Aneh, Dadong Buta Huruf Dijadikan Terdakwa
Kasus Dugaan Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu
Dalam eksepsi, kuasa hukum mempertanyakan bagaimana seorang nenek yang tua renta dan tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis dapat didakwa menggunakan surat palsu.
DENPASAR, NusaBali
Dadong (nenek) berusia 85 tahun, Ni Ketut Reji, didudukkan sebagai terdakwa bersama anaknya, I Wayan Karma dalam kasus dugaan tindak pidana menggunakan surat palsu di PN Denpasar, Selasa (3/11). Menariknya, meski didakwa melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu, ternyata nenek renta ini tidak bisa baca tulis alias buta huruf.
Hal ini terungkap dalam eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum terdakwa dari Lembaga Advokasi Dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI)-Bali, I Made Suardana dkk menanggapi dakwaan yang sebelumnya dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Made Lovi Pusnawan.
Dalam eksepsi, kuasa hukum mempertanyakan bagaimana seorang nenek yang tua renta dan tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis dapat didakwa menggunakan surat palsu. Memasuki usia 85 tahun dan buta huruf, tentunya terdakwa memiliki pengetahuan yang awam tentang hukum.
Sehingga ketika fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 ditemukan terdakwa Ni Ketut Reji tidaklah mengerti dan mengetahui apa isinya. “Untuk mengerti dan mengehui isi dari fotocopy keterangan silsilah tersebut, dilakukan melalui penyampaian keluarganya dan I Ketut Nurasa yang merupakan kuasa yang ditunjuk oleh keluarga,” jelas Suardana.
Disebutkan, terdakwa Ni Ketut Reji dan anaknya I Wayan Karma yang secara yuridis berhak atas warisan Ni Pitik dan Ni Sorti. Sehingga dalam perkara ini Terdakwa NI Ketut Reji dan I Wayan Karma hanya menyerahkan fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 kepada I Ketut Nurasa untuk mempertahankan hak-haknya. “Tanpa mengetahui proses, teknik menulis somasi, teknik pendataan, mengisi surat-surat, maupun menilai keaslian suatu surat,” lanjut pengacara senior ini.
Dengan latar belakang yang buta huruf tentunya terdakwa tidak mengerti tentang hasil kajian dari I Ketut Nurasa tersebut dan bagaimana kuasa hukumnya tersebut melakukan pembelaan menggunakan fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981. Namun anehnya Terdakwa Ni Ketut Reji dan I Wayan Karma yang tidak mengerti hal tersebut dijadikan pesakitan dengan dakwaan menggunakan surat palsu sebagaimana Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam Eksepsi tersebut, kuasa hukum menegaskan bahwa kasus ini sejatinya adalah ranah hukum Perdata karena menyangkut persoalan kewarisan dan silsilah. “Sehingga surat keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 harus diuji dalam sidang perdata bukan diuji dalam persidangan pidana ini,” tegasnya.
Selain itu, surat dakwaan JPU cacat hukum karena Tempus Delicti (waktu tindak pidana dilakukan) tidak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. “Terdakwa memberikan kuasa kepada I Ketut Nurasa pada tanggal 22 Januari 2020 kemudian membuat Surat Somasi Nomor : 11/II/KHWB/2020, tertanggal 05 Februari 2020 dengan melampirkan keterangan silsilah, tertanggal 8 Juni 1981. Selanjutnya surat somasi tersebut baru dikirimkan pada tanggal 14 Februari 2020. Namun JPU dalam dakwaannya menyebutkan pelapor/korban telah menerima surat somasi dan lampiran keterangan silsilah pada tanggal 20 Januari 2020,” beber pengacara yang juga penyanyi pop Bali ini.
“Oleh karena dakwaan JPU cacat yuridis formal, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga menyesatkan (misleading), membingungkan (confuse) sehingga dikwalifikasikan sebagai dakwaan kabur, maka kuasa hukum terdakwa meminta majelis hakim untuk menerima eksepsi terdakwa dan menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum,” pungkasnya. Majelis hakim akan melanjutkan sidang Selasa (10/11) dengan agenda mendengarkan tanggapan JPU. *rez
Dadong (nenek) berusia 85 tahun, Ni Ketut Reji, didudukkan sebagai terdakwa bersama anaknya, I Wayan Karma dalam kasus dugaan tindak pidana menggunakan surat palsu di PN Denpasar, Selasa (3/11). Menariknya, meski didakwa melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu, ternyata nenek renta ini tidak bisa baca tulis alias buta huruf.
Hal ini terungkap dalam eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum terdakwa dari Lembaga Advokasi Dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI)-Bali, I Made Suardana dkk menanggapi dakwaan yang sebelumnya dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Made Lovi Pusnawan.
Dalam eksepsi, kuasa hukum mempertanyakan bagaimana seorang nenek yang tua renta dan tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis dapat didakwa menggunakan surat palsu. Memasuki usia 85 tahun dan buta huruf, tentunya terdakwa memiliki pengetahuan yang awam tentang hukum.
Sehingga ketika fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 ditemukan terdakwa Ni Ketut Reji tidaklah mengerti dan mengetahui apa isinya. “Untuk mengerti dan mengehui isi dari fotocopy keterangan silsilah tersebut, dilakukan melalui penyampaian keluarganya dan I Ketut Nurasa yang merupakan kuasa yang ditunjuk oleh keluarga,” jelas Suardana.
Disebutkan, terdakwa Ni Ketut Reji dan anaknya I Wayan Karma yang secara yuridis berhak atas warisan Ni Pitik dan Ni Sorti. Sehingga dalam perkara ini Terdakwa NI Ketut Reji dan I Wayan Karma hanya menyerahkan fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 kepada I Ketut Nurasa untuk mempertahankan hak-haknya. “Tanpa mengetahui proses, teknik menulis somasi, teknik pendataan, mengisi surat-surat, maupun menilai keaslian suatu surat,” lanjut pengacara senior ini.
Dengan latar belakang yang buta huruf tentunya terdakwa tidak mengerti tentang hasil kajian dari I Ketut Nurasa tersebut dan bagaimana kuasa hukumnya tersebut melakukan pembelaan menggunakan fotocopy keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981. Namun anehnya Terdakwa Ni Ketut Reji dan I Wayan Karma yang tidak mengerti hal tersebut dijadikan pesakitan dengan dakwaan menggunakan surat palsu sebagaimana Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam Eksepsi tersebut, kuasa hukum menegaskan bahwa kasus ini sejatinya adalah ranah hukum Perdata karena menyangkut persoalan kewarisan dan silsilah. “Sehingga surat keterangan silsilah tertanggal 8 Juni 1981 harus diuji dalam sidang perdata bukan diuji dalam persidangan pidana ini,” tegasnya.
Selain itu, surat dakwaan JPU cacat hukum karena Tempus Delicti (waktu tindak pidana dilakukan) tidak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. “Terdakwa memberikan kuasa kepada I Ketut Nurasa pada tanggal 22 Januari 2020 kemudian membuat Surat Somasi Nomor : 11/II/KHWB/2020, tertanggal 05 Februari 2020 dengan melampirkan keterangan silsilah, tertanggal 8 Juni 1981. Selanjutnya surat somasi tersebut baru dikirimkan pada tanggal 14 Februari 2020. Namun JPU dalam dakwaannya menyebutkan pelapor/korban telah menerima surat somasi dan lampiran keterangan silsilah pada tanggal 20 Januari 2020,” beber pengacara yang juga penyanyi pop Bali ini.
“Oleh karena dakwaan JPU cacat yuridis formal, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga menyesatkan (misleading), membingungkan (confuse) sehingga dikwalifikasikan sebagai dakwaan kabur, maka kuasa hukum terdakwa meminta majelis hakim untuk menerima eksepsi terdakwa dan menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum,” pungkasnya. Majelis hakim akan melanjutkan sidang Selasa (10/11) dengan agenda mendengarkan tanggapan JPU. *rez
1
Komentar