Gerakan 'Tanam Saja' yang Tumbuh Saat Pandemi Covid-19
Gelar Sekolah Lapang, Perkenalkan Konsep Permakultur
DENPASAR, NusaBali
‘Tanam Saja’ merupakan sebuah gerakan untuk memperjuangkan ketahanan pangan dengan menanam.
Gerakan ini dimulai pada bulan Mei 2020, yang dilakukan dalam merespon pandemi Covid-19. Sejak berdirinya Tanam Saja, berbagai kegiatan rutin dilakukan. Selain pembagian benih dan media tanam, Tanam Saja juga berbagi pengetahuan dalam pengelolaan kebun dan perawatan tanaman, seperti melalui pelatihan online.
Namun, selain pelatihan online, kunjungan atau pelatihan lapangan pun harus dilakukan. “Seiring berjalannya waktu terdapat masalah lapangan yang tidak bisa diselesaikan secara virtual, sehingga dilakukan kunjungan lapangan maupun sekolah lapangan,” ujar Gusti Diah, Communication Officer Tanam Saja kepada NusaBali, Selasa (1/12).
Kunjungan dan sekolah lapang ini pada dasarnya adalah kegiatan untuk berbagi pengetahuan dalam pengelolaan kebun, termasuk pada desain kebun dan perawatan tanaman. Tujuannya adalah menemukan solusi konkret atas masalah yang dihadapi di kebun-kebun yang menerima paket benih yang dibagikan oleh Tanam Saja pada tahap sebelumnya.
Salah satu konsep yang diperkenalkan dalam sekolah lapang ini, yaitu konsep permakultur. Pada dasarnya, konsep permakultur menyesuaikan medan dan kondisi kebun. Tiga prinsip yang perlu ditanamkan, yakni ekologi, sosial, dan ekonomi. “Konsep permakultur cenderung menyesuaikan dengan daerah setempat dan berlandaskan keberlanjutan,” lanjut Gusti Diah.
Desain kebun, lanjut Gusti Diah, wajib memperhatikan kondisi setempat seperti kemiringan lahan, area lahan yang cukup dan kurang sinar. Setiap tanaman mempunyai kebutuhan berbeda terhadap sinar matahari, ada yang butuh sinar matahari penuh dan ada yang cukup dengan sinar matahari yang terbatas.
Dengan konsep desain yang tepat, maka pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam juga lebih mudah. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kebutuhan salah satunya bisa dilakukan dengan tumpang sari atau polyculture. Pilihan tanaman beragam ini berfungsi untuk menciptakan ekosistem juga digunakan sebagai metode pencegahan hama.
Selain konsep permakultur, kini urban farming atau bertanam di wilayah perkotaan juga tengah berusaha digalakkan, sebab pada dasarnya bertanam bisa di mana saja, termasuk lahan sempit di perkotaan. “Beberapa penerima benih dari Tanam Saja berdomisili di kota. Mereka juga berbagi pengalaman tentang berkebun di rumah yang cenderung memiliki lahan yang kecil. Langkah yang mereka lakukan seperti memanfaatkan balkon, teras, ataupun atap di rumah untuk berkebun. Medianya pun bisa menggunakan pot dan bahan-bahan lainnya yang tidak terpakai,” jelasnya.
Selain program sekolah lapang yang merupakan salah satu program luring (offline) dari Tanam Saja, ada pula program kunjungan lapangan dan pembagian bibit gratis. Khusus pada program kunjungan lapangan, program ini dijalankan untuk mengecek kebun-kebun yang dirasa memerlukan pendampingan.
Untuk saat ini, Sekolah Lapang dilakukan secara rutin di tempat-tempat yang berbeda. Gerakan berkebun ini juga secara aktif diikuti oleh paling tidak 27 komunitas dan organisasi. Terakhir, gerakan yang mengenalkan konsep permakultur ke masyarakat ini juga sempat dilakukan di Tabanan, bersama dengan pakar dari Tanam Saja, Roberto Hutabarat dan komunitas Perpustakaan Jalanan Tabanan, Sabtu (29/11) lalu. *cr74
Namun, selain pelatihan online, kunjungan atau pelatihan lapangan pun harus dilakukan. “Seiring berjalannya waktu terdapat masalah lapangan yang tidak bisa diselesaikan secara virtual, sehingga dilakukan kunjungan lapangan maupun sekolah lapangan,” ujar Gusti Diah, Communication Officer Tanam Saja kepada NusaBali, Selasa (1/12).
Kunjungan dan sekolah lapang ini pada dasarnya adalah kegiatan untuk berbagi pengetahuan dalam pengelolaan kebun, termasuk pada desain kebun dan perawatan tanaman. Tujuannya adalah menemukan solusi konkret atas masalah yang dihadapi di kebun-kebun yang menerima paket benih yang dibagikan oleh Tanam Saja pada tahap sebelumnya.
Salah satu konsep yang diperkenalkan dalam sekolah lapang ini, yaitu konsep permakultur. Pada dasarnya, konsep permakultur menyesuaikan medan dan kondisi kebun. Tiga prinsip yang perlu ditanamkan, yakni ekologi, sosial, dan ekonomi. “Konsep permakultur cenderung menyesuaikan dengan daerah setempat dan berlandaskan keberlanjutan,” lanjut Gusti Diah.
Desain kebun, lanjut Gusti Diah, wajib memperhatikan kondisi setempat seperti kemiringan lahan, area lahan yang cukup dan kurang sinar. Setiap tanaman mempunyai kebutuhan berbeda terhadap sinar matahari, ada yang butuh sinar matahari penuh dan ada yang cukup dengan sinar matahari yang terbatas.
Dengan konsep desain yang tepat, maka pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam juga lebih mudah. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kebutuhan salah satunya bisa dilakukan dengan tumpang sari atau polyculture. Pilihan tanaman beragam ini berfungsi untuk menciptakan ekosistem juga digunakan sebagai metode pencegahan hama.
Selain konsep permakultur, kini urban farming atau bertanam di wilayah perkotaan juga tengah berusaha digalakkan, sebab pada dasarnya bertanam bisa di mana saja, termasuk lahan sempit di perkotaan. “Beberapa penerima benih dari Tanam Saja berdomisili di kota. Mereka juga berbagi pengalaman tentang berkebun di rumah yang cenderung memiliki lahan yang kecil. Langkah yang mereka lakukan seperti memanfaatkan balkon, teras, ataupun atap di rumah untuk berkebun. Medianya pun bisa menggunakan pot dan bahan-bahan lainnya yang tidak terpakai,” jelasnya.
Selain program sekolah lapang yang merupakan salah satu program luring (offline) dari Tanam Saja, ada pula program kunjungan lapangan dan pembagian bibit gratis. Khusus pada program kunjungan lapangan, program ini dijalankan untuk mengecek kebun-kebun yang dirasa memerlukan pendampingan.
Untuk saat ini, Sekolah Lapang dilakukan secara rutin di tempat-tempat yang berbeda. Gerakan berkebun ini juga secara aktif diikuti oleh paling tidak 27 komunitas dan organisasi. Terakhir, gerakan yang mengenalkan konsep permakultur ke masyarakat ini juga sempat dilakukan di Tabanan, bersama dengan pakar dari Tanam Saja, Roberto Hutabarat dan komunitas Perpustakaan Jalanan Tabanan, Sabtu (29/11) lalu. *cr74
1
Komentar