelasan atas praktik itu. *
I Gede Suwantana
1
Komentar