Mau Tahu Tips Menulis? Ini Cerita Oktaria Asmarani
GIANYAR, NusaBali
Oktaria Asmarani adalah seorang perempuan muda yang mengelola program pendidikan lingkungan di R.O.L.E Foundation, sebuah lembaga lingkungan yang berlokasi di Nusa Dua, Bali.
Perempuan yang biasa disapa Okta atau Rani ini juga sesekali menulis dan mengedit artikel di portal media digital, Balebengong yang percaya pada jurnalisme warga dengan menyoroti banyak cerita yang belum pernah terdengar.
Ketika masih kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ia memimpin tim redaksi Balairung untuk penerbit dan pers mahasiswa. Pengalamannya itu sempat membawa dirinya menjadi seorang reporter musik di Majalah WARN!NG tanpa diupah alias sukarela. “Warning magazine ini memang non-profit, namun saat itu pola kerjanya sama seperti wartawan atau reporter di industri media umumnya, dengan target liputan gig musik serta tulisan terkait musisi-musisi,” kenang Okta.
Meskipun terlihat mudah, Okta menceritakan pengalamannya menulis di Warning ternyata tidak mudah. “Awalnya aku cukup percaya diri akan kemampuan menulis serta pengetahuan tentang musik atau film, ternyata banyak sekali hal yang masih bisa aku explore lebih lagi tentang musik,” ceritanya.
Ia mengaku menulis untuk majalah musik sangat berbeda dengan media kampus yang banyak mengangkat isu sosial politik di dunia kampus. “Jadi lebih paham bahwa saat mewawancarai musisi dengan karya mereka ada parameter yang beda-beda. Penting untuk berjejaring dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Harus mengenal manajer, paham suasana di panggung atau bisa juga mengulik lebih dalam pada kehidupan musisi. Perlu baca, dengar, banyak ketemu orang,” tutur Okta lagi.
Hal ini memang tidak mudah dan bahkan lebih berat menurutnya. Namun, tidak disangka, rupanya hal ini bisa membuatnya menjadi dekat dengan grup musik Sisir Tanah.
Lebih lanjut, Okta lalu membagikan tips dan trik yang ia temukan saat menulis. Okta sendiri sudah mulai menulis sejak usia delapan tahun. “Bli Made Supriatma dan Febriana Firdaus adalah yang paling menginspirasi saya akhir-akhir ini,” ungkapnya saat ditanya siapa sosok yang menginspirasi tulisan-tulisan Okta.
Menurut Okta, untuk menulis memang sangat diperlukan untuk membaca. Namun, menurutnya kita bisa membaca apapun. “In order to write, read. Tapi tidak harus selalu baca buku. Kita bisa baca apapun dengan mengasah kepekaan kita. Misalkan, membaca gambar, bahkan membaca tanda alam,” tutur Okta antusias.
Bagi Okta, terlepas dari apapun hasil penulisannya, baik jurnalis maupun opini, penting untuk bisa mengasah kepekaan diri dengan seluruh indera yang kita miliki. “Karena cara belajar setiap orang pasti berbeda. Jadi perhatikan hal-hal detil yang bisa mengambil perspektif baru,” jelas wanita yang bernama lengkap Ni Nyoman Oktaria Asmarani ini.
Okta sendiri juga menulis di blog. Dengan menulis blog, Okta merasa bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri. Disitu dia menceritakan cerita-cerita sederhana yang terjadi di kesehariannya. Okta pun dengan berani memasukkan hal-hal banal, biasa saja tapi kemudian memasukkan perspektifnya kedalam tulisannya dan ternyata bisa menginspirasi banyak orang lainnya. “Padahal tulisan itu bahkan saya buat untuk saya sendiri,” ungkapnya lagi.
Cara Okta memulai menulis pun sederhana, dengan menulis buku harian atau journaling. “Temukan apa yang membuatmu merasa senang lalu mulai saja. Kemudian buat jadi kebiasaan dan konsisten sampai ketemu pola dan cara sendiri. Jangan lupa cari dan baca referensi lainnya,” tutur Okta. Ia juga mengingatkan agar tidak merasa cepat puas dan bersedia menerima juga melontarkan kritik pada setiap tulisan.
Never stop learning bisa dibilang menjadi pedoman Okta dalam menulis. Meskipun ia lebih suka menulis hal personal di blognya, ia mengaku sedang mempelajari menulis tulisan kritik seni dan filsafat yang dikemas dengan ringan dan menarik. Pengalamannya ketika menulis tentang konflik tanah di Selasih, Gianyar menjadi pengalaman favorit. “Saat itu ibu-ibu di sana menghadang truk-truk besar yang tiba-tiba masuk ke lahan mereka dengan hanya memakai bra. Proses penulisannya terasa luar biasa berarti dan dengan menulis tulisan itu membuat suara mereka bisa terungkap,” kenang Okta terharu.
Pada saat event KEMBALI 2020, Okta berkesempatan menjadi host pada program Bali’s Green Movement bersama Silvina Miguel, Kadek Suardika dan Ida Bagus Mandhara Brasika. Covid-19 yang telah memaksa banyak orang Bali untuk kembali ke tanah leluhur mereka untuk bertani atau menangkap ikan agar dapat bertahan hidup. Namun, jauh sebelum pandemi, banyak anak muda telah menemukan semangat baru untuk pertanian, dan mengembangkan solusi lokal untuk mengatasi masalah lingkungan.
Terlepas dari perannya sebagai pengelola pendidikan lingkungan di ROLE Foundation, Okta menaruh ketertarikan yang luas akan lingkungan. Tren ‘back to nature’ saat pandemi, ia pandang sebagai satu hal yang bisa terus dilanjutkan.
“Orang-orang ini telah mencoba hal baru untuk bisa melakukan hal yang lebih lebih baik, lebih tenang, serta bermanfaat bagi alam. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk orang-orang yang bekerja dalam bidang berkebun dan lingkungan untuk menyebarkan ‘propaganda’ pada masyarakat bahwa ini adalah lifestyle yang bagus untuk kita teruskan untuk keberlanjutan kehidupan kita. Karena mindset itu pun akan dimiliki di masyarakat.
Dengan berkebun bisa membantu kita menjadi sustainable dimulai dari rumah. Meskipun dimulai sebagai tren tapi sebenarnya ini merupakan cara hidup yang sederhana. Bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk rumah sendiri,” jelas Okta.
Terakhir, Okta berpesan agar generasi muda bisa mulai berkarya selagi bisa. “Pakai waktumu untuk berkarya. Tulislah sejarahmu sendiri. Tidak harus lewat tulisan, lewat apapun sejauh itu bisa bermakna, lakukan saja,” tutupnya.*cla
Ketika masih kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ia memimpin tim redaksi Balairung untuk penerbit dan pers mahasiswa. Pengalamannya itu sempat membawa dirinya menjadi seorang reporter musik di Majalah WARN!NG tanpa diupah alias sukarela. “Warning magazine ini memang non-profit, namun saat itu pola kerjanya sama seperti wartawan atau reporter di industri media umumnya, dengan target liputan gig musik serta tulisan terkait musisi-musisi,” kenang Okta.
Meskipun terlihat mudah, Okta menceritakan pengalamannya menulis di Warning ternyata tidak mudah. “Awalnya aku cukup percaya diri akan kemampuan menulis serta pengetahuan tentang musik atau film, ternyata banyak sekali hal yang masih bisa aku explore lebih lagi tentang musik,” ceritanya.
Ia mengaku menulis untuk majalah musik sangat berbeda dengan media kampus yang banyak mengangkat isu sosial politik di dunia kampus. “Jadi lebih paham bahwa saat mewawancarai musisi dengan karya mereka ada parameter yang beda-beda. Penting untuk berjejaring dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Harus mengenal manajer, paham suasana di panggung atau bisa juga mengulik lebih dalam pada kehidupan musisi. Perlu baca, dengar, banyak ketemu orang,” tutur Okta lagi.
Hal ini memang tidak mudah dan bahkan lebih berat menurutnya. Namun, tidak disangka, rupanya hal ini bisa membuatnya menjadi dekat dengan grup musik Sisir Tanah.
Lebih lanjut, Okta lalu membagikan tips dan trik yang ia temukan saat menulis. Okta sendiri sudah mulai menulis sejak usia delapan tahun. “Bli Made Supriatma dan Febriana Firdaus adalah yang paling menginspirasi saya akhir-akhir ini,” ungkapnya saat ditanya siapa sosok yang menginspirasi tulisan-tulisan Okta.
Menurut Okta, untuk menulis memang sangat diperlukan untuk membaca. Namun, menurutnya kita bisa membaca apapun. “In order to write, read. Tapi tidak harus selalu baca buku. Kita bisa baca apapun dengan mengasah kepekaan kita. Misalkan, membaca gambar, bahkan membaca tanda alam,” tutur Okta antusias.
Bagi Okta, terlepas dari apapun hasil penulisannya, baik jurnalis maupun opini, penting untuk bisa mengasah kepekaan diri dengan seluruh indera yang kita miliki. “Karena cara belajar setiap orang pasti berbeda. Jadi perhatikan hal-hal detil yang bisa mengambil perspektif baru,” jelas wanita yang bernama lengkap Ni Nyoman Oktaria Asmarani ini.
Okta sendiri juga menulis di blog. Dengan menulis blog, Okta merasa bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri. Disitu dia menceritakan cerita-cerita sederhana yang terjadi di kesehariannya. Okta pun dengan berani memasukkan hal-hal banal, biasa saja tapi kemudian memasukkan perspektifnya kedalam tulisannya dan ternyata bisa menginspirasi banyak orang lainnya. “Padahal tulisan itu bahkan saya buat untuk saya sendiri,” ungkapnya lagi.
Cara Okta memulai menulis pun sederhana, dengan menulis buku harian atau journaling. “Temukan apa yang membuatmu merasa senang lalu mulai saja. Kemudian buat jadi kebiasaan dan konsisten sampai ketemu pola dan cara sendiri. Jangan lupa cari dan baca referensi lainnya,” tutur Okta. Ia juga mengingatkan agar tidak merasa cepat puas dan bersedia menerima juga melontarkan kritik pada setiap tulisan.
Never stop learning bisa dibilang menjadi pedoman Okta dalam menulis. Meskipun ia lebih suka menulis hal personal di blognya, ia mengaku sedang mempelajari menulis tulisan kritik seni dan filsafat yang dikemas dengan ringan dan menarik. Pengalamannya ketika menulis tentang konflik tanah di Selasih, Gianyar menjadi pengalaman favorit. “Saat itu ibu-ibu di sana menghadang truk-truk besar yang tiba-tiba masuk ke lahan mereka dengan hanya memakai bra. Proses penulisannya terasa luar biasa berarti dan dengan menulis tulisan itu membuat suara mereka bisa terungkap,” kenang Okta terharu.
Pada saat event KEMBALI 2020, Okta berkesempatan menjadi host pada program Bali’s Green Movement bersama Silvina Miguel, Kadek Suardika dan Ida Bagus Mandhara Brasika. Covid-19 yang telah memaksa banyak orang Bali untuk kembali ke tanah leluhur mereka untuk bertani atau menangkap ikan agar dapat bertahan hidup. Namun, jauh sebelum pandemi, banyak anak muda telah menemukan semangat baru untuk pertanian, dan mengembangkan solusi lokal untuk mengatasi masalah lingkungan.
Terlepas dari perannya sebagai pengelola pendidikan lingkungan di ROLE Foundation, Okta menaruh ketertarikan yang luas akan lingkungan. Tren ‘back to nature’ saat pandemi, ia pandang sebagai satu hal yang bisa terus dilanjutkan.
“Orang-orang ini telah mencoba hal baru untuk bisa melakukan hal yang lebih lebih baik, lebih tenang, serta bermanfaat bagi alam. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk orang-orang yang bekerja dalam bidang berkebun dan lingkungan untuk menyebarkan ‘propaganda’ pada masyarakat bahwa ini adalah lifestyle yang bagus untuk kita teruskan untuk keberlanjutan kehidupan kita. Karena mindset itu pun akan dimiliki di masyarakat.
Dengan berkebun bisa membantu kita menjadi sustainable dimulai dari rumah. Meskipun dimulai sebagai tren tapi sebenarnya ini merupakan cara hidup yang sederhana. Bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk rumah sendiri,” jelas Okta.
Terakhir, Okta berpesan agar generasi muda bisa mulai berkarya selagi bisa. “Pakai waktumu untuk berkarya. Tulislah sejarahmu sendiri. Tidak harus lewat tulisan, lewat apapun sejauh itu bisa bermakna, lakukan saja,” tutupnya.*cla
Komentar