nusabali

Akar Masalah Gender

  • www.nusabali.com-akar-masalah-gender

Pembedaan jenis kelamin dan gender menggunakan klasifikasi biologis dan sosial ternyata sudah usang (Wendy Harcourt,1994).

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD


Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya


Dalam penggalan wacana Wendy Harcourt (1994), ‘...It is not a question of adding gender to the world’s major cosmology, but rather of rewriting the latter as their very roots’. Penggalan wacana tersebut membuat kita semua tercenung pada hakikat gender yang mendesak. Apa hanya sebatas pembedaan biologis dan sosial antara ‘sex and gender?’. Apa gender hanya pembagian tugas yang berkeadilan antara laki-laki dan perempuan? Apa makna yang tersisip pada ‘rewriting ...as their very roots’ ?

Interpretasi kultural terhadap makna gender amat penting. Makna kultural yang baik tidak hanya dibatasi pada pembagian tugas yang berkeadilan. Makna kultural sangat terkait dengan identitas seseorang (Human Development Report, 1995). Dalam beberapa komunitas, identitas seseorang sudah dilabel sejak lahir. Misalnya, saat seorang ibu melahirkan dan dikunjungi oleh kerabat, pertanyaan yang terlontar apakah anak laki atau perempuan? Selanjutnya, pembagian tugas antara bapak-ibu, anak laki-perempuan atau saudara laki-perempuan dalam keluarga, banjar atau masyarakat dibiasakan. Di dalam keluarga nilai-nilai inti tentang keberanian, kepetualangan atau kewirausahaan diutamakan pada anak laki-laki. Sedangkan, nilai inti tentang kesopanan, keluwesan atau kesabaran dipupuk pada anak perempuan. Dalam budaya Bali, misalnya nasihat orangtua, ‘yen anak luh, melah mesolah dadi anak luh luwih, jelek mebikas dadi luhu’ (bila baik perilakunya akan menjadi anak perempuan luhur budi, tetapi kalau buruk akan menjadi sampah). Serin
g nasihat demikian diodar rasa oleh ibu atau bapak di keluarga.

Pengkhususan tugas juga terkesan di masyarakat. Misalnya, seorang bapak selalu melakukan tugas pekerjaan sebagai anggota banjar adat. Mereka melakukan hampir semua pekerjaan laki-laki yang memerlukan otot dan kebebasan. Sedangkan, ibu-ibu biasanya bergerombol mengerjakan pekerjaan, seperti membuat banten, ngayabang banten prayastita, menyajikan teh atau kopi lengkap dengan panganannya dan sebagainya. Persoalan duduk pun sering terpisah antara laki-laki dan perempuan, lebih-lebih lagi dalam upacara agama yang tergolong acara duka. Laki-laki berkumpul dengan kelompoknya dan perempuan-perempuan terlibat dalam penyiapan banten.

Pembangunan manusia sifatnya individual, bukan kolektif. Artinya, persoalan yang harus diselesaikan dalam keluarga merupakan tanggung jawab yang bersangkutan. Penyelesaian suatu masalah tidak seharusnya dibedakan atas tugas laki-laki atau perempuan. Prioritasnya terletak pada penyelesaian masalah secara segera. Misalnya, air menggenangi dapur karena saluran tersumbat oleh kaki jemuran. Saat itu, hanya seorang ibu dengan pembantu perempuan yang ada di rumah. Maka, ibu dan pembantu itu yang harus menanggulangi, bukan menunggu atau menelepon suaminya.

Demikian halnya seorang suami di rumah yang tidak memiliki pembantu. Saat istrinya datang bulan dan sedang sakit, maka yang melayani keperluannya adalah suami. Masalah kebiasaan atau tata krama tradisional harus diubah. Prinsipnya, kalau bukan suami yang membantu, siapa lagi yang peduli. Pembentukan karakter spiritual dan sosial merupakan tugas semua orang, tanpa membedakan atas jenis kelamin.

Perspektif emansipasi, keadilan gender dalam artian kesertaaan dalam suatu ranah sosial dan politik seharusnya direnungkan kembali urgensinya. Keterwakilan belum tentu menjamin terbebas dari ‘sampling error’, utamanya kualitas. Demikian juga keadilan gender, belum pasti menjamin ketercapaian kualitas. Dalam hal demikian, harus dipikirkan kedewasaan berspektif gender. Kualitas dapat dijamin secara pasti apabila parameter ideal tersedia. Kedewasaan berspektif gender terdiri atas: kedewasaan fisikal, mental, sosial, emosional, ekologis, adversitas, dan spiritual (cf.Gardner, 1995). Dengan cara pandang kontinuum demikian, maka keadilan berspektif gender akan membuahkan investasi manusiawi yang berharga. Semoga. *

Komentar