Ekspor Buah Terkendala Biaya Tinggi
Biaya kargo meningkat lima kali lipat sehingga biasanya bisa kirim dalam hitungan berton-ton per bulan, kini hanya ratusan kilogram saja.
SINGARAJA, NusaBali
Perusahaan yang bergerak di bidang ekspor buah selama pandemi ini tak dapat berbuat banyak. Usaha yang biasanya menyerap hasil pertanian lokal Bali menjadi kembang kempis. Terlebih biaya pengiriman ke negara tujuan saat pandemi ini mengalami kenaikan lima kali lipat.
Salah satu perusahaan yang concern di bidang ekspor impor komoditi buah adalah PT Bali Organik Subak (BOS). Perusahaan ini biasa mengirim buah ke luar negeri dalam hitungan ton. Namun pada masa pandemi ini, mereka terpaksa membatasi volume pengiriman buah. Penyebabnya ialah biaya pengiriman yang terbilang mahal.
Pada September lalu perusahaan tercatat mengirim 700 kilogram buah ke Eropa. Sebanyak 450 kilogram di antaranya merupakan buah naga yang diproduksi petani dari Desa Bulian, 200 kilogram lainnya buah mangga yang diproduksi petani Desa Tembok, dan 50 kilogram sisanya adalah buah salah produksi petani di Desa Sibetan.
CEO PT BOS AA Gede Agung Wedhatama mengungkapkan biaya pengiriman kargo untuk komoditas pertanian saat ini masih terbilang mahal. Saat ini pengusaha dikenakan biaya pengiriman sebesar Rp 60 ribu per kilogram. Biaya itu pun naik lima kali lipat dari biaya sebelum pandemi yang hanya berkisar Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per kilogram.
“Biaya pengirimannya belum masuk. Kalau mau murah harus mengirim via laut. Tapi kalau mengirim barang ke Eropa via laut itu butuh 21 hari. Untuk kirim produk pertanian itu belum bisa dalam waktu selama itu,” kata pria yang akrab disapa Gung Weda itu.
Biaya pengiriman mahal membuat pengusaha ekspor impor yang bergerak di bidang komoditas produk pertanian relatif tak bisa bergerak banyak. Khusus untuk produk buah, mereka pun kalah saing dengan komoditas dari Uganda dan Thailand. Khusus di pasar Thailand, pemerintah setempat memberikan subsidi biaya kargo dan penerbangan ke luar negeri juga masih tersedia. Sehingga biaya yang dikeluarkan pengusaha diringankan pemerintah.
“Kalau kita di sini kan biaya kargo sudah mahal, tidak ada subsidi. Ditambah lagi penerbangan belum reguler buka. Ini sangat menghambat sebenarnya,” imbuhnya.
Meski demikian Gung Weda mengaku optimistis masih bisa menembus pasar ekspor. Utamanya di Eropa dan Timur Tengah karena permintaan masih cukup tinggi. Terlebih lagi di Eropa kini jelang memasuki musim dingin, kebanyakan warga mulai menyimpan pasokan makanan salah satunya buah-buahan. “Sebenarnya uang itu kan ada di luar (negeri) sekarang. Kalau kita bicara Bali, uangnya sudah habis. Kami harap ada semacam jalan keluar terkait ini, supaya uang dari luar biasa masuk,” harap dia.*k23
Salah satu perusahaan yang concern di bidang ekspor impor komoditi buah adalah PT Bali Organik Subak (BOS). Perusahaan ini biasa mengirim buah ke luar negeri dalam hitungan ton. Namun pada masa pandemi ini, mereka terpaksa membatasi volume pengiriman buah. Penyebabnya ialah biaya pengiriman yang terbilang mahal.
Pada September lalu perusahaan tercatat mengirim 700 kilogram buah ke Eropa. Sebanyak 450 kilogram di antaranya merupakan buah naga yang diproduksi petani dari Desa Bulian, 200 kilogram lainnya buah mangga yang diproduksi petani Desa Tembok, dan 50 kilogram sisanya adalah buah salah produksi petani di Desa Sibetan.
CEO PT BOS AA Gede Agung Wedhatama mengungkapkan biaya pengiriman kargo untuk komoditas pertanian saat ini masih terbilang mahal. Saat ini pengusaha dikenakan biaya pengiriman sebesar Rp 60 ribu per kilogram. Biaya itu pun naik lima kali lipat dari biaya sebelum pandemi yang hanya berkisar Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per kilogram.
“Biaya pengirimannya belum masuk. Kalau mau murah harus mengirim via laut. Tapi kalau mengirim barang ke Eropa via laut itu butuh 21 hari. Untuk kirim produk pertanian itu belum bisa dalam waktu selama itu,” kata pria yang akrab disapa Gung Weda itu.
Biaya pengiriman mahal membuat pengusaha ekspor impor yang bergerak di bidang komoditas produk pertanian relatif tak bisa bergerak banyak. Khusus untuk produk buah, mereka pun kalah saing dengan komoditas dari Uganda dan Thailand. Khusus di pasar Thailand, pemerintah setempat memberikan subsidi biaya kargo dan penerbangan ke luar negeri juga masih tersedia. Sehingga biaya yang dikeluarkan pengusaha diringankan pemerintah.
“Kalau kita di sini kan biaya kargo sudah mahal, tidak ada subsidi. Ditambah lagi penerbangan belum reguler buka. Ini sangat menghambat sebenarnya,” imbuhnya.
Meski demikian Gung Weda mengaku optimistis masih bisa menembus pasar ekspor. Utamanya di Eropa dan Timur Tengah karena permintaan masih cukup tinggi. Terlebih lagi di Eropa kini jelang memasuki musim dingin, kebanyakan warga mulai menyimpan pasokan makanan salah satunya buah-buahan. “Sebenarnya uang itu kan ada di luar (negeri) sekarang. Kalau kita bicara Bali, uangnya sudah habis. Kami harap ada semacam jalan keluar terkait ini, supaya uang dari luar biasa masuk,” harap dia.*k23
Komentar