Men Coblong Karya Oka Rusmini Ceritakan Feminisme Secara Berbeda
GIANYAR, NusaBali
Kehilangan motivasi dan sulit fokus karena krisis akibat pandemi Covid-19 adalah hal yang wajar dan hampir semua orang mengalaminya. Namun, respon kreatif bisa dijadikan sebuah cara agar kembali menemukan inspirasi, ide, serta semangat baru bagi setiap orang.
Berawal dari menulis di kolom koran, penulis dan mantan jurnalis senior, Oka Rusmini, menawarkan perspektif feminin yang baru tentang ibu dan wanita dalam buku yang baru ia luncurkan, ‘Men Coblong’.
Karakter Men Coblong, seorang wanita paruh baya dengan seorang putra, menyuarakan tanggapannya terhadap kepekaan agama, budaya, politik, dan kehidupan sehari-hari. Buku ini merangkai cerita pendek dan esai yang memiliki sindiran yang tajam dan menantang ‘fakta’ dalam fiksi.
Oka Rusmini, yang juga merupakan novelis dan jurnalis, memang lebih dikenal dengan tulisannya tentang situasi yang dihadapi perempuan dalam budaya patriarki dalam masyarakat tradisional. Ia pernah menerima Southeast Asian Writers Award tahun 2012 dan telah berbicara di berbagai forum sastra nasional dan internasional, termasuk ASEAN Writers Writing Program dan Winternachten Literature Festival di Belanda.
Memulai kariernya sebagai jurnalis pada tahun 1990-an, Oka menemukan bahwa dunia penulisan jurnalis yang didominasi kalangan pria bersifat maskulin. “Saat itu bisa dihitung jumlah wartawan wanita,” ceritanya saat diwawancarai via Zoom.
Hal ini kemudian menarik Oka mengangkat topik tentang perempuan Bali yang begitu terikat dengan adat-istiadat serta sosial, budaya dan agama yang sangat kental. Sebagai seorang perempuan Bali juga, hal ini menjadi menarik karena umumnya perspektif diambil dengan melihat pada kehidupan perempuan Ibukota. Ia lalu menyaksikan ketika karya-karyanya diluncurkan di Jerman dan Seoul, Korea Selatan, rupanya ada saja yang memiliki cerita sama. “Saya tidak menyangka sih karena yang saya ceritakan kan dari perspektif masyarakat daerah,” ungkapnya.
Diceritakan dengan jenaka dan berkarikatur, Oka ingin setiap pembacanya, khususnya para perempuan bisa merasa terkait pada cerita Men Coblong. “Rasanya seperti menertawakan diri sendiri,” jelasnya dengan tertawa kecil.
Oka pun berharap agar perempuan bisa berani menulis dan berpikir sehingga bisa menjadi tambahan ‘gizi’ dalam kehidupan bermasyarakat. Cerita Men Coblong sendiri ia dapat saat sedang menunggu menjemput anaknya pulang sekolah.
Melalui pengalaman dan jam terbangnya yang tinggi, Oka melihat perempuan dengan tiga hal, yaitu rambu, tabu, dan teror. “Rambu itu seperti batasan, lalu tabu itu berupa hal-hal niscaya dan terlarang, kemudian teror seperti pertanyaan-pertanyaan ‘Kapan nikah?’ seperti itu,” tuturnya lagi.
Menurutnya, seharusnya tidak akan ada halangan apapun bagi perempuan jika bisa berkomunikasi dengan baik. “Perempuan masa kini juga harus kuat secara ekonomi, kemudian bisa berpolitik dalam keluarganya sendiri,” ungkapnya lagi.
Buku Men Coblong menjadi berbeda dan istimewa karena buku ini merupakan buku yang bisa dikatakan diambil dari kisah-kisah nyata.
Oka kemudian juga mendorong para perempuan untuk lebih berani menulis. Ia juga menyarankan untuk menulis esai. Ia sendiri menyatakan sudah menemukan serunya menulis esai meskipun ia mengawali tulisan-tulisannya dengan menulis puisi.
“Sarannya rajin mencatat dan berlatih. Hingga saat ini saya juga masih selalu menonton berita setiap pagi karena dari situlah saya dapat informasi,” ungkap wanita yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung dalam dunia menulis dan jurnalistik. Ia juga mengingatkan agar tidak menulis dengan emosional seolah feminism itu anti laki-laki. Selain itu gunakan media digital untuk bisa menuangkan setiap penulisan.
Oka sendiri membuat blog dengan bertajuk ‘Terungku’ yang digunakan untuk menuangkan tulisannya. Menggunakan bahasa yang tidak biasa, Terungku berarti penjara atau terkungkung. “Sekalian untuk menggerakkan literasi juga, dengan begitu pembaca akan tertarik mencari tahu lebih dalam lagi,” jelasnya.
Melihat dampak pandemi bagi perempuan, menurut Oka, perempuan selalu menanggung luka-luka dalam hidup terutama pada pandemi ini karena saat ini wanita pun jadi ikut menanggung ekonomi keluarga. Berdialog dengan diri dan mendisiplinkan diri, serta harus bisa menghibur sendiri, menurut Oka menjadi cara agar para perempuan bisa tetap bertahan. “Temukan kebahagiaan sendiri, ubah mindset sendiri,” jelasnya dengan lembut dan berwibawa.
Oka bahkan mencontohkan dirinya sendiri yang awalnya tidak suka masak menjadi suka masak karena pandemi ini juga berdampak bagi dirinya sendiri. Oka berharap setiap proses perjalanannya akhirnya bisa menjadi sebuah cerita yang menginspirasi karena saat menulis ia hanya ingin mendokumentasikan setiap hal yang ia alami. Saat ini Oka mulai aktif melakukan riset untuk pembuatan buku yang rencananya akan ia terbitkan tahun depan.*cla
Karakter Men Coblong, seorang wanita paruh baya dengan seorang putra, menyuarakan tanggapannya terhadap kepekaan agama, budaya, politik, dan kehidupan sehari-hari. Buku ini merangkai cerita pendek dan esai yang memiliki sindiran yang tajam dan menantang ‘fakta’ dalam fiksi.
Oka Rusmini, yang juga merupakan novelis dan jurnalis, memang lebih dikenal dengan tulisannya tentang situasi yang dihadapi perempuan dalam budaya patriarki dalam masyarakat tradisional. Ia pernah menerima Southeast Asian Writers Award tahun 2012 dan telah berbicara di berbagai forum sastra nasional dan internasional, termasuk ASEAN Writers Writing Program dan Winternachten Literature Festival di Belanda.
Memulai kariernya sebagai jurnalis pada tahun 1990-an, Oka menemukan bahwa dunia penulisan jurnalis yang didominasi kalangan pria bersifat maskulin. “Saat itu bisa dihitung jumlah wartawan wanita,” ceritanya saat diwawancarai via Zoom.
Hal ini kemudian menarik Oka mengangkat topik tentang perempuan Bali yang begitu terikat dengan adat-istiadat serta sosial, budaya dan agama yang sangat kental. Sebagai seorang perempuan Bali juga, hal ini menjadi menarik karena umumnya perspektif diambil dengan melihat pada kehidupan perempuan Ibukota. Ia lalu menyaksikan ketika karya-karyanya diluncurkan di Jerman dan Seoul, Korea Selatan, rupanya ada saja yang memiliki cerita sama. “Saya tidak menyangka sih karena yang saya ceritakan kan dari perspektif masyarakat daerah,” ungkapnya.
Diceritakan dengan jenaka dan berkarikatur, Oka ingin setiap pembacanya, khususnya para perempuan bisa merasa terkait pada cerita Men Coblong. “Rasanya seperti menertawakan diri sendiri,” jelasnya dengan tertawa kecil.
Oka pun berharap agar perempuan bisa berani menulis dan berpikir sehingga bisa menjadi tambahan ‘gizi’ dalam kehidupan bermasyarakat. Cerita Men Coblong sendiri ia dapat saat sedang menunggu menjemput anaknya pulang sekolah.
Melalui pengalaman dan jam terbangnya yang tinggi, Oka melihat perempuan dengan tiga hal, yaitu rambu, tabu, dan teror. “Rambu itu seperti batasan, lalu tabu itu berupa hal-hal niscaya dan terlarang, kemudian teror seperti pertanyaan-pertanyaan ‘Kapan nikah?’ seperti itu,” tuturnya lagi.
Menurutnya, seharusnya tidak akan ada halangan apapun bagi perempuan jika bisa berkomunikasi dengan baik. “Perempuan masa kini juga harus kuat secara ekonomi, kemudian bisa berpolitik dalam keluarganya sendiri,” ungkapnya lagi.
Buku Men Coblong menjadi berbeda dan istimewa karena buku ini merupakan buku yang bisa dikatakan diambil dari kisah-kisah nyata.
Oka kemudian juga mendorong para perempuan untuk lebih berani menulis. Ia juga menyarankan untuk menulis esai. Ia sendiri menyatakan sudah menemukan serunya menulis esai meskipun ia mengawali tulisan-tulisannya dengan menulis puisi.
“Sarannya rajin mencatat dan berlatih. Hingga saat ini saya juga masih selalu menonton berita setiap pagi karena dari situlah saya dapat informasi,” ungkap wanita yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung dalam dunia menulis dan jurnalistik. Ia juga mengingatkan agar tidak menulis dengan emosional seolah feminism itu anti laki-laki. Selain itu gunakan media digital untuk bisa menuangkan setiap penulisan.
Oka sendiri membuat blog dengan bertajuk ‘Terungku’ yang digunakan untuk menuangkan tulisannya. Menggunakan bahasa yang tidak biasa, Terungku berarti penjara atau terkungkung. “Sekalian untuk menggerakkan literasi juga, dengan begitu pembaca akan tertarik mencari tahu lebih dalam lagi,” jelasnya.
Melihat dampak pandemi bagi perempuan, menurut Oka, perempuan selalu menanggung luka-luka dalam hidup terutama pada pandemi ini karena saat ini wanita pun jadi ikut menanggung ekonomi keluarga. Berdialog dengan diri dan mendisiplinkan diri, serta harus bisa menghibur sendiri, menurut Oka menjadi cara agar para perempuan bisa tetap bertahan. “Temukan kebahagiaan sendiri, ubah mindset sendiri,” jelasnya dengan lembut dan berwibawa.
Oka bahkan mencontohkan dirinya sendiri yang awalnya tidak suka masak menjadi suka masak karena pandemi ini juga berdampak bagi dirinya sendiri. Oka berharap setiap proses perjalanannya akhirnya bisa menjadi sebuah cerita yang menginspirasi karena saat menulis ia hanya ingin mendokumentasikan setiap hal yang ia alami. Saat ini Oka mulai aktif melakukan riset untuk pembuatan buku yang rencananya akan ia terbitkan tahun depan.*cla
Komentar