Ungkap Dampak Pandemi bagi Penulis Perjalanan
Jumpa Perdana KEMBALI20
DENPASAR, NusaBali
Seiring dengan ditundanya Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2020 dan Ubud Food Festival (UFF) 2020
Untuk pertama kalinya dalam 17 tahun sebagai akibat dari pandemi Covid-19, Yayasan Mudra Swari Saraswati kembali hadir dengan KEMBALI20, sebuah festival yang memadukan kedua unsur dalam UWRF dan UFF, yang disesuaikan dengan konsep virtual, sehingga peserta festival yang berasal dari seluruh dunia masih tetap dapat terkoneksi dan mengikuti diskusi-diskusi di KEMBALI20 yang bakal diselenggarakan mulai 29 Oktober hingga 8 November mendatang.
Senin (26/10), festival ini diperkenalkan melalui Press Call yang berlangsung secara virtual via aplikasi Zoom. Hadir dalam Press Call perdana ini, yaitu founder Ubud Writers and Readers Festival dan juga Ubud Food Festival Janet DeNeefe, penulis perjalanan Agustinus Wibowo, penulis buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia Ben Bland, serta jurnalis mode dan pegiat berkelanjutan Bandana Tewari.
“Kami (Yayasan Mudra Swari Saraswati, red) lahir dalam tragedi Bom Bali I, seperti yang kita tahu, dengan tujuan untuk mendorong ekonomi dan juga membangun kembali semangat masyarakat. Festival memang selalu tentang masyarakat, selalu tentang bantuan ekonomi. Ketika kita dihadapkan pada keputusan tentang pandemi, hal pertama yang harus kami pikirkan adalah masa depan. Jadi kami memutuskan untuk menunda tanpa keputusan yang pasti saat itu,” ungkap Janet DeNeefe.
Di satu sisi, situasi pandemi Covid-19 juga mendorong semua pihak untuk berpikir melampaui batas. “Begitu banyak isu dan event yang menjadi bagian dari festival kami. Namun kami tabah, kami kreatif, dan kami tidak akan berhenti. Jadi kami masih menggodok ide-ide. Dan itulah satu hal tentang Covid. Covid memaksa kita untuk berpikir di luar kotak, untuk datang dengan solusi yang berbeda. Dan kami memutuskan, kenapa tidak menggabungkan Food Festival dengan Ubud Writers, membawa bagian terbaik seni kreatif dari makanan, literature, dan desain film dan lainnya,” lanjutnya.
Sementara itu, pandemi Covid-19 tak hanya mempengaruhi bentuk penyelenggaraan event, namun juga berpengaruh terhadap proses kreatif yang dilalui oleh penulis. Utamanya dengan akses perjalanan yang dibatasi selama pandemi, tentunya berpengaruh terhadap penulis yang melakukan perjalanan sebagai bagian dari proses menulisnya.
Seperti yang diungkapkan Agustinus Wibowo, penulis perjalanan yang telah menerbitkan sejumlah karya, beberapa di antaranya yaitu Garis Batas dan Titik Nol.
Penulis perjalanan tak bisa bergerak bebas karena adanya pembatasan akses perjalanan di situasi pandemi. Namun, bukan berarti penulis perjalanan sama sekali tidak bisa berkarya. Menurut Agustinus, perjalanan tidak hanya tentang perjalanan secara fisik.
Perjalanan yang dimaksud meliputi perjalanan memori dan perjalanan jiwa. “Dengan melakukan perjalanan semacam ini, orang akan merenungkan kembali apa arti situasi ini bagi kita, dan bagaimana dunia kita akan berubah setelah ini. Dan tentu saja, ini berarti perubahan yang fundamental dengan gaya hidup yang kita lakukan dan gaya hidup yang kita lakukan sekarang,” paparnya.*cr74
Senin (26/10), festival ini diperkenalkan melalui Press Call yang berlangsung secara virtual via aplikasi Zoom. Hadir dalam Press Call perdana ini, yaitu founder Ubud Writers and Readers Festival dan juga Ubud Food Festival Janet DeNeefe, penulis perjalanan Agustinus Wibowo, penulis buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia Ben Bland, serta jurnalis mode dan pegiat berkelanjutan Bandana Tewari.
“Kami (Yayasan Mudra Swari Saraswati, red) lahir dalam tragedi Bom Bali I, seperti yang kita tahu, dengan tujuan untuk mendorong ekonomi dan juga membangun kembali semangat masyarakat. Festival memang selalu tentang masyarakat, selalu tentang bantuan ekonomi. Ketika kita dihadapkan pada keputusan tentang pandemi, hal pertama yang harus kami pikirkan adalah masa depan. Jadi kami memutuskan untuk menunda tanpa keputusan yang pasti saat itu,” ungkap Janet DeNeefe.
Di satu sisi, situasi pandemi Covid-19 juga mendorong semua pihak untuk berpikir melampaui batas. “Begitu banyak isu dan event yang menjadi bagian dari festival kami. Namun kami tabah, kami kreatif, dan kami tidak akan berhenti. Jadi kami masih menggodok ide-ide. Dan itulah satu hal tentang Covid. Covid memaksa kita untuk berpikir di luar kotak, untuk datang dengan solusi yang berbeda. Dan kami memutuskan, kenapa tidak menggabungkan Food Festival dengan Ubud Writers, membawa bagian terbaik seni kreatif dari makanan, literature, dan desain film dan lainnya,” lanjutnya.
Sementara itu, pandemi Covid-19 tak hanya mempengaruhi bentuk penyelenggaraan event, namun juga berpengaruh terhadap proses kreatif yang dilalui oleh penulis. Utamanya dengan akses perjalanan yang dibatasi selama pandemi, tentunya berpengaruh terhadap penulis yang melakukan perjalanan sebagai bagian dari proses menulisnya.
Seperti yang diungkapkan Agustinus Wibowo, penulis perjalanan yang telah menerbitkan sejumlah karya, beberapa di antaranya yaitu Garis Batas dan Titik Nol.
Penulis perjalanan tak bisa bergerak bebas karena adanya pembatasan akses perjalanan di situasi pandemi. Namun, bukan berarti penulis perjalanan sama sekali tidak bisa berkarya. Menurut Agustinus, perjalanan tidak hanya tentang perjalanan secara fisik.
Perjalanan yang dimaksud meliputi perjalanan memori dan perjalanan jiwa. “Dengan melakukan perjalanan semacam ini, orang akan merenungkan kembali apa arti situasi ini bagi kita, dan bagaimana dunia kita akan berubah setelah ini. Dan tentu saja, ini berarti perubahan yang fundamental dengan gaya hidup yang kita lakukan dan gaya hidup yang kita lakukan sekarang,” paparnya.*cr74
Komentar