Ada Gegumuk Tempat Makam Abu Ida Bhatara Kresna Kepakisan
Pembangunan Kawitan Dinasti Ida Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan di Samplangan, Gianyar
Gundukan tanah ini di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, dilingkari pagar dengan rumput di dalamnya. Gundukan tanah ini tidak bisa ditanami apa pun, kecuali rerumputan
GIANYAR, NusaBali
Ada gundukan tanah khusus di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di kawasan Carik Sandat, Kelurahan Samplangan, Kecamatan Gianyar. Gundukan tanah yang disebut gegumuk ini diyakini sebagai tempat makam abu jenazah Raja Bali pertama dari trah Majapahit, Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan, beserta istri dan putrinya.
Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba berinisiatif membangun Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Kelurahan Samplangan, Kecamatan Gianyar berdasarkan wangsit (petunjuk niskala). Wangsit itu diperoleh dalam pertemuan gaib antara Ida Sri Bagawan Sabda Murthi dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan.
Berdasarkan wangsit tersebut, sulinggih dari Pasraman Pulakerti Denpasar ini diminta oleh Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan untuk membangun Prasada Panunggalan Majapahit dan Bali. Prasada itu harus dibangun di lokasi awal Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, menginjakkan kakinya di Gumi Bali, yakni di lokasi bekas Keraton Linggarsa Pura di Samplangan.
“Setelah pertemuan gaib dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan itu, saya membaca beberapa Babad Dalem. Ternyata benar seperti yang beliau katakan,” ungkap Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi saat ditemui NusaBali di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan, Selasa (3/11) lalu.
Menurut Ida Sri Bhagawan, petunjuk gaib agar membangun Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di kawasan Carik Sandat, Samplangan tersebut untuk mengingatkan sejarah bahwa keraton awal Majapahit di Bali adalah di Samplangan, bukan di Klungkung. Ida Sri Bhagawan kemudian menunjukkan sebuah gundukan tanah di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan.
Gundukan tanah ini dilingkari pagar, dengan rumput di dalamnya dan di tengahnya berisi kain poleng. Gundukan tanah ini tidak bisa ditanami apa pun, kecuali rerumputan. Setelah dilakukan penelusuran secara rohani dan kebathinan, gundukan tanah yang disebut gegumuk ini merupakan tempat penanaman abu jenazah Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, istri, dan putrinya.
“Sabda pertama bahwa beliau (Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan) sampai sekarang masih tetap tinggal di gegumuk tersebut, bersama istri dan putrinya. Sedangkan putra-putranya yakni Ida Dalem Samprangan, Ida Dalem Tarukan, dan Ida Dalem Ketut sudah menempati puri masing-masing,” papar Ida Sri Bhagawan. “Ida Dalem Samprangan berstana di Samplangan, Ida Dalem Tarukan berstana di Banjar Tarukan (Desa Pejeng), Ida Dalem Ketut di Desa Gelgel (Gianyar),” papar Ida Sri Bhagawan.
Kembali ke sejarah awal, kata Ida Sri Bhagawan, setelah dinobatkan sebagai Adipati Bali Dwipa oleh Raja Majapahit, Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan bersama rombongan berangkat dari Jawa ke Bali. Mereka masuk Bali melalui Pelabuhan Rangkung di Pantai Lebih, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar.
“Setelah itu, beliau menelusuri sungai hingga tiba di tempat perkemahan Gajah Mada di Carik Sandat atau Tegal Sahang, Kelurahan Samplangan ini. Wilayah ini diapit dua sungai, yakni Tukad Sangsang dan Tukad Cangkir,” papar Ida Sri Bhagawan.
Lokasi perkemahan Gajah Mada di Samplangan ini kemudian dijadikan Istana Kerajaan Linggarsa Pura, yang merupakan cikal bakal kerajaan dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali Tengah. Menurut Ida Sri Bhagawan, pusat kerajaan tidak lama berada di Samplangan, karena kemudian dipindahkan ke Klungkung.
Pasca istana pindah ke Klungkung, Keraton Linggarsa Pura tidak terurus, kemudian terbengkalai hingga akhirnya berubah jadi persawahan. “Keturunannya tidak ada yang rungu (tahun dan peduli, Red), padahal ini adalah wit (awal) dari dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali,” katanya.
“Beliau ingin dengan pembangunan ini, sebagai tempat suci saksi sejarah, agar preti sentana (generasi)-nya dapat tetap mengetahui dan mempelajari kehidupan di masa lampau. Inilah yang kami wujudkan dengan dibangunnya Padma, Prasada, dan Penyarikan sebagai saksi sejarah Keraton Linggarsa Pura,” beber tokoh spiritual asal Banjar Tarukan, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar ini.
Prasada yang dibangun tersebut, kata Ida Sri Bhagawan, adalah panunggalan (penyatuan) Majapahit dan Bali. Terlihat dari segi arsitekturnya, yang merupakan campuran arsitektur Majapahit di Jawa dan Bali.
Pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan pun dimulai sekitar 4 bulan lalu. Saat ini, baru dibangun 3 palinggih (bangunan suci), yakni Padmasana, Prasada Sanghyang Eka Twa Dalem Sri Kresna Kepakisan bertumpang setinggi 7 meter, dan Penyarikan. Selain itu, juga dibangun sebuah Pranala sebagai tempat pemujaan Mahapatih Gajah Mada.
Ida Sri Bhagawan mengisahkan, saat gotong royong hari ketiga pembangunan kawitan ini, dirinya kembali melihat secara rohani kedatangan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. “Beliau berkeinginan agar dibuatkan Patung Gajah Mada membawa lontar dan keris. Makna filosofinya adalah Gajah Mada melakukan penyelidikan di Bali,” ujarnya.
Patung Gajah Mada, yang mengenakan busana Jawa, dibangun dengan konsep rumah joglo, sebagai tanda awal datang ke Bali dari Jawa atas titah Raja Majapahit. Wajah dan perawakan Patung Gajah Mada juga dibuat berdasarkan wangsit saat pertemuan gaib Ida Sri Bhagawan dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. Patung Gajah Mada seberat 700 kg, dibawa ke lokasi dengan mengeragkan 20 orang menggunakan tandu bambu dan melewati jalan setapak. Patung Gajah Mada dikerjakan di kawasan Ubung, Denpasar Utara.
Ida Sri Bhagawan menyebutkan, Mahapatih Gajah Mada dulunya datang ke Bali dengan naik perahu kayu. Kedatangannya ke Bali untuk ekspedisi sebagai bagian misi menyatukan Nusantara, termasuk menagklukkan Bali yang kala itu dikuasai Raja Bedahulu. “Gajah Mada masuk Bali dari Pantai Lebih, kemudian menyusuri sungai hingga turun di Pura Dalem Pingit Samplangan,” terang Ida Sri Bhagawan.
Saat ini, Pura Dalem Pingit di Samplangan dipayungi sebuah pohon beringin besar. “Kalau orang punya mata bathin, mereka akan terlihat di bawah ada banyak jukung (perahu) yang sudah berbentuk fosil,” sebut Ida Sri Bhagawan.
Itu sebabnya, dalam pembangunan Prasada linggih Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan, Ida Sri Bhagawan membuatkan sebuah perahu sebagai tanda kedatangan awal Gajah Mada ke Bali.
Dulunya, tak jauh dari lokasi perkemahan Gajah Mada, terdapat pancoran tempat mandi bagi mahapatih Majapahit dan pasukannya. Lokasi pancoran itu sulit dijangkau, karena medannya sangat terjal. “Kami sejauh ini belum membuatkan akses jalan ke pancoran bersejarah itu. Rencananya, ke depan dibuatkan jalan yang bagus dan layak, sehingga bisa dijadikan sebagai tempat malukat.” *nvi
Ada gundukan tanah khusus di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di kawasan Carik Sandat, Kelurahan Samplangan, Kecamatan Gianyar. Gundukan tanah yang disebut gegumuk ini diyakini sebagai tempat makam abu jenazah Raja Bali pertama dari trah Majapahit, Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan, beserta istri dan putrinya.
Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba berinisiatif membangun Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Kelurahan Samplangan, Kecamatan Gianyar berdasarkan wangsit (petunjuk niskala). Wangsit itu diperoleh dalam pertemuan gaib antara Ida Sri Bagawan Sabda Murthi dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan.
Berdasarkan wangsit tersebut, sulinggih dari Pasraman Pulakerti Denpasar ini diminta oleh Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan untuk membangun Prasada Panunggalan Majapahit dan Bali. Prasada itu harus dibangun di lokasi awal Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, menginjakkan kakinya di Gumi Bali, yakni di lokasi bekas Keraton Linggarsa Pura di Samplangan.
“Setelah pertemuan gaib dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan itu, saya membaca beberapa Babad Dalem. Ternyata benar seperti yang beliau katakan,” ungkap Ida Sri Bhagawan Sabda Murthi saat ditemui NusaBali di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan, Selasa (3/11) lalu.
Menurut Ida Sri Bhagawan, petunjuk gaib agar membangun Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di kawasan Carik Sandat, Samplangan tersebut untuk mengingatkan sejarah bahwa keraton awal Majapahit di Bali adalah di Samplangan, bukan di Klungkung. Ida Sri Bhagawan kemudian menunjukkan sebuah gundukan tanah di lokasi pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan.
Gundukan tanah ini dilingkari pagar, dengan rumput di dalamnya dan di tengahnya berisi kain poleng. Gundukan tanah ini tidak bisa ditanami apa pun, kecuali rerumputan. Setelah dilakukan penelusuran secara rohani dan kebathinan, gundukan tanah yang disebut gegumuk ini merupakan tempat penanaman abu jenazah Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, istri, dan putrinya.
“Sabda pertama bahwa beliau (Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan) sampai sekarang masih tetap tinggal di gegumuk tersebut, bersama istri dan putrinya. Sedangkan putra-putranya yakni Ida Dalem Samprangan, Ida Dalem Tarukan, dan Ida Dalem Ketut sudah menempati puri masing-masing,” papar Ida Sri Bhagawan. “Ida Dalem Samprangan berstana di Samplangan, Ida Dalem Tarukan berstana di Banjar Tarukan (Desa Pejeng), Ida Dalem Ketut di Desa Gelgel (Gianyar),” papar Ida Sri Bhagawan.
Kembali ke sejarah awal, kata Ida Sri Bhagawan, setelah dinobatkan sebagai Adipati Bali Dwipa oleh Raja Majapahit, Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan bersama rombongan berangkat dari Jawa ke Bali. Mereka masuk Bali melalui Pelabuhan Rangkung di Pantai Lebih, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar.
“Setelah itu, beliau menelusuri sungai hingga tiba di tempat perkemahan Gajah Mada di Carik Sandat atau Tegal Sahang, Kelurahan Samplangan ini. Wilayah ini diapit dua sungai, yakni Tukad Sangsang dan Tukad Cangkir,” papar Ida Sri Bhagawan.
Lokasi perkemahan Gajah Mada di Samplangan ini kemudian dijadikan Istana Kerajaan Linggarsa Pura, yang merupakan cikal bakal kerajaan dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali Tengah. Menurut Ida Sri Bhagawan, pusat kerajaan tidak lama berada di Samplangan, karena kemudian dipindahkan ke Klungkung.
Pasca istana pindah ke Klungkung, Keraton Linggarsa Pura tidak terurus, kemudian terbengkalai hingga akhirnya berubah jadi persawahan. “Keturunannya tidak ada yang rungu (tahun dan peduli, Red), padahal ini adalah wit (awal) dari dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali,” katanya.
“Beliau ingin dengan pembangunan ini, sebagai tempat suci saksi sejarah, agar preti sentana (generasi)-nya dapat tetap mengetahui dan mempelajari kehidupan di masa lampau. Inilah yang kami wujudkan dengan dibangunnya Padma, Prasada, dan Penyarikan sebagai saksi sejarah Keraton Linggarsa Pura,” beber tokoh spiritual asal Banjar Tarukan, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar ini.
Prasada yang dibangun tersebut, kata Ida Sri Bhagawan, adalah panunggalan (penyatuan) Majapahit dan Bali. Terlihat dari segi arsitekturnya, yang merupakan campuran arsitektur Majapahit di Jawa dan Bali.
Pembangunan Kawitan Dinasti Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan pun dimulai sekitar 4 bulan lalu. Saat ini, baru dibangun 3 palinggih (bangunan suci), yakni Padmasana, Prasada Sanghyang Eka Twa Dalem Sri Kresna Kepakisan bertumpang setinggi 7 meter, dan Penyarikan. Selain itu, juga dibangun sebuah Pranala sebagai tempat pemujaan Mahapatih Gajah Mada.
Ida Sri Bhagawan mengisahkan, saat gotong royong hari ketiga pembangunan kawitan ini, dirinya kembali melihat secara rohani kedatangan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. “Beliau berkeinginan agar dibuatkan Patung Gajah Mada membawa lontar dan keris. Makna filosofinya adalah Gajah Mada melakukan penyelidikan di Bali,” ujarnya.
Patung Gajah Mada, yang mengenakan busana Jawa, dibangun dengan konsep rumah joglo, sebagai tanda awal datang ke Bali dari Jawa atas titah Raja Majapahit. Wajah dan perawakan Patung Gajah Mada juga dibuat berdasarkan wangsit saat pertemuan gaib Ida Sri Bhagawan dengan Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. Patung Gajah Mada seberat 700 kg, dibawa ke lokasi dengan mengeragkan 20 orang menggunakan tandu bambu dan melewati jalan setapak. Patung Gajah Mada dikerjakan di kawasan Ubung, Denpasar Utara.
Ida Sri Bhagawan menyebutkan, Mahapatih Gajah Mada dulunya datang ke Bali dengan naik perahu kayu. Kedatangannya ke Bali untuk ekspedisi sebagai bagian misi menyatukan Nusantara, termasuk menagklukkan Bali yang kala itu dikuasai Raja Bedahulu. “Gajah Mada masuk Bali dari Pantai Lebih, kemudian menyusuri sungai hingga turun di Pura Dalem Pingit Samplangan,” terang Ida Sri Bhagawan.
Saat ini, Pura Dalem Pingit di Samplangan dipayungi sebuah pohon beringin besar. “Kalau orang punya mata bathin, mereka akan terlihat di bawah ada banyak jukung (perahu) yang sudah berbentuk fosil,” sebut Ida Sri Bhagawan.
Itu sebabnya, dalam pembangunan Prasada linggih Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan di Samplangan, Ida Sri Bhagawan membuatkan sebuah perahu sebagai tanda kedatangan awal Gajah Mada ke Bali.
Dulunya, tak jauh dari lokasi perkemahan Gajah Mada, terdapat pancoran tempat mandi bagi mahapatih Majapahit dan pasukannya. Lokasi pancoran itu sulit dijangkau, karena medannya sangat terjal. “Kami sejauh ini belum membuatkan akses jalan ke pancoran bersejarah itu. Rencananya, ke depan dibuatkan jalan yang bagus dan layak, sehingga bisa dijadikan sebagai tempat malukat.” *nvi
Komentar