Bersekolah Saat Pandemi
Sepertinya, guru dan sekolah berdiri di atas landasan rapuh di masa pandemi. Guru yang biasanya dianggap sebagai sumber ilmu, kini tergantikan oleh ‘gadget’.
Ia hanya bisa mengirimkan tugas, menerangkan konsep secara singkat, namun sering kurang dimengerti secara paripurna. Sekolah juga mengalami dekonstruksi, meminjam istilah filosof Jacques Derrida yang sering menjadi pusat kontroversi. Sebelum pandemi, sekolah berfungsi sebagai orangtua kedua. Namun realitanya saat ini, sekolah tergantikan oleh orangtua, bukan di sekolah tetapi di rumah!
Pemaknaan guru sebagai sumber ilmu bergeser ke ‘distributor’ tugas. Demikian juga sekolah sebagai pusat peradaban ilmu beralih fungsi menjadi ‘kantor pos’, penerus kurikulum beserta perangkat pembelajarannya. Anggapan-anggapan demikian yang cenderung absolut kini menjadi medan diskursif kritis. Logosentrisme guru dan sekolah yang dipertontonkan masa sebelum pandemi kini harus ditransformasi menjadi merdeka belajar!
Ekosistem sekolah harus berubah. Saat ini, bersekolah sebagai tugas, pimpinan sekolah sebagai ‘pengatur lalu lintas’ pendidikan dan pembelajaran. Sistem pendidikan cenderung tertutup, pemangku kepentingan berjalan sendiri-sendiri. Lebih banyak sumber daya didedikasikan untuk pelajar dewasa, bukan anak usia dini atau anak-anak. Benturan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah sering menyulitkan pendidikan dan pembelajaran. Infrastruktur sekolah yang tidak memadai, manajemen sekolah terlalu administratif dan terisolasi, menjadikan orangtua dan komunitas sebagai peserta pasif.
Ke depan, ekosistem baru harus diubah. Bersekolah harus menjadi kegiatan yang menyenangkan, pimpinan sekolah memberikan pelayanan. Berbagai pemangku kepentingan berkolaborasi, lebih banyak sumber daya didedikasikan untuk pelajar yang lebih muda, dengan dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah. Infrastruktur sekolah diupayakan memadai dan mendukung pembelajaran, manajemen sekolah kolaboratif dan kompeten, sehingga orangtua/ atau komunitas yang lebih terlibat secara aktif.
Demikian juga dengan guru. Guru harus bertransformasi, peran maupun fungsinya. Di masa lalu dan saat ini, guru hanya sebagai pelaksana kurikulum. Guru dianggap sebagai sumber pengetahuan satu-satunya, ijazah dianggap sebagai penentu kualitas. Pelatihan guru hanya teoretis, berangkatnya ‘monyet’ pulangnya ‘kera atau lutung’, tidak ada penambahan ilmu maupun keterampilan, dan kinerja guru dinilai berdasarkan daftar persyaratan/administratif. Ke depan, guru sebagai pemilik dan pembuat kurikulum, guru sebagai fasilitator dari berbagai sumber pengetahuan, berkompetensi sebagai penentu kualitas pembelajaran. Pelatihan guru berdasarkan praktek, dan kinerja guru dinilai secara holistik.
Pada ranah pedagogi harus juga ada perubahan. Saat ini, pendekatan standardisasi diterapkan, kurikulum baku digunakan, kompetensi guru disertifikasi, dan siswa sebagai penerima pengetahuan. Pembelajaran dijalankan berdasarkan system, Fokus pembelajaran pada kegiatan tatap muka, pembelajaran sebagai kegiatan individualis, dan pemebalajaran berdasarkan pembagian umur.
Ke depan harus dipikirkan perubahannya. Pendekatan pendidikan mempertimbangkan keragaman dengan berazaskan Bhinneka Tunggal Ika, siswa ikut menentukan kegiatan pembelajaran, sehingga pembelajaran berorientasi pada siswa. Pembelajaran memanfaatkan teknologi informasi, penggunaan kegiatan kelompok dalam pembelajaran digalakkan, yang mengakomodasi level kemampuan siswa.
Bagaimana strategi untuk menggapai perubahan konstruktif tersebut? Antara lain, menerapkan kolaborasi dan pembinaan antarsekolah sekolah penggerak, program pembelajaran sebaya, pengelolaan administrasi bersama, pendidikan informal yang berbasis nilai. Atau, meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah, memperbaiki sistem rekrutmen, meningkatkan kualitas pelatihan, penilaian, serta mengembangkan komunitas/platform pembelajaran. Atau, membangun platform pendidikan nasional berbasis teknologi, yang berpusat pada siswa, interdisipliner, relevan, berbasis proyek, dan kolaboratif. Atau, memperbaiki kurikulum nasional, pedagogi, dan penilaian, penyederhanaan materi, fokus pada literasi dan numerasi, pengembangan karakter, berbasis kompetensi, dan fleksibel. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D
Komentar