Pemprov Bali Dukung Perjuangan Rebut Dana Perimbangan dari Pusat
Komite III DPD RI Kawal di Senayan
DENPASAR, NusaBali
Wacana DPRD Bali mendorong perjuangan dana perimbangan pusat dan daerah yang bersumber dari sektor pariwisata, melalui revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan Pusat dan Daerah, terus bergulir.
Pemprov Bali memberikan dukungan kepada wakil rakyat untuk mendapatkan dana perimbangan dari pariwisata. Sementara, Komite III DPD RI (yang antara lain membidangi pariwisata), siap kawal perjuangan ini di Senayan, Jakarta.
Pemprov Bali bukan hanya mendukung wakil rakyat dan elemen masyarakat lainnya dalam perjuangan untuk mendapatkan dana perim-bangan dari pariwisata. Pemprov Bali juga mendorong agar daerah lain seperti Jogjakarta, ikut digandeng untuk berjuang berebut dana perimbangan dari sektor pariwisata. Problem yang dialami Jogjakarta sama dengan Bali, yakni tidak punya sumber daya alam, tapi memiliki sumber daya lainnya seperti pariwisata.
"Kita akan komunikasi dengan provinsi lain, yang juga ingin perperjuangkan hal yang sama, dengan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 ini," ujar Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, di Denpasar, Minggu (22/11).
Cok Ace mengatakan, apa yang digulirkan kalangan wakil rakyat mulai DPRD Bali, DPR RI Dapil Bali, hingga DPD RI Dapil Bali tentang dana perimbangan dari sektor pariwisata, memang berasalan. "Karena kita di Bali menyetorkan devisa dari pariwisata triliun rupiah. Tapi, Bali tidak mendapatkan dana perimbangan dari sumber daya alam lainnya (sektor jasa pariwisata, Red),” tandas Cok Ace.
“Padahal, pariwisata Bali sendiri perlu dipelihara secara sekala niskala. Bukan hanya kerusakan lingkungan akibat penambangan saja dipulihkan dengan dana perimbangan bagi hasil, seperti di daerah lain. Pariwisata juga perlu dijaga dengan dana bagi hasil yang adil," lanjut tokoh pariwisata asal Puri Agung Ubud, Desa/Kecamatan Ubud, Gianyar yang juga mantan Bupati Gianyar 2008-2013 ini.
Sementara itu, anggota Komite III DPD RI Dapil Bali, AA Gde Agung, mengatakan UU Nomor 33 Tahun 2004 yang berlaku selama ini tidak berkeadilan bagi Bali. Sebagai daerah pariwisata, Bali menyetorkan hampir Rp 120 triliun per tahun dalam bentuk devisa ke pusat. "Maka, Bali harus berjuang untuk mendapatkan dana perimbangan secara adil, melalui revisi UU Nomor 33 Tahun 2004," jelas Gde Agung dalam keterangan persnya di Denpasar, Minggu (22/11).
Menurut Gde Agung, titik tolak hukum yang mengatur kesejahteraan rakyat jelas diatur dalam batang tubuh UUD 1945, yakni Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34. Dalam pasal-pasal itu, bisa disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan, kemakmuran, berkeadilan, kebijakan otonomi daerah yang diperluas.
"Untuk mendukung otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan secara adil dan selaras, maka pemerintah menetapkan UU Nomor 33 Tahun 2004. Dalam konsideran menimbang poin b dalam UU 33 Tahun 2004 yang dijabarkan menjadi dana perimbangan, terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus," papar Gde Agung.
"Tetapi, Bali sebagai daerah pariwisata yang menyetorkan devisa ratusan triliun dari sektor pariwisata sebagai sumber daya lainnya ke pusat, tidak mendapatkan porsi maksimal dalam dana bagi hasil," lanjut mantan Bupati Badung dua periode (2005-2010, 2010-2015) ini.
Kan Bali sudah dapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) tiap tahun? Menuru Gde Agung, belum cukup segitu dibandingkan dengan setoran devisa dari pariwisata Bali ke pusat.
"Tidak berkeadilan, seperti yang sudah diatur dalam UUD 1945. Maka, revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 ini sangat kami dukung. Saya saat mendaftar sebagai Calon DPD RI di Pileg 2019, jelas mencantumkan cita-cita perjuangan saya ketika duduk di DPD RI Dapil Bali," tegas senator yang juga Panglingsir Puri Ageng Mengwi, Desa/Kecamatan Mengwi, Badung ini.
Gde Agung menyebutkan, DPD RI memiliki kewenangan dalam membahas dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. DPD RI ‘wajib hukumnya’ untuk membahas UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang dipertegas lagi dengan Pasal 256 huruf a UU Nomor 17 Tahun 2014 jo UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.
"Jadi, tidak sekadar dapat, tetapi berwenang dan bertugas mengajukan Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekeran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah," papar alumni Harvard University, Amerika Serikat ini.
Gde Agung pun mendorong segera disiapkan grand design atas desentralisasi fiskal Indonesia, untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang berguna dan berdaya guna. "Hal ini dipicu kenyataan bahwa perimbangan keuangan pusat dan daerah secara vertikal dan horizontal belum mencerminkan keadilan dan belum sepenuhnya proporsional, sesuai dengan porsi pembagian urusan pemerintahan yang menurut prinsip money follow functions khususnya bagi daerah yang masuk kualifikasi non sumber daya alam," katanya. *nat
Pemprov Bali bukan hanya mendukung wakil rakyat dan elemen masyarakat lainnya dalam perjuangan untuk mendapatkan dana perim-bangan dari pariwisata. Pemprov Bali juga mendorong agar daerah lain seperti Jogjakarta, ikut digandeng untuk berjuang berebut dana perimbangan dari sektor pariwisata. Problem yang dialami Jogjakarta sama dengan Bali, yakni tidak punya sumber daya alam, tapi memiliki sumber daya lainnya seperti pariwisata.
"Kita akan komunikasi dengan provinsi lain, yang juga ingin perperjuangkan hal yang sama, dengan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 ini," ujar Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace, di Denpasar, Minggu (22/11).
Cok Ace mengatakan, apa yang digulirkan kalangan wakil rakyat mulai DPRD Bali, DPR RI Dapil Bali, hingga DPD RI Dapil Bali tentang dana perimbangan dari sektor pariwisata, memang berasalan. "Karena kita di Bali menyetorkan devisa dari pariwisata triliun rupiah. Tapi, Bali tidak mendapatkan dana perimbangan dari sumber daya alam lainnya (sektor jasa pariwisata, Red),” tandas Cok Ace.
“Padahal, pariwisata Bali sendiri perlu dipelihara secara sekala niskala. Bukan hanya kerusakan lingkungan akibat penambangan saja dipulihkan dengan dana perimbangan bagi hasil, seperti di daerah lain. Pariwisata juga perlu dijaga dengan dana bagi hasil yang adil," lanjut tokoh pariwisata asal Puri Agung Ubud, Desa/Kecamatan Ubud, Gianyar yang juga mantan Bupati Gianyar 2008-2013 ini.
Sementara itu, anggota Komite III DPD RI Dapil Bali, AA Gde Agung, mengatakan UU Nomor 33 Tahun 2004 yang berlaku selama ini tidak berkeadilan bagi Bali. Sebagai daerah pariwisata, Bali menyetorkan hampir Rp 120 triliun per tahun dalam bentuk devisa ke pusat. "Maka, Bali harus berjuang untuk mendapatkan dana perimbangan secara adil, melalui revisi UU Nomor 33 Tahun 2004," jelas Gde Agung dalam keterangan persnya di Denpasar, Minggu (22/11).
Menurut Gde Agung, titik tolak hukum yang mengatur kesejahteraan rakyat jelas diatur dalam batang tubuh UUD 1945, yakni Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34. Dalam pasal-pasal itu, bisa disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan, kemakmuran, berkeadilan, kebijakan otonomi daerah yang diperluas.
"Untuk mendukung otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan secara adil dan selaras, maka pemerintah menetapkan UU Nomor 33 Tahun 2004. Dalam konsideran menimbang poin b dalam UU 33 Tahun 2004 yang dijabarkan menjadi dana perimbangan, terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus," papar Gde Agung.
"Tetapi, Bali sebagai daerah pariwisata yang menyetorkan devisa ratusan triliun dari sektor pariwisata sebagai sumber daya lainnya ke pusat, tidak mendapatkan porsi maksimal dalam dana bagi hasil," lanjut mantan Bupati Badung dua periode (2005-2010, 2010-2015) ini.
Kan Bali sudah dapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) tiap tahun? Menuru Gde Agung, belum cukup segitu dibandingkan dengan setoran devisa dari pariwisata Bali ke pusat.
"Tidak berkeadilan, seperti yang sudah diatur dalam UUD 1945. Maka, revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 ini sangat kami dukung. Saya saat mendaftar sebagai Calon DPD RI di Pileg 2019, jelas mencantumkan cita-cita perjuangan saya ketika duduk di DPD RI Dapil Bali," tegas senator yang juga Panglingsir Puri Ageng Mengwi, Desa/Kecamatan Mengwi, Badung ini.
Gde Agung menyebutkan, DPD RI memiliki kewenangan dalam membahas dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. DPD RI ‘wajib hukumnya’ untuk membahas UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang dipertegas lagi dengan Pasal 256 huruf a UU Nomor 17 Tahun 2014 jo UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.
"Jadi, tidak sekadar dapat, tetapi berwenang dan bertugas mengajukan Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekeran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah," papar alumni Harvard University, Amerika Serikat ini.
Gde Agung pun mendorong segera disiapkan grand design atas desentralisasi fiskal Indonesia, untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang berguna dan berdaya guna. "Hal ini dipicu kenyataan bahwa perimbangan keuangan pusat dan daerah secara vertikal dan horizontal belum mencerminkan keadilan dan belum sepenuhnya proporsional, sesuai dengan porsi pembagian urusan pemerintahan yang menurut prinsip money follow functions khususnya bagi daerah yang masuk kualifikasi non sumber daya alam," katanya. *nat
Komentar