Kawasan Kuliner Berubah Jadi Kelas Belajar
DENPASAR, NusaBali
Pemandangan berbeda tampak di kawasan kuliner Pujasera Renon di Jalan Tukad Badung, Denpasar.
Dari pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang, tampak kawasan ini didatangi anak-anak. Bukan untuk belanja kulineran, namun untuk belajar bersama para relawan pengajar dan anggota Tim Anti Lapar.
Tim Anti Lapar, sebelumnya merupakan kelompok yang terbentuk di awal pandemi Covid-19 dan aktif membagi-bagikan makanan bagi mereka yang membutuhkan. Seiring berjalannya waktu dan beberapa bagian masyarakat telah kembali bekerja, maka ekonomi telah bergulir kembali, meskipun pelan. Maka kini, Tim Anti Lapar memiliki haluan baru yang berjalan sejak awal bulan Oktober 2020, yakni Sekolah Anti Lapar Ilmu.
Sekolah ini bertujuan untuk membantu para siswa yang kesulitan dengan sistem belajar secara daring. Maka dalam sekolah ini, Tim Anti Lapar menyediakan beberapa fasilitas, seperti WiFi untuk internet, hingga ada relawan sebagai tenaga pengajar untuk mendampingi para siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Yang unik, di sekolah ini, para relawan membuat semacam struktur keanggotaan sekolah layaknya sekolah pada umumnya, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, bagian perpustakaan, hingga security. Meski memiliki susunan seperti ini, namun semua anggota turut terlibat mendampingi para siswa belajar.
Saat ini, Sekolah Anti Lapar Ilmu yang beroperasi Senin sampai Jumat memiliki lebih dari 10 relawan pengajar dengan rata-rata 20 hingga 30 siswa setiap harinya. “Pas awal-awal itu masih sedikit, baik itu pengajar baik itu siswa-siswanya. Sekarang sudah lumayan ramai,” ujar Syaiful Huda, ‘Wakil Kepala Sekolah’ Anti Lapar Ilmu.
Rata-rata para relawan datang dari kalangan pelajar, baik siswa SMA maupun mahasiswa yang sedang kuliah. Ada juga yang sudah bekerja atau memang berprofesi sebagai guru. “Nah karena relawan kan jadi kita tidak memaksanya untuk hadir setiap hari. Dari sekitar belasan relawan mungkin setiap hari ada yang datang lima, besoknya lagi siapa. Jadi kayak ada shiftnya,” jelas pria yang akrab disapa Ipul ini.
Seperti yang terpantau NusaBali pada Kamis (19/11), para siswa yang datang ke tempat ini, rata-rata sedang berada di tingkat SD dan SMP. “Awal-awal memang siswanya dari yang dekat-dekat. Nah karena sudah berjalan satu bulan lebih, jadi hitungannya mereka bawa teman. Target utama kita yaitu memprioritaskan orang yang terkendala masalah jaringan,” lanjutnya.
Selain siswa yang berasal dari kawasan tersebut, siswa yang berasal dari tempat yang agak jauh kadang datang diantar oleh orang tuanya. Adapula yang berada di tingkat prasekolah. Khusus untuk siswa yang berada di usia prasekolah, relawan pendamping mengajak siswa tersebut untuk melakukan beberapa aktivitas, seperti membaca dongeng, dan mewarnai. Sementara, siswa SMA yang datang ke tempat ini juga merangkap sebagai tenaga relawan.
Selain menyediakan internet dan relawan tenaga pengajar, kadang sekolah ini mendapatkan donasi berupa alat-alat tulis untuk diberikan kepada siswa. Sementara itu, di akhir jam belajar, para relawan akan duduk makan siang bersama dan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran hari tersebut. Makan siang ini diikuti pula oleh para siswa.
Salah satu relawan, Sade Devita Purnama Dewi, merupakan mahasiswa semester 3 Jurusan Administrasi Negara Universitas Udayana yang telah seminggu ini menjadi relawan di Sekolah Anti Lapar Ilmu. Selama menjadi relawan, dirinya lebih banyak mengajar untuk matematika ke siswa-siswa di tingkat SD.
Relawan yang berasal dari kawasan Jalan Teuku Umar ini setiap hari datang untuk mengajar. Tata, begitu dirinya akrab disapa, merasakan keseruan tersendiri selama menjadi relawan. Selain seru, ada juga tantangan yang dihadapi, terutama bagi dirinya yang baru pertama kali mengajar.
“Kan anak-anak itu beda-beda kemauan belajarnya. Ada yang susah buat belajar, ada yang harus dibujuk dulu untuk belajar, ada yang kurang fokus gitu, baru ngerjain dikit langsung ngobrol lagi. Itu susah sih biasanya,” kesannya. Namun, tantangan ini segera saja teratasi dengan penggunaan tulisan spidol warna-warni yang lebih menarik minat belajar.
Di satu sisi, Tata memiliki strategi tersendiri dalam menjalankan kewajibannya sebagai mahasiswa dan sebagai relawan. “Kalau misalnya dikasih tugas (kuliah) saja, itu aku biasanya langsung ngerjain dulu. Kan di sini jam 9, terus itu (tugas) dikasih dari pagi. Jadi aku jam 8 sudah ke sini dulu ngerjain tugas,” tuntasnya.*cr74
Tim Anti Lapar, sebelumnya merupakan kelompok yang terbentuk di awal pandemi Covid-19 dan aktif membagi-bagikan makanan bagi mereka yang membutuhkan. Seiring berjalannya waktu dan beberapa bagian masyarakat telah kembali bekerja, maka ekonomi telah bergulir kembali, meskipun pelan. Maka kini, Tim Anti Lapar memiliki haluan baru yang berjalan sejak awal bulan Oktober 2020, yakni Sekolah Anti Lapar Ilmu.
Sekolah ini bertujuan untuk membantu para siswa yang kesulitan dengan sistem belajar secara daring. Maka dalam sekolah ini, Tim Anti Lapar menyediakan beberapa fasilitas, seperti WiFi untuk internet, hingga ada relawan sebagai tenaga pengajar untuk mendampingi para siswa dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Yang unik, di sekolah ini, para relawan membuat semacam struktur keanggotaan sekolah layaknya sekolah pada umumnya, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, bagian perpustakaan, hingga security. Meski memiliki susunan seperti ini, namun semua anggota turut terlibat mendampingi para siswa belajar.
Saat ini, Sekolah Anti Lapar Ilmu yang beroperasi Senin sampai Jumat memiliki lebih dari 10 relawan pengajar dengan rata-rata 20 hingga 30 siswa setiap harinya. “Pas awal-awal itu masih sedikit, baik itu pengajar baik itu siswa-siswanya. Sekarang sudah lumayan ramai,” ujar Syaiful Huda, ‘Wakil Kepala Sekolah’ Anti Lapar Ilmu.
Rata-rata para relawan datang dari kalangan pelajar, baik siswa SMA maupun mahasiswa yang sedang kuliah. Ada juga yang sudah bekerja atau memang berprofesi sebagai guru. “Nah karena relawan kan jadi kita tidak memaksanya untuk hadir setiap hari. Dari sekitar belasan relawan mungkin setiap hari ada yang datang lima, besoknya lagi siapa. Jadi kayak ada shiftnya,” jelas pria yang akrab disapa Ipul ini.
Seperti yang terpantau NusaBali pada Kamis (19/11), para siswa yang datang ke tempat ini, rata-rata sedang berada di tingkat SD dan SMP. “Awal-awal memang siswanya dari yang dekat-dekat. Nah karena sudah berjalan satu bulan lebih, jadi hitungannya mereka bawa teman. Target utama kita yaitu memprioritaskan orang yang terkendala masalah jaringan,” lanjutnya.
Selain siswa yang berasal dari kawasan tersebut, siswa yang berasal dari tempat yang agak jauh kadang datang diantar oleh orang tuanya. Adapula yang berada di tingkat prasekolah. Khusus untuk siswa yang berada di usia prasekolah, relawan pendamping mengajak siswa tersebut untuk melakukan beberapa aktivitas, seperti membaca dongeng, dan mewarnai. Sementara, siswa SMA yang datang ke tempat ini juga merangkap sebagai tenaga relawan.
Selain menyediakan internet dan relawan tenaga pengajar, kadang sekolah ini mendapatkan donasi berupa alat-alat tulis untuk diberikan kepada siswa. Sementara itu, di akhir jam belajar, para relawan akan duduk makan siang bersama dan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran hari tersebut. Makan siang ini diikuti pula oleh para siswa.
Salah satu relawan, Sade Devita Purnama Dewi, merupakan mahasiswa semester 3 Jurusan Administrasi Negara Universitas Udayana yang telah seminggu ini menjadi relawan di Sekolah Anti Lapar Ilmu. Selama menjadi relawan, dirinya lebih banyak mengajar untuk matematika ke siswa-siswa di tingkat SD.
Relawan yang berasal dari kawasan Jalan Teuku Umar ini setiap hari datang untuk mengajar. Tata, begitu dirinya akrab disapa, merasakan keseruan tersendiri selama menjadi relawan. Selain seru, ada juga tantangan yang dihadapi, terutama bagi dirinya yang baru pertama kali mengajar.
“Kan anak-anak itu beda-beda kemauan belajarnya. Ada yang susah buat belajar, ada yang harus dibujuk dulu untuk belajar, ada yang kurang fokus gitu, baru ngerjain dikit langsung ngobrol lagi. Itu susah sih biasanya,” kesannya. Namun, tantangan ini segera saja teratasi dengan penggunaan tulisan spidol warna-warni yang lebih menarik minat belajar.
Di satu sisi, Tata memiliki strategi tersendiri dalam menjalankan kewajibannya sebagai mahasiswa dan sebagai relawan. “Kalau misalnya dikasih tugas (kuliah) saja, itu aku biasanya langsung ngerjain dulu. Kan di sini jam 9, terus itu (tugas) dikasih dari pagi. Jadi aku jam 8 sudah ke sini dulu ngerjain tugas,” tuntasnya.*cr74
1
Komentar