Dibuat Berkat Cibiran 'Bale Banjare Uug'
Memori Wantilan ‘Kapal Terbang’ di Desa Sampalan Klod
Pembalikan sebutan ‘bale banjare ane uug’ menjadi ‘wantilan misi kapal terbang’ ini tentu menjadi kebanggaan krama.
SEMARAPURA, NusaBali
Di Kabupaten Klungkung, tepatnya Banjar Batur, Dusun Bokong, Desa Sampalan Klod, Kecamatan Dawan, Klungkung, pernah ada sebuah bangunan unik. Bangunan ini berupa wantilan untuk Balai Banjar Batur. Uniknya di posisi mudra (mahkota wantilan) itu berisi prototif sebuah kapal terbang. Bagaimana asal-usul kapal terbang bisa bertengger di atas atap wantilan ini?
Saat wantilan ini masih ada sekitar tahun 1970an, amat sering jadi perhatian banyak krama Bali dan krama luar Bali. Karena posisi wantilan bermudra kapal terbang ini berada di jalan protokol antara Kota Semarapura, Klungkung – Karangasem. Sebelum ada jalan Bypass Prof Ida Bagus Mantra, jalan protokol di Banjar Batur, Desa Sampalan Klod, merupakan salah satu titik jalur padat arus lalu lintas. Karena jalan ini merupakan jalur darat antar pulau, dari arah Jawa – Bali - Lombok NTB- NTT, dan sebaliknya. Karena ada wantilan berikon kapal terbang, maka lokasi ini paling gampang dikenal. Lokasi ini bahkan dijadikan ingatan ketika orang luar desa atau luar Klungkung berkunjung ke Klungkung, khususnya Klungkung timur atau timur Tukad (Sungai) Unda.
Wantilan berikon kapal terbang ini telah lenyap karena pemugaran bangunan tahun 1980an. Namun memori sejumlah krama tentang kapal yang terbuat dari kayu ini, tetap melekat. Beberapa waktu lalu, foto kapal terbang di atas wantilan ini sempat viral melalui unggahan di media sosial. Tanggapan netizen, terutama usia 50 tahun ke atas sangat terkenang dengan kapal terbang ini. Namun bagi generasi netizen usia di bawah 50 tahun, terkejut dengan keunikan wantilan tersebut.
Mantan Kelian Banjar Batur I Nengah Suarnata,56, mengakui, wantilan bermudra (mahkota) kapal terbang ini merupakan salah satu bangunan unik yang pernah ada di Kabupaten Klungkung, bahkan di Bali. ‘’Wantilan berisi kapal terbang ini dibangun oleh krama Banjar Batur karena rasa jengah,’’ kenang kelian masa bhakti tahun 1998—2008 ini.
Kisahnya, papar Suarnata, sekitar tahun 1960an, balai banjar tersebut rusak parah. Terutama atap banyak yang bocor. Balai banjar rusak ini sangat mudah dilihat oleh krama yang melintasi jalan depan balai banjar. Era itu, setiap penumpang kendaraan umum baik dari arah Karangasem dan sebaliknya dari Denpasar, jika ingin turun di sekitar Desa Sampalan, maka mereka menyebut agar diturunkan dekat bale banjare ane uug (balai banjar yang rusak,Red). ‘’Sebutan ‘bale banjare ane uug’ ini sepertinya jadi cibiran lazim. Cibiran ini lah yang membuat tetua kami jengah secara positif. Sehingga harus membuat balai banjar baru berupa wantilan,’’ kenang polisi Aiptu Bhabinsa di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung ini.
Jelas Suarnata, tahun 1970an, krama banjar sepakat membangun balai banjar berupa wantilan. Wantilan tentu dibuat beda atau lain dari biasanya di Bali. Krama menyepakati proses pengerjaan wantilan itu diserahkan kepada undagi ternama dari Banjar Jabon, Desa Sampalan Tengah, Mangku Putu Cedet (alm). Undagi tamatan SR (sekolah rakyat) tahun 1916 ini selain undagi, juga tukang bade, bahkan balian (dukun).
Mangku Cedet pun mengusulkan sekaligus langsung membuatkan wantilan dengan mudra berupa kapal terbang di bagian selatan. ‘’Setelah wantilan itu berisi kapal terbang, para penumpang kendaraan umum dari luar desa, berbalik mengatakan kepada sopir, ’tuunang nike tiyang di balai banjare ane misi kapal terbang (turunkan saya di depan balai banjar yang ada kapal terbang),’’ jelasnya.
Sebagai krama, pembalikan sebutan ‘bale banjare ane uug’ menjadi ‘wantilan misi kapal terbang’ ini tentu menjadi kebanggaan krama banjar. Tak hanya itu, masyarakat luas juga terkagum-kagum dengan buah karya arsitektur Bali hasil karya undagi lokal. Sebagai krama, Suarnata setuju dengan pembuatan wantilan berisi kapal terbang itu sabagai sebuah wujud menjawab cibiran dengan cara positif. ‘’Kan, bukan lantas menyalahkan orang yang menyebut bale banjare uug,’’ jelas ayah dua anak ini.
Mudra wantilan itu berupa kapal terbang, bukan karya rupa lain, menurut Suarnata, tentu agar tampak tinglis (jelas dari pandangan mata). Karena hanya kapal terbang yang cocok dipasang di atas bangunan sehingga terkesan benda ini memang bisa terbang. Kapal terbang tersebut dengan ukuran panjang sekitar 20 meter, dan lebar (dari ujung dua sayap) 10 meter. Kerangka kapal atau struktur badan kapal dibuat dari kayu berlapis seng. ‘’Dulu kapal ini kalau malam hari nyala. Karena undaginya memasangi lampu balon dengan daya aki,’’ kenangnya.
Seiring waktu, tahun 1980an pernah terjadi bencana angin ngelinus (kencang berputar-putar) hingga mematahkan salah satu sayap kapal. Krama sekitar pun khawatir jika bencana serupa muncul, kerusakan kapal akan tambah parah. Maka krama pun parum (bermusyawarah) dengan keputusan kapal itu dibongkar. Wantilan tersebut direhab kembali tahun 1992, dilanjutkan finishing tahun 1993. Kini, wantilan Banjar Batur total berganti dengan bangunan stil Bali modern dengan konstruksi beton bertulang.
Setahu Suarnata, Mangku Putu Cedet merupakan salah seorang undagi ternama yang dimiliki Bali. Karya-karyanya berupa rumah, sanggah, wantilan stil Bali, dan Bali modern, juga bade, patulangan, dan karya-karya lain tentang sarana yadnya. Mangku Cedet juga salah seorang undagi yang dipercaya pihak Puri Agung Klungkung, untuk mengganti saka bangunan utama puri. Atas permintaan Pemda Bali, Mangku Cedet sempat memamerkan karya berupa Bade dan bangunan rumah Bali knock down ke Jepang tahun 1970an. Kepiawaian Mangku Cedet sebagai arsitek Bali kini hanya diwarisi oleh sejumlah krama sekitar yang dulunya jadi anak buahnya. Atas jasa-jasanya, Pemda Bali memberikan penghargaan Dharma Kusuma tahun 1981 kepada Mangku Cedet sebagai undagi. *wilasa
Saat wantilan ini masih ada sekitar tahun 1970an, amat sering jadi perhatian banyak krama Bali dan krama luar Bali. Karena posisi wantilan bermudra kapal terbang ini berada di jalan protokol antara Kota Semarapura, Klungkung – Karangasem. Sebelum ada jalan Bypass Prof Ida Bagus Mantra, jalan protokol di Banjar Batur, Desa Sampalan Klod, merupakan salah satu titik jalur padat arus lalu lintas. Karena jalan ini merupakan jalur darat antar pulau, dari arah Jawa – Bali - Lombok NTB- NTT, dan sebaliknya. Karena ada wantilan berikon kapal terbang, maka lokasi ini paling gampang dikenal. Lokasi ini bahkan dijadikan ingatan ketika orang luar desa atau luar Klungkung berkunjung ke Klungkung, khususnya Klungkung timur atau timur Tukad (Sungai) Unda.
Wantilan berikon kapal terbang ini telah lenyap karena pemugaran bangunan tahun 1980an. Namun memori sejumlah krama tentang kapal yang terbuat dari kayu ini, tetap melekat. Beberapa waktu lalu, foto kapal terbang di atas wantilan ini sempat viral melalui unggahan di media sosial. Tanggapan netizen, terutama usia 50 tahun ke atas sangat terkenang dengan kapal terbang ini. Namun bagi generasi netizen usia di bawah 50 tahun, terkejut dengan keunikan wantilan tersebut.
Mantan Kelian Banjar Batur I Nengah Suarnata,56, mengakui, wantilan bermudra (mahkota) kapal terbang ini merupakan salah satu bangunan unik yang pernah ada di Kabupaten Klungkung, bahkan di Bali. ‘’Wantilan berisi kapal terbang ini dibangun oleh krama Banjar Batur karena rasa jengah,’’ kenang kelian masa bhakti tahun 1998—2008 ini.
Kisahnya, papar Suarnata, sekitar tahun 1960an, balai banjar tersebut rusak parah. Terutama atap banyak yang bocor. Balai banjar rusak ini sangat mudah dilihat oleh krama yang melintasi jalan depan balai banjar. Era itu, setiap penumpang kendaraan umum baik dari arah Karangasem dan sebaliknya dari Denpasar, jika ingin turun di sekitar Desa Sampalan, maka mereka menyebut agar diturunkan dekat bale banjare ane uug (balai banjar yang rusak,Red). ‘’Sebutan ‘bale banjare ane uug’ ini sepertinya jadi cibiran lazim. Cibiran ini lah yang membuat tetua kami jengah secara positif. Sehingga harus membuat balai banjar baru berupa wantilan,’’ kenang polisi Aiptu Bhabinsa di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung ini.
Jelas Suarnata, tahun 1970an, krama banjar sepakat membangun balai banjar berupa wantilan. Wantilan tentu dibuat beda atau lain dari biasanya di Bali. Krama menyepakati proses pengerjaan wantilan itu diserahkan kepada undagi ternama dari Banjar Jabon, Desa Sampalan Tengah, Mangku Putu Cedet (alm). Undagi tamatan SR (sekolah rakyat) tahun 1916 ini selain undagi, juga tukang bade, bahkan balian (dukun).
Mangku Cedet pun mengusulkan sekaligus langsung membuatkan wantilan dengan mudra berupa kapal terbang di bagian selatan. ‘’Setelah wantilan itu berisi kapal terbang, para penumpang kendaraan umum dari luar desa, berbalik mengatakan kepada sopir, ’tuunang nike tiyang di balai banjare ane misi kapal terbang (turunkan saya di depan balai banjar yang ada kapal terbang),’’ jelasnya.
Sebagai krama, pembalikan sebutan ‘bale banjare ane uug’ menjadi ‘wantilan misi kapal terbang’ ini tentu menjadi kebanggaan krama banjar. Tak hanya itu, masyarakat luas juga terkagum-kagum dengan buah karya arsitektur Bali hasil karya undagi lokal. Sebagai krama, Suarnata setuju dengan pembuatan wantilan berisi kapal terbang itu sabagai sebuah wujud menjawab cibiran dengan cara positif. ‘’Kan, bukan lantas menyalahkan orang yang menyebut bale banjare uug,’’ jelas ayah dua anak ini.
Mudra wantilan itu berupa kapal terbang, bukan karya rupa lain, menurut Suarnata, tentu agar tampak tinglis (jelas dari pandangan mata). Karena hanya kapal terbang yang cocok dipasang di atas bangunan sehingga terkesan benda ini memang bisa terbang. Kapal terbang tersebut dengan ukuran panjang sekitar 20 meter, dan lebar (dari ujung dua sayap) 10 meter. Kerangka kapal atau struktur badan kapal dibuat dari kayu berlapis seng. ‘’Dulu kapal ini kalau malam hari nyala. Karena undaginya memasangi lampu balon dengan daya aki,’’ kenangnya.
Seiring waktu, tahun 1980an pernah terjadi bencana angin ngelinus (kencang berputar-putar) hingga mematahkan salah satu sayap kapal. Krama sekitar pun khawatir jika bencana serupa muncul, kerusakan kapal akan tambah parah. Maka krama pun parum (bermusyawarah) dengan keputusan kapal itu dibongkar. Wantilan tersebut direhab kembali tahun 1992, dilanjutkan finishing tahun 1993. Kini, wantilan Banjar Batur total berganti dengan bangunan stil Bali modern dengan konstruksi beton bertulang.
Setahu Suarnata, Mangku Putu Cedet merupakan salah seorang undagi ternama yang dimiliki Bali. Karya-karyanya berupa rumah, sanggah, wantilan stil Bali, dan Bali modern, juga bade, patulangan, dan karya-karya lain tentang sarana yadnya. Mangku Cedet juga salah seorang undagi yang dipercaya pihak Puri Agung Klungkung, untuk mengganti saka bangunan utama puri. Atas permintaan Pemda Bali, Mangku Cedet sempat memamerkan karya berupa Bade dan bangunan rumah Bali knock down ke Jepang tahun 1970an. Kepiawaian Mangku Cedet sebagai arsitek Bali kini hanya diwarisi oleh sejumlah krama sekitar yang dulunya jadi anak buahnya. Atas jasa-jasanya, Pemda Bali memberikan penghargaan Dharma Kusuma tahun 1981 kepada Mangku Cedet sebagai undagi. *wilasa
Komentar