Dari Panglukatan, Selfi, Hingga Jaja Laklak
We Love Bali Program 11 Trip 5
GIANYAR, NusaBali
40 peserta Implementasi CHSE (clean, health, safety environment) mengikuti program We Love Bali Program 11 Trip 5, Rabu (28/10) - Jumat (30/10).
Selain kunjungan ke Sekar Bumi Tropical and Agritourism, di Banjar/Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Gianyar, peserta juga mengunjungi sejumlah objek wisata di Bali. Untuk program 11 trip 5, rute kunjungan dari Denpasar – Sangeh - Carang Sari – Pelaga – Kintamani – Payangan – Ubud – Kemenuh - Denpasar. Program Bali Bangkit ini merupakan program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemparekraf) RI bersama Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan stakeholder terkait. Program ini sebagai bentuk edukasi sekaligus kampanye penerapan protokol kesehatan berbasis CHSE (clean, health, safety environment) bagi pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif serta masyarakat di Bali.
Program ‘We Love Bali’ digelar selama 2 bulan, Oktober-November 2020 dengan melibatkan 4.400 peserta. Ribuan peserta ini dibagi dalam kelompok kecil terdiri 40 orang. Tiap kelompok melakukan satu trip (perjalanan) selama 3 hari 2 malam, dengan menginap secara bergiliran di sejumlah kawasan wisata di Bali.
Salah satunya, Program 11 Trip 5 yang berlangsung mulai Rabu (28/10) sampai Jumat (30/10). Tour Leader Program 11 Trip 5, Bagus Kusuma didampingi I Made Adi Pramana dari PT Bintang Nusantara MICE menjelaskan, rute perjalanan wisata yang ditempuh dari Denpasar-Sangeh-Carang Sari-Pelaga-Kintamani-Payangan-Ubud-Kemenuh-Denpasar.
Diawali dengan mengunjungi Panglukatan Pancoran Solas Pura Tirta Taman Mumbul, dilanjutkan dengan mengunjungi Kawasan Konservasi Wisata Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kecamatan Mengwi, Badung. Bertolak dari Sangeh, peserta mengunjungi di Puri Carangsari.
Sebelum beristirahat di Bagus Agro Plaga, peserta trip singgah sebentar untuk foto-foto di Jembatan Tertinggi di Bali, Jembatan Tukad Bangkung. Sebagai implementasi protokol kesehatan berbasis CHSE, satu peserta mendapat satu kamar. Manajer Bagus Agro Resort Plaga, Luh Sri Kasih mengatakan akomodasi ini menjadi pionir di Badung Utara yang dikombinasikan dengan konsep perkebunan. "Dari luas 18 hektar hanya 10 persen bangunan. Selebihnya farming, perkebunan," jelasnya.
Setelah semalaman menginap, di pagi hari peserta diajak treking menyusuri perkebunan sepanjang 2 kilometer. Di sela-sela perjalanan, Bagus Agro menyajikan kuliner khas Bali jaje Laklak yang masih hangat langsung melihat cara pembuatannya.
Untuk diketahui, secara keseluruhan program ini melibatkan 409 pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif, 8.421 tenaga kerja serta 4.800 peserta dari masyarakat umum. Peserta yang dilibatkan dari kalangan dosen, guru, mahasiswa, ASN, karyawan perusahan swasta, karyawan biro perjalanan wisata, Pokdarwis, komunitas hobi, fotografer dan lainnya. Peserta mendapatkan fasilitas berupa akomodasi selama 2 malam di hotel atau home stay yang ditetapkan panitia, konsumsi, transportasi, tiket masuk daya tarik wisata, biaya rapid test, dan perlengkapan lainnya.
Peserta diajak meninjau destinasi dan melihat langsung penerapan protokol kesehatan yang dijalankan pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif. Perjalanan peserta itu juga dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Peserta sempat berkunjung ke Yayasan Putra Sedana milik Dewa Ngakan Rai Budiasa di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Kecamatan Payangan, Gianyar. Para peserta disuguhi pertunjukan Tari Pendet, Oleg Tamulilingan, Barong, dan Rangda. Kesenian itu disaksikan sambil menikmati santap malam.
Di Sekar Bumi, Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Gianyar, peserta menikmati hamparan kebun bunga. Peserta dipandu oleh pemilik Sekar Bumi, Ketut Subagia. ‘’Sejak tahun 2003, dari kebun kopi, saya beralih menanam Heliconia dan sejenisnya. Saya menemukan potensi bunga potong. Karena tiap hotel perlu, dan bisnis ini menjanjikan. Kami hadir untuk dukung pariwisata, bukan kompetitor," jelasnya. Heliconia dipilih oleh Ketut Subagia, pemilik Sekar Bumi, sebagai produk utamanya. Heliconia termasuk bunga keras dari jenis tanaman pisang-pisangan. Menurut Ketut Subagia, Heliconia lebih tepat disebut sebagai buah dari pohon yang termasuk keluarga pisang-pisangan. Namun, kemudian banyak orang yang menggunakan buah itu sebagai dekorasi layaknya bunga.
Jumlah tersebut memang masih diperuntukan memenuhi kebutuhan domestik di Bali. Khususnya untuk memenuhi permintaan dari para pelaku industri pariwisata seperti perhotelan, restoran, dan berbagai event. Dari ratusan jenis bunga Heliconia, Ketut mengklaim memiliki hampir semuanya. Ia mengatakan ragam bibit Heliconia dia dapatkan dari berbagai tempat. Selain bibit dari negeri sendiri, Kosta Rika, Hawaii, dan berbagai hutan tropis di dunia merupakan beberapa di antaranya. Sekar Bumi, pada 2016 juga dinobatkan sebagai kebun bunga Heliconia terbesar di Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya yang terbesar, kebun bunga Heliconia Sekar Bumi juga menjadi yang terlengkap.
Namun Sekar Bumi bukan satu-satunya lahan perkebunan atau Pertanian di Desa Kerta. Ia hanyalah salah satu bagian dari ekosistem pertanian terpadu yang tengah coba dikembangan masyarakat di sana. Total ada 150 hektare lahan yang kemudian dibagi peruntukannya: untuk sawah padi, kebun sayur, tembakau, kebun bunga, dan sebagainya. “Jadi kami [Sekar Bumi] tetap ada integrasi dengan petani-petani lain, saling mendukung, dan berupaya menjadi desa yang mandiri,” kata Ketut.
Ketut bersama para petani lain di Desa Kerta juga memberlakukan sistem pertanian zero waste atau tanpa limbah. Ini mereka lakukan dengan menggunakan seminimal mungkin zat kimia dalam membudidayakan produk taninya dan memanfaatkan limbah produksi. Bahkan ketika mereka kelebihan produksi.
Ketut menjelaskan, ketika terjadi kelebihan produksi mereka akan memanfaatkan limbah bunga untuk pakan gajah dan sapi. Sementara daun-daunnya akan diolah menjadi pupuk kompos yang bisa digunakan untuk menumbuhkan tanaman-tanaman baru. Dengan begitu seluruh produk pertanian yang diproduksi di Desa Kerta, khususnya kebun Sekar Bumi, bisa terus didaur ulang. *nvi
Program ‘We Love Bali’ digelar selama 2 bulan, Oktober-November 2020 dengan melibatkan 4.400 peserta. Ribuan peserta ini dibagi dalam kelompok kecil terdiri 40 orang. Tiap kelompok melakukan satu trip (perjalanan) selama 3 hari 2 malam, dengan menginap secara bergiliran di sejumlah kawasan wisata di Bali.
Salah satunya, Program 11 Trip 5 yang berlangsung mulai Rabu (28/10) sampai Jumat (30/10). Tour Leader Program 11 Trip 5, Bagus Kusuma didampingi I Made Adi Pramana dari PT Bintang Nusantara MICE menjelaskan, rute perjalanan wisata yang ditempuh dari Denpasar-Sangeh-Carang Sari-Pelaga-Kintamani-Payangan-Ubud-Kemenuh-Denpasar.
Diawali dengan mengunjungi Panglukatan Pancoran Solas Pura Tirta Taman Mumbul, dilanjutkan dengan mengunjungi Kawasan Konservasi Wisata Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kecamatan Mengwi, Badung. Bertolak dari Sangeh, peserta mengunjungi di Puri Carangsari.
Sebelum beristirahat di Bagus Agro Plaga, peserta trip singgah sebentar untuk foto-foto di Jembatan Tertinggi di Bali, Jembatan Tukad Bangkung. Sebagai implementasi protokol kesehatan berbasis CHSE, satu peserta mendapat satu kamar. Manajer Bagus Agro Resort Plaga, Luh Sri Kasih mengatakan akomodasi ini menjadi pionir di Badung Utara yang dikombinasikan dengan konsep perkebunan. "Dari luas 18 hektar hanya 10 persen bangunan. Selebihnya farming, perkebunan," jelasnya.
Setelah semalaman menginap, di pagi hari peserta diajak treking menyusuri perkebunan sepanjang 2 kilometer. Di sela-sela perjalanan, Bagus Agro menyajikan kuliner khas Bali jaje Laklak yang masih hangat langsung melihat cara pembuatannya.
Untuk diketahui, secara keseluruhan program ini melibatkan 409 pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif, 8.421 tenaga kerja serta 4.800 peserta dari masyarakat umum. Peserta yang dilibatkan dari kalangan dosen, guru, mahasiswa, ASN, karyawan perusahan swasta, karyawan biro perjalanan wisata, Pokdarwis, komunitas hobi, fotografer dan lainnya. Peserta mendapatkan fasilitas berupa akomodasi selama 2 malam di hotel atau home stay yang ditetapkan panitia, konsumsi, transportasi, tiket masuk daya tarik wisata, biaya rapid test, dan perlengkapan lainnya.
Peserta diajak meninjau destinasi dan melihat langsung penerapan protokol kesehatan yang dijalankan pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif. Perjalanan peserta itu juga dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Peserta sempat berkunjung ke Yayasan Putra Sedana milik Dewa Ngakan Rai Budiasa di Banjar Pengaji, Desa Melinggih Kelod, Kecamatan Payangan, Gianyar. Para peserta disuguhi pertunjukan Tari Pendet, Oleg Tamulilingan, Barong, dan Rangda. Kesenian itu disaksikan sambil menikmati santap malam.
Di Sekar Bumi, Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Gianyar, peserta menikmati hamparan kebun bunga. Peserta dipandu oleh pemilik Sekar Bumi, Ketut Subagia. ‘’Sejak tahun 2003, dari kebun kopi, saya beralih menanam Heliconia dan sejenisnya. Saya menemukan potensi bunga potong. Karena tiap hotel perlu, dan bisnis ini menjanjikan. Kami hadir untuk dukung pariwisata, bukan kompetitor," jelasnya. Heliconia dipilih oleh Ketut Subagia, pemilik Sekar Bumi, sebagai produk utamanya. Heliconia termasuk bunga keras dari jenis tanaman pisang-pisangan. Menurut Ketut Subagia, Heliconia lebih tepat disebut sebagai buah dari pohon yang termasuk keluarga pisang-pisangan. Namun, kemudian banyak orang yang menggunakan buah itu sebagai dekorasi layaknya bunga.
Jumlah tersebut memang masih diperuntukan memenuhi kebutuhan domestik di Bali. Khususnya untuk memenuhi permintaan dari para pelaku industri pariwisata seperti perhotelan, restoran, dan berbagai event. Dari ratusan jenis bunga Heliconia, Ketut mengklaim memiliki hampir semuanya. Ia mengatakan ragam bibit Heliconia dia dapatkan dari berbagai tempat. Selain bibit dari negeri sendiri, Kosta Rika, Hawaii, dan berbagai hutan tropis di dunia merupakan beberapa di antaranya. Sekar Bumi, pada 2016 juga dinobatkan sebagai kebun bunga Heliconia terbesar di Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya yang terbesar, kebun bunga Heliconia Sekar Bumi juga menjadi yang terlengkap.
Namun Sekar Bumi bukan satu-satunya lahan perkebunan atau Pertanian di Desa Kerta. Ia hanyalah salah satu bagian dari ekosistem pertanian terpadu yang tengah coba dikembangan masyarakat di sana. Total ada 150 hektare lahan yang kemudian dibagi peruntukannya: untuk sawah padi, kebun sayur, tembakau, kebun bunga, dan sebagainya. “Jadi kami [Sekar Bumi] tetap ada integrasi dengan petani-petani lain, saling mendukung, dan berupaya menjadi desa yang mandiri,” kata Ketut.
Ketut bersama para petani lain di Desa Kerta juga memberlakukan sistem pertanian zero waste atau tanpa limbah. Ini mereka lakukan dengan menggunakan seminimal mungkin zat kimia dalam membudidayakan produk taninya dan memanfaatkan limbah produksi. Bahkan ketika mereka kelebihan produksi.
Ketut menjelaskan, ketika terjadi kelebihan produksi mereka akan memanfaatkan limbah bunga untuk pakan gajah dan sapi. Sementara daun-daunnya akan diolah menjadi pupuk kompos yang bisa digunakan untuk menumbuhkan tanaman-tanaman baru. Dengan begitu seluruh produk pertanian yang diproduksi di Desa Kerta, khususnya kebun Sekar Bumi, bisa terus didaur ulang. *nvi
Komentar