MUTIARA WEDA: Kode Etik Sosial
Āropyate silā saile yathā yatnena bhuyasā, Nipātyate sukhenādhastathātmā gunadosayoh. (Hitopadesha, 1.41)
Menggelindingkan batu besar ke atas bukit sungguh sangat sulit, namun mendorongnya ke bawah gampang sekali. Demikian juga orang perlu berjuang banyak untuk menumbuhkan kualitas baik, tetapi jatuhnya sangat cepat karena melakukan satu kesalahan.
MENGGELINDINGKAN batu besar ke atas bukit sungguh sangat sulit, namun mendorongnya ke bawah gampang sekali. Demikian juga orang perlu berjuang banyak untuk menumbuhkan kualitas baik, tetapi jatuhnya sangat cepat karena melakukan satu kesalahan.
Dalam konteks moral sosial, orang secara konsisten dituntut untuk berperilaku sesuai dengan tatanan yang berlaku. Agar reputasinya tetap terjaga dengan baik, dia harus berjuang secara terus-menerus untuk itu. Dia harus berperilaku sesuai dengan apa yang masyarakat harapkan. Bahkan, meskipun perilaku itu bertentangan dengan hati nurani pun, dia harus laksanakan itu guna mempertahankan kebaikannya. Orang harus menahan dirinya untuk tetap tersenyum dalam pergaulan meskipun dirinya sedang sedih. Orang harus tetap kelihatan tenang dan gentle meskipun kehidupan pribadinya penuh dengan duri dan kemalangan. Apa yang tampak sering berbeda dengan apa kesejatiannya. Tidak sedikit orang merasa bahwa, agar diterima dalam pergaulan, dia harus hypocrite. Tidak ada pilihan lain baginya karena pergaulan di masyarakat telah memiliki standar yang baku. Jika kita berbeda dengan standar itu, tentu mereka akan menjauh. Bahkan orang menyebut karakter dan reputasi kita tidak baik.
Berbeda dengan orang yang perilakunya memang secara alami telah sesuai dengan standar yang dikehendaki oleh pergaulan masyarakat. Dia akan bertindak secara alami dan orang-orang di sekitarnya akan dapat menerimanya dengan mudah. Namun, apa yang diuraikan oleh teks di atas sepertinya bukan untuk orang yang secara alami selaras dengan kode etik sosial. Teks di atas lebih mengarah kepada orang yang setiap saat memperjuangkan reputasinya dengan cara menjaga kualitas dirinya di depan umum. Upaya untuk menjaga agar kita tetap kelihatan baik dalam pergaulan sosial itu diibaratkan seperti menggulingkan batu besar ke atas bukit. Diperlukan tenaga yang besar dan konstan agar batu itu sampai di puncak. Mungkin sebagian besar orang kualitas individunya berbeda jauh atau bahkan berseberangan dengan kode etik sosial, namun dia menginginkan agar keberadaannya diakui oleh masyarakat. Dia harus berjuang secara terus-menerus bahwa kualitas dirinya itu layak diperhitungkan dan dihargai. Dia harus membangun sebuah kualitas yang
selaras dengan kode etik masyarakat meskipun bertolak belakang dengan kualitas yang ada pada dirinya itu.
Masalahnya terletak di sini. Sebagian besar orang jatuh reputasinya oleh karena permasalahan ini. Teks di atas memberikan persamaan ‘mudah sekali menggulingkan batu ke bawah’. Oleh karena kualitas yang dibangunnya itu berbeda dengan perangai aslinya dan tidak setiap saat dirinya bisa awas dan sadar akan hal itu, sehingga ada masanya dia mengekspresikan dirinya sesuai aslinya. Tentu ekspresi asli ini berbeda dengan tuntutan yang diharuskan. Karena berbeda, masyarakat pun bereaksi dan mengatakan bahwa orang ini telah melakukan tindakan yang melanggar kode etik. Jadi, meskipun sejak awal dia berupaya membangun reputasinya agar tetap baik dengan menumbuhkan kualitas yang sejalan dengan kode etik tersebut, namun ada suatu ketika kebablasan dan mengekspresikan sesuatu di luar koridor itu, sehingga reputasinya jatuh. Kebaikan yang dibangun secara bersusah payah dengan mudah ditutupi oleh keteledorannya. Secara moral orang itu telah tercoreng. Dan untuk menghilangkan bekas corengan tersebut, dia harus mulai dari awal.
Seperti itulah psikologi kehidupan sosial ketika dihubungkan antara diri individu dan kode etik sosial. Orang sekitar akan segera mengenali kesalahan kita oleh karena memang kode etik itu tidak tebang pilih. Secara naluri setiap orang memiliki bakat untuk menemukan kesalahan orang lain dan kemudian menghubungkannya dengan kode etik tersebut. Oleh karena itulah, pendidikan moral, bagaimana menjaga tingkah laku di masyarakat itu sangat dipentingkan, bahkan lebih penting dari memenuhi kebutuhan pokok kita sehari-hari. Menjadi alami seperti apa adanya itu lebih sering menyakitkan karena standar kode etik sosial tidak mengizinkannya. Bagusnya, jika hal ini secara konstan mampu menghadirkan kesadaran, tidak tertutup kemungkinan perilaku moral itu bisa menjadi sadhana spiritual. Bagi masyarakat mungkin tidak penting apakah perilaku etik kita berdampak spiritual atau tidak, tetapi bagi kita hal itu perlu agar terhindar dari rasa keterpaksaan terus-menerus. *
I Gede Suwantana
Dalam konteks moral sosial, orang secara konsisten dituntut untuk berperilaku sesuai dengan tatanan yang berlaku. Agar reputasinya tetap terjaga dengan baik, dia harus berjuang secara terus-menerus untuk itu. Dia harus berperilaku sesuai dengan apa yang masyarakat harapkan. Bahkan, meskipun perilaku itu bertentangan dengan hati nurani pun, dia harus laksanakan itu guna mempertahankan kebaikannya. Orang harus menahan dirinya untuk tetap tersenyum dalam pergaulan meskipun dirinya sedang sedih. Orang harus tetap kelihatan tenang dan gentle meskipun kehidupan pribadinya penuh dengan duri dan kemalangan. Apa yang tampak sering berbeda dengan apa kesejatiannya. Tidak sedikit orang merasa bahwa, agar diterima dalam pergaulan, dia harus hypocrite. Tidak ada pilihan lain baginya karena pergaulan di masyarakat telah memiliki standar yang baku. Jika kita berbeda dengan standar itu, tentu mereka akan menjauh. Bahkan orang menyebut karakter dan reputasi kita tidak baik.
Berbeda dengan orang yang perilakunya memang secara alami telah sesuai dengan standar yang dikehendaki oleh pergaulan masyarakat. Dia akan bertindak secara alami dan orang-orang di sekitarnya akan dapat menerimanya dengan mudah. Namun, apa yang diuraikan oleh teks di atas sepertinya bukan untuk orang yang secara alami selaras dengan kode etik sosial. Teks di atas lebih mengarah kepada orang yang setiap saat memperjuangkan reputasinya dengan cara menjaga kualitas dirinya di depan umum. Upaya untuk menjaga agar kita tetap kelihatan baik dalam pergaulan sosial itu diibaratkan seperti menggulingkan batu besar ke atas bukit. Diperlukan tenaga yang besar dan konstan agar batu itu sampai di puncak. Mungkin sebagian besar orang kualitas individunya berbeda jauh atau bahkan berseberangan dengan kode etik sosial, namun dia menginginkan agar keberadaannya diakui oleh masyarakat. Dia harus berjuang secara terus-menerus bahwa kualitas dirinya itu layak diperhitungkan dan dihargai. Dia harus membangun sebuah kualitas yang
selaras dengan kode etik masyarakat meskipun bertolak belakang dengan kualitas yang ada pada dirinya itu.
Masalahnya terletak di sini. Sebagian besar orang jatuh reputasinya oleh karena permasalahan ini. Teks di atas memberikan persamaan ‘mudah sekali menggulingkan batu ke bawah’. Oleh karena kualitas yang dibangunnya itu berbeda dengan perangai aslinya dan tidak setiap saat dirinya bisa awas dan sadar akan hal itu, sehingga ada masanya dia mengekspresikan dirinya sesuai aslinya. Tentu ekspresi asli ini berbeda dengan tuntutan yang diharuskan. Karena berbeda, masyarakat pun bereaksi dan mengatakan bahwa orang ini telah melakukan tindakan yang melanggar kode etik. Jadi, meskipun sejak awal dia berupaya membangun reputasinya agar tetap baik dengan menumbuhkan kualitas yang sejalan dengan kode etik tersebut, namun ada suatu ketika kebablasan dan mengekspresikan sesuatu di luar koridor itu, sehingga reputasinya jatuh. Kebaikan yang dibangun secara bersusah payah dengan mudah ditutupi oleh keteledorannya. Secara moral orang itu telah tercoreng. Dan untuk menghilangkan bekas corengan tersebut, dia harus mulai dari awal.
Seperti itulah psikologi kehidupan sosial ketika dihubungkan antara diri individu dan kode etik sosial. Orang sekitar akan segera mengenali kesalahan kita oleh karena memang kode etik itu tidak tebang pilih. Secara naluri setiap orang memiliki bakat untuk menemukan kesalahan orang lain dan kemudian menghubungkannya dengan kode etik tersebut. Oleh karena itulah, pendidikan moral, bagaimana menjaga tingkah laku di masyarakat itu sangat dipentingkan, bahkan lebih penting dari memenuhi kebutuhan pokok kita sehari-hari. Menjadi alami seperti apa adanya itu lebih sering menyakitkan karena standar kode etik sosial tidak mengizinkannya. Bagusnya, jika hal ini secara konstan mampu menghadirkan kesadaran, tidak tertutup kemungkinan perilaku moral itu bisa menjadi sadhana spiritual. Bagi masyarakat mungkin tidak penting apakah perilaku etik kita berdampak spiritual atau tidak, tetapi bagi kita hal itu perlu agar terhindar dari rasa keterpaksaan terus-menerus. *
I Gede Suwantana
Komentar