MUTIARA WEDA: Berhenti Mengunyah
Satyena dhāryate prthvi satyena tapate ravih, Satyena vāti vāyusca sarvam satye pratisthitam. (Chanakya niti, 5.19)
Dunia ditopang oleh kekuatan kebenaran; kekuatan kebenaran yang membuat matahari bersinar dan angin berhembus; makanya, segala sesuatu bersandar pada kebenaran.
TEKS menyebut bahwa segala sesuatu dilandasi oleh kebenaran. Dengan kata lain, segala proses yang terjadi di alam semesta dikendalikan oleh kebenaran. Jika demikian, maka apapun yang terjadi tentu disebabkan oleh kebenaran itu. Setiap kejadian adalah prinsip kebenaran. Setiap hal telah didesain demikian adanya, tidak kurang tidak pula lebih. Lalu, bagaimana dengan free will? Bukankah kehendak kita yang menjadikan segala sesuatu itu terjadi? Bukankah peradaban didesain oleh manusia atas kehendaknya dan bukan ditentukan oleh alam? Kota-kota besar, gedung-gedung pencakar langit, dan yang lainnya didesain oleh kecerdasan manusia. Apakah kehadiran teknologi kontemporer ini juga bersandar pada kebenaran? Jika segala sesuatu bersandar pada kebenaran, maka free will juga berlandaskan pada kebenaran.
Apakah semua isi dari free will itu berlandaskan pada kebenaran? Idealnya ya. Apapun sains dan teknologi yang hadir itu adalah bentuk hukum dan kerja semesta. Pikiran manusia, tempat free will itu berasal, hanya mampu mentransformasikannya ke dalam bentuk. Sains adalah hukum semesta yang diformat ke dalam dalil, sementara teknologi adalah transformasi dalil tersebut ke dalam wujud nyata. Free will adalah media yang digunakan untuk mentransformasi hukum semesta ke dalam dalil dan teknologi sehingga bermanfaat untuk kesejahteraan manusia. Kemudian, apakah kehendak bebas (free will) itu berjalan sebebas bebasnya? Jika free will berlandaskan pada kebenaran dan ia hanya media, maka ia tidak bisa berjalan sebebas-bebasnya. Ketika free will yang tidak berada pada relnya inilah menimbulkan ketidakbenaran. Kehancuran terjadi oleh karena kehendak bebas itu tidak lagi berpegangan pada kebenaran.
Kejadian-kejadian yang membuat dunia ini chaos sebenarnya konsekuensi dari kehendak bebas yang berlebihan. Kebenaran memiliki mekanismenya, dan kemudian ketika free will ini digunakan, banyak isinya yang bertentangan dengan prinsip semesta. Kegagalan menjaga keharmonisan, kegagalan menciptakan perdamaian, dan yang sejenisnya adalah konsekuensi dari kegagalan kehendak bebas itu mengikuti kebenaran. Seperti kereta api yang keluar relnya, ia harus terguling jatuh dan kemudian hancur. Oleh karena itu, apapun wujud yang terbentuk di dalam pikiran sebagai akibat dari free will tetap dikendalikan oleh prinsip semesta. Jika free will itu tidak sesuai dengan prinsip semesta, maka dengan sendirinya tidak berfungsi, dan bahkan ketika fungsi itu tetap dipaksakan, maka alam sendiri yang akan memberikan reaksi sebaliknya guna membentuk keseimbangan kembali.
Kebenaran ini bisa diaplikasikan ke dalam bentuk kehidupan apapun. Contohnya dalam konteks sosial ada yang menyatakan bahwa ‘setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya’. Hal ini bisa diterjemahkan seperti ini: setiap masa ada orang yang naik daun dan berkuasa, tidak ada yang mampu membendungnya, karena waktu yang memintanya seperti itu. Demikian juga manusia tidak selamanya berkuasa dan tetap bertengger di atas orang-orang. Ada masanya dia naik daun dan dipuji, dan ada masanya dia harus berada di balik layar. Ini adalah kebenaran. Jika kemudian orang menginginkan tetap di atas padahal sudah tidak waktunya, maka alam akan bekerja dengan caranya sendiri dan tetap memberikan orang yang sudah masanya untuk naik daun.
Kerja alam ini wujudnya bermacam-macam. Bisa saja dulu ketika masanya naik daun, apapun yang dikatakan orang pada percaya dan mengikutinya. Jika masanya telah habis, apapun yang dikatakan bisa melenceng dan tidak bisa diterima oleh masyarakat. Berbagai kekeliruan terus-menerus dilakukan dan itu tidak bisa diperbaiki, atau tidak ada kuasa untuk memperbaikinya. Sebelum keinginan itu diberhentikan, kekeliruan itu akan terus terjadi, dan membuat semua kebaikan yang pernah ditanam dulu ditutupi oleh kekeliruan tersebut. Oleh karena itu, pesan dari teks di atas adalah, kebenaran itu mendasari segala sesuatunya dan keinginan kita harus tetap selaras dengan kebenaran itu. Jika masanya taring tidak lagi tajam, saatnya kita berhenti mengunyah. Inilah kebenaran. *
I Gede Suwantana
Apakah semua isi dari free will itu berlandaskan pada kebenaran? Idealnya ya. Apapun sains dan teknologi yang hadir itu adalah bentuk hukum dan kerja semesta. Pikiran manusia, tempat free will itu berasal, hanya mampu mentransformasikannya ke dalam bentuk. Sains adalah hukum semesta yang diformat ke dalam dalil, sementara teknologi adalah transformasi dalil tersebut ke dalam wujud nyata. Free will adalah media yang digunakan untuk mentransformasi hukum semesta ke dalam dalil dan teknologi sehingga bermanfaat untuk kesejahteraan manusia. Kemudian, apakah kehendak bebas (free will) itu berjalan sebebas bebasnya? Jika free will berlandaskan pada kebenaran dan ia hanya media, maka ia tidak bisa berjalan sebebas-bebasnya. Ketika free will yang tidak berada pada relnya inilah menimbulkan ketidakbenaran. Kehancuran terjadi oleh karena kehendak bebas itu tidak lagi berpegangan pada kebenaran.
Kejadian-kejadian yang membuat dunia ini chaos sebenarnya konsekuensi dari kehendak bebas yang berlebihan. Kebenaran memiliki mekanismenya, dan kemudian ketika free will ini digunakan, banyak isinya yang bertentangan dengan prinsip semesta. Kegagalan menjaga keharmonisan, kegagalan menciptakan perdamaian, dan yang sejenisnya adalah konsekuensi dari kegagalan kehendak bebas itu mengikuti kebenaran. Seperti kereta api yang keluar relnya, ia harus terguling jatuh dan kemudian hancur. Oleh karena itu, apapun wujud yang terbentuk di dalam pikiran sebagai akibat dari free will tetap dikendalikan oleh prinsip semesta. Jika free will itu tidak sesuai dengan prinsip semesta, maka dengan sendirinya tidak berfungsi, dan bahkan ketika fungsi itu tetap dipaksakan, maka alam sendiri yang akan memberikan reaksi sebaliknya guna membentuk keseimbangan kembali.
Kebenaran ini bisa diaplikasikan ke dalam bentuk kehidupan apapun. Contohnya dalam konteks sosial ada yang menyatakan bahwa ‘setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya’. Hal ini bisa diterjemahkan seperti ini: setiap masa ada orang yang naik daun dan berkuasa, tidak ada yang mampu membendungnya, karena waktu yang memintanya seperti itu. Demikian juga manusia tidak selamanya berkuasa dan tetap bertengger di atas orang-orang. Ada masanya dia naik daun dan dipuji, dan ada masanya dia harus berada di balik layar. Ini adalah kebenaran. Jika kemudian orang menginginkan tetap di atas padahal sudah tidak waktunya, maka alam akan bekerja dengan caranya sendiri dan tetap memberikan orang yang sudah masanya untuk naik daun.
Kerja alam ini wujudnya bermacam-macam. Bisa saja dulu ketika masanya naik daun, apapun yang dikatakan orang pada percaya dan mengikutinya. Jika masanya telah habis, apapun yang dikatakan bisa melenceng dan tidak bisa diterima oleh masyarakat. Berbagai kekeliruan terus-menerus dilakukan dan itu tidak bisa diperbaiki, atau tidak ada kuasa untuk memperbaikinya. Sebelum keinginan itu diberhentikan, kekeliruan itu akan terus terjadi, dan membuat semua kebaikan yang pernah ditanam dulu ditutupi oleh kekeliruan tersebut. Oleh karena itu, pesan dari teks di atas adalah, kebenaran itu mendasari segala sesuatunya dan keinginan kita harus tetap selaras dengan kebenaran itu. Jika masanya taring tidak lagi tajam, saatnya kita berhenti mengunyah. Inilah kebenaran. *
I Gede Suwantana
1
Komentar