Brahmacari dan Pencarian Seumur Hidup
DALAM filosofi Hindu, brahmacari adalah masa menuntut ilmu, tahap awal dari Catur Ashrama.
Menuntut ilmu disederhanakan maknanya dengan bersekolah. Tujuan bersekolah, agar anak tumbuh-kembang menjadi cerdas dan pintar. Sejak usia dini anak dituntut agar bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Adalah kebanggaan orangtua ketika anak bisa menulis dan berhitung dengan lancar! “Wah, anak saya itu pintar sekali, Dia hafal menyebut warna, dia fasih mengeja huruf, dia cekatan menyebut angka, dan dia pandai melukis dengan indah,” cetus orangtua di antara kerumunan orangtua lainnya.
Usai pendidikan dini, dilanjutkan ke pendidikan dasar, sekolah menengah, dan akhirnya perguruan tinggi. Mencari ilmu diawali dengan upacara upanayana dan diakhiri dengan pemberian samawartana atau ijazah sebagai pengakuan. Berakhirkah masa pencarian ilmu sampai di situ?
Ditinjau dari persekolahan, pencarian ilmu sama dengan pemerolehan pengakuan berupa sertifikat, diploma atau ijazah. Pengakuan itu bukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Pengakuan itu terbatas sifatnya, terbatas lingkup, terbatas sub-stansi, terbatas konsep, terbatas prosedur, dan sebagainya. Saat ini banyak ditemukan situasi vacuum pemilikan pengetahuan, walau sudah mengantongi ijazah atau sertifikat.
Dalam Canakya Niti Sastra Bab IV Sloka 5, disebutkan bahwa ilmu bagai seorang ibu. Seorang ibu memiliki sifat memelihara dengan tanggung jawab, welas asih, dan arif. Menyimak simbolik ilmu menurut sastra Hindu tersebut, maka brahmacari dapat diperluas maknanya sebagai pencarian sepanjang hayat (long life search), agar kehidupan tercipta dan terpelihara aman dan damai.
Setinggi apa pun perolehan ilmu pengetahuan itu, tidak seharusnya ditinggi-tinggikan kedudukannya, apalagi untuk membodohi orang lain. Dalam Bab IV, Sloka 21, disebutkan ilmu pengetahuan diandai sebagai bunga kimsuka yang ‘indah rupa, tetapi tidak harum bau’. Ilmu pengetahuan tidak seharusnya dipamerkan, tetapi dimanfaat-gunakan untuk memelihara yang baik, benar, dan damai.
Orang yang memiliki ijazah tidak selalu berilmu, orang yang tidak memiliki sertifikat tidak serta merta tak memiliki kebijaksanaan, orang yang tidak memiliki harta benda tidak selalu dapat dikatakan miskin, dan seterusnya. Ilmu pengetahuan sebaiknya disebar dan ditularkan, bukan disimpan atau diirit, untuk menumbuhkan kesadaran memelihara dimensi tiga hubungan yang mendatangkan kebahagiaan.
Kearifan lokal seperti ini perlu dimaknai dan diimplementasikan dalam pendidikan sejak usia dini. Misalnya, anak dibiasakan sejak usia dini untuk memelihara diri dan lingkungan dekatnya. Dia tidak dibiasakan merespons stimulus dengan model ganjaran positif maupun negatif. Kalau baik atau benar respons terhadap stimulus, maka dia diberikan hadiah. Tetapi, ketika dia salah maka hukuman konsekuensinya. Ini kuno tidak kreatif dan kritis! Melatih anak kritis amat penting dalam hal berpikir, berkata, maupun bertindak. Kreativitas berkognisi, berafeksi, maupun beraksi hHarus ditumbuhkan melalui kolaborasi dan komunikasi efektif.
Situasi pandemi Covid-19 saat ini, seluruh kegiatan dilakukan dengan kombinasi daring (online) maupun luring (offline). Teknologi pembelajaran sudah dilakukan dengan cara demikian dan berjalan efesien. Tetapi, perilaku pebelajar (learners) hanya sebatas mengingat bukan memahami, memahami bukan mengaplikasikan, mengaplikasi bukan menganalisis, menganalisis bukan menyintesis. dan menyintesis bukan berkreasi.
Artinya, pebelajar mendengar tetapi kurang mendengarkan, bukannya mencontoh tetapi plagiat. Siswa maupun mahasiswa dengan cepat dapat menjawab pertanyaan atau mencari solusi sebuah masalah dengan cara copy and paste, tanpa pemahaman apalagi mampu mengkritisi. Perilaku pembelajaran seperti ini bukan ‘make use of technology’ tetapi ‘absing technology’. Akibat dan manfaatnya, yaitu bukan pemeliharaan diri atau lingkungan! *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
1
Komentar