Tukang Suluh Tinggal Kenangan
Bahan Kimia Merajam Sawah Bali
Perkakas berupa lampu strongking juga sudah hilang dari peredaran. Pun, minyak tanah bahan bakar lampu strongking tidak lagi dijual bebas.
PENGGUNAAN bahan-bahan kimia yang tak terkendali menjadikan ekosistem pada persawahan di Bali makin buruk. Bahan kimia ini berupa pupuk, insektisida untuk pembasmi penyakit dan hama, antara lain tikus dan serangga lainnya. Tak jarang, petani juga kerap membasmi jamur pada tanaman dengan zat kimia fungisida.
Dampaknya, tak hanya mematikan penyakit dan hama tanaman. Penggunaan zat kimia ini telah memusnahkan sumber daya hayati (SDH) seperti lindung atau belut, godogan (kodok,Red), dan jenis binatang huma lainnya. Karena zat kimia itu, petani Bali dan generasinya, amat sulit menemukan jubel, blauk, klipes, dan jenis ikan sawah lainnya.
Makhluk sawah itu kini hilang. Akibatnya, geginan (pekerjaan) nyuluh pada malam hari juga lenyap hilang dan tinggal kenangan. Nyuluh yakni pekerjaan menangkap ikan di sawah pada malam hari. Disebut nyuluh karena pelakunya membawa suluh (lampu) berupa lobakan (lampu tradisional berbahan minyak tanah) dan strongking. Sangat jarang ditemukan, tukang suluh pakai lampu senter. Sedangkan tangannya membawa sepit atau penjepit dari bahan bambu.
Sebelum pemakaian zat kimia di sawah, gaginan nyuluh (pekerjaan menangkap binatang sawah, Red) tersebut merupakan pekerjaan tambahan setelah bertanam padi. Kini, selain lindung dan godogan/kodok semakin langka, perkakas berupa lampu strongking juga sudah hilang dari peredaran. Pun, minyak tanah bahan bakar lampu strongking tidak lagi dijual bebas.
Karenanya gaginan nyuluh tak lagi menggairahkan. Sebelumnya, hasil tangkapan dari nyuluh berupa lindung dan godogan melimpah bisa dijual untuk tambahan penghasilan. Setidaknya untuk konsumsi keluarga.
Salah seorang tukang suluh, I Nengah Tirta,60, asal Banjar Papadan, Desa Petak Kaja, Kecamatan Gianyar, Gianyar, mengaku sempat menikmati masa kejayaan gaginan nyuluh. ”Hampir seluruh persawahan di wilayah Gianyar telah kami telusuri,” ujarnya, Rabu (21/10).
I Nengah Tirta merupakan salah seorang dari belasan warga tukang suluh di kampungnya. Menurut Tirta, gaginan nyuluh godogan merupakan gaginan warisan. “Sejak zaman lampu teplok sampai dengan strongking,”
Nengah Tirta dan teman seprofesinya khusus hanya nyuluh menangkap godogan. Daging godogan, pada bagian pinggang dan baha banyak dicari. “Ada pengepulnya dari Denpasar,” kenang ayah dua anak dan baru punya satu cucu ini.
Harga godogan juga menggiurkan. Per kilo antara Rp 10.000 - Rp 11.000 pada tahun 1970-1980-an. Harga tersebut bisa setara dengan Rp 500.000 pada saat ini. Itu baru daging paha. Belum lagi daging badan godogan juga laku. Namun harga lebih rendah dari harga daging paha. Karena itulah setiap malam, Tirta dan kawan-kawannya menjelajah persawahan di tengah malam.
Mereka bersiap pukul 16.00 Wita. Dari kampung Banjar/Dusun Papadan, mereka berjalan kaki ke arah selatan sejauh 4 kilometer menuju perempatan Kelurahan Bitera, Kecamatan Gianyar. Kemudian numpang kendaraan Colt menuju lokasi desa, banjar maupun persawahan yang dituju untuk nyuluh.
Hampir seluruh persawahan wilayah subak di Gianyar, pernah dijelajah. Mulai dari wilayah desa sendiri di Desa Petak Kaja, persawahan di Kelurahan Bitera. Lanjut ke selataan di Kecamatan Blahbatuh yakni Desa Buruan, Banjar Bonbiyu, Banda, Pinda, Desa Saba, Desa Pering, hingga Desa Keramas. Lanjut juga ke Kecamatan Sukawati, mulai dari Desa Kemenuh, dan sawah-sawah di selatan lainnya.
“Kalau won atine sampai jam satu. Kalau seger bisa sampai jam telu (jika kurang enak badan, sampai pukul satu. Jika sehat, bisa sampai pukul tiga pagi),” ungkapnya.
Jika sudah waktunya harus pulang, mereka berkumpul kembali pada tempat yang disepakati. Selanjutnya pulang jalan kaki sampai di perempatan Kelurahan Bitera. “Dari sana numpang colt. Sewanya Rp 25,” kenang Tirta. Tak selalu menguntungkan. Jika mujur, dia bisa dapat sampai 5 kg, dan kurang mujur paling dapat 2 kg. Kadang dia dapat hanya beberapa ekor godogan.
Kini tradisi nyuluh tidak ada lagi. Bukan saja karena berkembangnya dan bervariasinya jenis pekerjaan. Namun karena godogan dan juga lindung sudah mulai langka. Jangankan dicari dalam jumlah banyak untuk dijual, ditangkap untuk sekadar bisa merasakan lezatnya daging godogan atau lindung saja, sudah sulit.
Karena itulah pekerjaan nyuluh godogan, tinggal kenangan. Tidak ada alih generasi. Maklum pekerjaan tersebut relatif berat. Harus bergadang di tengah cuaca malam, bergelut lumpur persawahan, dan ancaman serta gangguan gumatat-gumitit lain.
I Made Kontra,70, petani dari Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, juga mengaku pernah merasakan masa jaya gaginan nyuluh tahun 1970-1980-an. “Lindung masih banyak waktu itu,” kenang mantan pekaseh ini. Dia mengiyakan lindung atau belut dan jenis ‘makhluk’ sawah lainnya gampang didapat karena sawah belum tercemar zat-zat beracun. “Masih alami,” ungkapnya merujuk suasana tempo dulu.
Karena itu pekerjaan nyuluh termasuk menggiurkan, walau harus begadang dan menjejak lumpur persawahan. Kontra sendiri spesial nyuluh belut. Hasil dari nyuluh tersebut dijual oleh istrinya ke Pasar Sukawati. Sedangkan hasil sampingan lain seperti ikan gabus, kepiting, dan kodok, tidak dijual. Namun diolah dirumah dijadikan lauk.
Geginan nyuluh perlahan-lahan hilang, menyusul zaman padi cicih (varietas unggul umur panen sekitar 100 hari), menggantikan jenis padi del (padi varietas lokal Bali umur hamper 200 hari). Keadaan ini disusul penggunaan zat kimia untuk pupuk berikut pembasmi hama/serangga. “Jani keweh ngalih lindung carik, kecuali mabuaka ngubuh (sekarang sulit dapat belut di sawah, kecuali budidaya,Red),” ujarnya. *nat
Dampaknya, tak hanya mematikan penyakit dan hama tanaman. Penggunaan zat kimia ini telah memusnahkan sumber daya hayati (SDH) seperti lindung atau belut, godogan (kodok,Red), dan jenis binatang huma lainnya. Karena zat kimia itu, petani Bali dan generasinya, amat sulit menemukan jubel, blauk, klipes, dan jenis ikan sawah lainnya.
Makhluk sawah itu kini hilang. Akibatnya, geginan (pekerjaan) nyuluh pada malam hari juga lenyap hilang dan tinggal kenangan. Nyuluh yakni pekerjaan menangkap ikan di sawah pada malam hari. Disebut nyuluh karena pelakunya membawa suluh (lampu) berupa lobakan (lampu tradisional berbahan minyak tanah) dan strongking. Sangat jarang ditemukan, tukang suluh pakai lampu senter. Sedangkan tangannya membawa sepit atau penjepit dari bahan bambu.
Sebelum pemakaian zat kimia di sawah, gaginan nyuluh (pekerjaan menangkap binatang sawah, Red) tersebut merupakan pekerjaan tambahan setelah bertanam padi. Kini, selain lindung dan godogan/kodok semakin langka, perkakas berupa lampu strongking juga sudah hilang dari peredaran. Pun, minyak tanah bahan bakar lampu strongking tidak lagi dijual bebas.
Karenanya gaginan nyuluh tak lagi menggairahkan. Sebelumnya, hasil tangkapan dari nyuluh berupa lindung dan godogan melimpah bisa dijual untuk tambahan penghasilan. Setidaknya untuk konsumsi keluarga.
Salah seorang tukang suluh, I Nengah Tirta,60, asal Banjar Papadan, Desa Petak Kaja, Kecamatan Gianyar, Gianyar, mengaku sempat menikmati masa kejayaan gaginan nyuluh. ”Hampir seluruh persawahan di wilayah Gianyar telah kami telusuri,” ujarnya, Rabu (21/10).
I Nengah Tirta merupakan salah seorang dari belasan warga tukang suluh di kampungnya. Menurut Tirta, gaginan nyuluh godogan merupakan gaginan warisan. “Sejak zaman lampu teplok sampai dengan strongking,”
Nengah Tirta dan teman seprofesinya khusus hanya nyuluh menangkap godogan. Daging godogan, pada bagian pinggang dan baha banyak dicari. “Ada pengepulnya dari Denpasar,” kenang ayah dua anak dan baru punya satu cucu ini.
Harga godogan juga menggiurkan. Per kilo antara Rp 10.000 - Rp 11.000 pada tahun 1970-1980-an. Harga tersebut bisa setara dengan Rp 500.000 pada saat ini. Itu baru daging paha. Belum lagi daging badan godogan juga laku. Namun harga lebih rendah dari harga daging paha. Karena itulah setiap malam, Tirta dan kawan-kawannya menjelajah persawahan di tengah malam.
Mereka bersiap pukul 16.00 Wita. Dari kampung Banjar/Dusun Papadan, mereka berjalan kaki ke arah selatan sejauh 4 kilometer menuju perempatan Kelurahan Bitera, Kecamatan Gianyar. Kemudian numpang kendaraan Colt menuju lokasi desa, banjar maupun persawahan yang dituju untuk nyuluh.
Hampir seluruh persawahan wilayah subak di Gianyar, pernah dijelajah. Mulai dari wilayah desa sendiri di Desa Petak Kaja, persawahan di Kelurahan Bitera. Lanjut ke selataan di Kecamatan Blahbatuh yakni Desa Buruan, Banjar Bonbiyu, Banda, Pinda, Desa Saba, Desa Pering, hingga Desa Keramas. Lanjut juga ke Kecamatan Sukawati, mulai dari Desa Kemenuh, dan sawah-sawah di selatan lainnya.
“Kalau won atine sampai jam satu. Kalau seger bisa sampai jam telu (jika kurang enak badan, sampai pukul satu. Jika sehat, bisa sampai pukul tiga pagi),” ungkapnya.
Jika sudah waktunya harus pulang, mereka berkumpul kembali pada tempat yang disepakati. Selanjutnya pulang jalan kaki sampai di perempatan Kelurahan Bitera. “Dari sana numpang colt. Sewanya Rp 25,” kenang Tirta. Tak selalu menguntungkan. Jika mujur, dia bisa dapat sampai 5 kg, dan kurang mujur paling dapat 2 kg. Kadang dia dapat hanya beberapa ekor godogan.
Kini tradisi nyuluh tidak ada lagi. Bukan saja karena berkembangnya dan bervariasinya jenis pekerjaan. Namun karena godogan dan juga lindung sudah mulai langka. Jangankan dicari dalam jumlah banyak untuk dijual, ditangkap untuk sekadar bisa merasakan lezatnya daging godogan atau lindung saja, sudah sulit.
Karena itulah pekerjaan nyuluh godogan, tinggal kenangan. Tidak ada alih generasi. Maklum pekerjaan tersebut relatif berat. Harus bergadang di tengah cuaca malam, bergelut lumpur persawahan, dan ancaman serta gangguan gumatat-gumitit lain.
I Made Kontra,70, petani dari Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, juga mengaku pernah merasakan masa jaya gaginan nyuluh tahun 1970-1980-an. “Lindung masih banyak waktu itu,” kenang mantan pekaseh ini. Dia mengiyakan lindung atau belut dan jenis ‘makhluk’ sawah lainnya gampang didapat karena sawah belum tercemar zat-zat beracun. “Masih alami,” ungkapnya merujuk suasana tempo dulu.
Karena itu pekerjaan nyuluh termasuk menggiurkan, walau harus begadang dan menjejak lumpur persawahan. Kontra sendiri spesial nyuluh belut. Hasil dari nyuluh tersebut dijual oleh istrinya ke Pasar Sukawati. Sedangkan hasil sampingan lain seperti ikan gabus, kepiting, dan kodok, tidak dijual. Namun diolah dirumah dijadikan lauk.
Geginan nyuluh perlahan-lahan hilang, menyusul zaman padi cicih (varietas unggul umur panen sekitar 100 hari), menggantikan jenis padi del (padi varietas lokal Bali umur hamper 200 hari). Keadaan ini disusul penggunaan zat kimia untuk pupuk berikut pembasmi hama/serangga. “Jani keweh ngalih lindung carik, kecuali mabuaka ngubuh (sekarang sulit dapat belut di sawah, kecuali budidaya,Red),” ujarnya. *nat
Komentar