2 Bangunan di Gelgel Diminta Bongkar
Dekat Pura Dalem dan Langgar Jalur Hijau
Sukiarta masih merasa berat karena sama sekali tidak memiliki biaya untuk pindah.
SEMARAPURA, NusaBali
Desa Adat Gelgel, Kecamatan Klungkung meminta pemilik membongkar dua buah bangunan semi permanen karena dekat Pura Dalem Digde, Desa Adat Gelgel. Bangunan ini juga berdiri di jalur hijau.
Selain itu. bangunan yang masing-masing digunakan untuk gudang rongsokan dan warung tersebut, melanggar parerem Pura Dalem Digde untuk tidak membangun dalam radies 50 meter. Hal serupa juga diatur dalam parerem Desa Adat Gelgel, untuk tidak membangun dalam radius 50 meter dari parahyangan desa.
Keputusan tersebut merupakan hasil mediasi antar Desa Adat Gelgel, pemilik lahan dan pemilik bangunan yang mengontrak. Sekretaris Desa Adat Gelgel I Gede Eka Sumaya Putra mengatakan, kesepakatan untuk membongkar bangunan semi permanen tersebut berawal dari surat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Klungkung mengenai alih fungsi lahan di timur Pura Dalem Digde. Karena lahan yang merupakan jalur hijau tersebut kini digunakan sebagai gudang rongsokan dan warung.
Selain itu, bangunan tersebut juga melanggar perarem pengempon Pura Dalem Digde yang melarang membangun rumah di lahan kurang dari 50 meter dari Pura Dalem Digde. “Sesuai perarem Desa Adat Gelgel disebutkan juga larangan membangun di sekitar parahyangan desa dengan jarak apenimpuk agung atau sekitar 50 meter,” ujar Sumaya Putra, Kamis (19/11).
Saat mediasi akhirnya disepakati kedua bangunan tersebut dibongkar oleh pemiliknya. Desa Adat Gelgel melanjutkannya dengan melakukan penandatanganan kesepakatan Kamis (19/11). Desa adat pun memberikan jangka waktu 2 bulan untuk membersihkan bangunan tersebut. “Setelah mediasi dan disepakati untuk dibongkar oleh pemilik bangunan itu,” ujarnya.
Kompensasi terhadap pembongkaran bangunan ini diharapkan pemilik lahan yang telah mendapatkan manfaat dari sewa lahan tersebut mengembalikan uang sewa sesuai dengan bulan sewa yang tersisa. Sebenarnya larangan alih fungsi lahan ini sudah disampaikan Camat Klungkung sebelumnya, I Komang Wisnuadi. Saat baru dilakukan pasang patok. Hanya saja pemilik tanah tetap menyewakan lahan tersebut untuk dibangun orang lain. “Pemilik lahan sudah diingatkan sebenarnya, termasuk prajuru Pura Dalem Digde juga sudah mengingatkan," tambahnya.
Pemilik gudang rongsokan I Ketut Sukiarta mengaku tidak mengetahui perarem tersebut. Bahkan pemilik lahan memperbolehkan untuk membangun. "Kalau dilarang membangun dari awal saya tidak mungkin saya mau membangun," ujarnya.
Pria asal Karangasem tersebut mengaku telah menyewa lahan tersebut seluas 2 are dengan total Rp 3 juta/tahun. Selain biaya sewa, Sukiarta juga mengeluarkan biaya pemasangan listrik Rp 1,8 juta dan juga biaya membangun yang hingga saat ini masih berhutang. Meski belum mendapatkan tempat pengganti Sukiarta tetap menjalani aturan untuk pindah sebelum jangka waktu 2 bulan. Namun Sukiarta masih merasa berat karena sama sekali tidak memiliki biaya untuk pindah. *wan
Selain itu. bangunan yang masing-masing digunakan untuk gudang rongsokan dan warung tersebut, melanggar parerem Pura Dalem Digde untuk tidak membangun dalam radies 50 meter. Hal serupa juga diatur dalam parerem Desa Adat Gelgel, untuk tidak membangun dalam radius 50 meter dari parahyangan desa.
Keputusan tersebut merupakan hasil mediasi antar Desa Adat Gelgel, pemilik lahan dan pemilik bangunan yang mengontrak. Sekretaris Desa Adat Gelgel I Gede Eka Sumaya Putra mengatakan, kesepakatan untuk membongkar bangunan semi permanen tersebut berawal dari surat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Klungkung mengenai alih fungsi lahan di timur Pura Dalem Digde. Karena lahan yang merupakan jalur hijau tersebut kini digunakan sebagai gudang rongsokan dan warung.
Selain itu, bangunan tersebut juga melanggar perarem pengempon Pura Dalem Digde yang melarang membangun rumah di lahan kurang dari 50 meter dari Pura Dalem Digde. “Sesuai perarem Desa Adat Gelgel disebutkan juga larangan membangun di sekitar parahyangan desa dengan jarak apenimpuk agung atau sekitar 50 meter,” ujar Sumaya Putra, Kamis (19/11).
Saat mediasi akhirnya disepakati kedua bangunan tersebut dibongkar oleh pemiliknya. Desa Adat Gelgel melanjutkannya dengan melakukan penandatanganan kesepakatan Kamis (19/11). Desa adat pun memberikan jangka waktu 2 bulan untuk membersihkan bangunan tersebut. “Setelah mediasi dan disepakati untuk dibongkar oleh pemilik bangunan itu,” ujarnya.
Kompensasi terhadap pembongkaran bangunan ini diharapkan pemilik lahan yang telah mendapatkan manfaat dari sewa lahan tersebut mengembalikan uang sewa sesuai dengan bulan sewa yang tersisa. Sebenarnya larangan alih fungsi lahan ini sudah disampaikan Camat Klungkung sebelumnya, I Komang Wisnuadi. Saat baru dilakukan pasang patok. Hanya saja pemilik tanah tetap menyewakan lahan tersebut untuk dibangun orang lain. “Pemilik lahan sudah diingatkan sebenarnya, termasuk prajuru Pura Dalem Digde juga sudah mengingatkan," tambahnya.
Pemilik gudang rongsokan I Ketut Sukiarta mengaku tidak mengetahui perarem tersebut. Bahkan pemilik lahan memperbolehkan untuk membangun. "Kalau dilarang membangun dari awal saya tidak mungkin saya mau membangun," ujarnya.
Pria asal Karangasem tersebut mengaku telah menyewa lahan tersebut seluas 2 are dengan total Rp 3 juta/tahun. Selain biaya sewa, Sukiarta juga mengeluarkan biaya pemasangan listrik Rp 1,8 juta dan juga biaya membangun yang hingga saat ini masih berhutang. Meski belum mendapatkan tempat pengganti Sukiarta tetap menjalani aturan untuk pindah sebelum jangka waktu 2 bulan. Namun Sukiarta masih merasa berat karena sama sekali tidak memiliki biaya untuk pindah. *wan
1
Komentar