Solusi Limbah Medis, Operasional Incinerator RSUD Klungkung Masih Ditentang
DENPASAR, NusaBali
Upaya RSUD Klungkung mengoperasikan incinerator untuk membakar limbah medis yang masuk dalam kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun) masih menemui kendala. Pasalnya penggunaan incinerator dinilai membahayakan lingkungan hidup.
Di sisi lain, sejumlah rumah sakit termasuk RSUD Klungkung mengalami lonjakan limbah medis pada masa pandemi Covid-19. Setidaknya setiap hari kini ada tambahan ratusan limbah APD (alat pelindung diri). “Penanganan limbah B3, khususnya limbah medis pada masa pandemi Covid-19 memang menjadi permasalahan yang luar biasa,” kata I Made Sara Wijana, penyusun Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL) RSUD Klungkung, Kamis (3/12).
Penyusun ANDAL yang juga Dosen Biologi Universitas Udayana Denpasar ini mengingatkan bahwa penanganan limbah B3 harus dilakukan dengan cepat dan maksimal dalam dua hari. Oleh karena itu, lanjutnya, ada Surat Edaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk penanganan limbah B3 tersebut.
RSUD Kabupaten Klungkung sendiri sebenarnya sudah memiliki incinerator, namun belum memiliki izin pengoperasian. Sejumlah rumah sakit lainnya di beberapa kabupaten/kota di Bali juga sempat memiliki incinerator, namun mengalami penolakan dari masyarakat. Alhasil incinerator tersebut mangkrak. “RSUD Klungkung memang sudah punya incinerator. Tetapi dulunya keadaannya kurang bagus, sehingga diperbaiki agar memenuhi persyaratan perizinan dan operasionalnya bisa legal,” jelas Made Sara.
Namun keukeuhnya pihak RSUD Klungkung tetap ditentang oleh pegiat lingkungan hidup. Saat diskusi publik di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Selasa (1/12) lalu, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Bali dan Frontier (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali menentang keras rencana pengoperasian incinerator. “Operasional incinerator bisa merusak lingkungan yang pada akhirnya sangat membahayakan kesehatan masyarakat, khususnya di radius 500 meter dari lokasi incinerator,” kata Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama.
Dalam diskusi yang dipimpin oleh Kepala DKLH Bali I Made Teja, Made Juli Untung Pratama mengatakan dampak penggunaan incinerator untuk pembakaran limbah B3 akan menghasilkan dioksin yang dapat memicu penyakit kanker dan merusak organ reproduksi pria dan perempuan, sehingga membuat sulit memiliki keturunan. “Sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Operasional incinerator ini harus dicoret,” protesnya.
Untung Pratama juga menjelaskan hingga saat ini belum ada laboratorium rujukan di Indonesia yang dapat menganalisa dioksin dalam sampel emisi incinerator. Sehingga ia menilai rencana operasional incinerator tersebut tidak bisa dilaksanakan. Walhi juga menyorot dokumen ANDAL dan RKL/RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan) pengembangan RSUD Klungkung yang kurang menjelaskan track record pihak ketiga pengolah limbah B3 yakni PT Triarta Mulia Indonesia.
Di sisi lain Walhi menawarkan solusi lain yakni Autoclave dengan pencacah yang termasuk limbah B3 dari pasien Covid-19. “Karena Autoclave tidak menimbulkan emisi yang berbahaya serta sejauh ini belum ada dampak buruk kesehatan akibat operasional Autoclave. Jadi seharusnya Autoclave bisa digunakan,” saran Untung Pratama dalam diskusi yang juga dihadiri Sekjen Frontier Bali Natri Krisnawan tersebut.
Sayangnya usulan penggunaan Autoclave untuk penanganan limbah B3 di RSUD Klungkung dinilai memberatkan. “Autoclave memang layak untuk penanganan limbah B3, namun itu tidak dapat dilaksanakan karena keterbasan anggaran sehingga tidak dapat dikelola,“ jawab Made Sara.
Tanpa menjelaskan perbandingan harga yang dinilai memberatkan, Made Sara mengungkapkan bahwa ia dan timnya mengerti kekhawatiran emisi limbah dioksin. Karena itu, lanjutnya, ada solusi pembakaran di atas suhu 600 derajat celsius atau sesuai spesifikasi dari Kementerian LHK yaitu minimal 800 derajat celsius untuk chamber pertama. “Agar terjadi pembakaran lebih sempurna incinerator harus memiliki 2 channel, ruang bakar pertama minimal 800 derajat celsius, yang kedua minimal 1.200 derajat celsius. Sehingga pembakaran plastik tidak menimbulkan dioksin. Jadi kami sudah punya pilihan dan pertimbangan,” jelas Made Sara ketika dikonfirmasi NusaBali.
Made Sara pun meluruskan soal pelarangan penggunaan incinerator. Pasalnya sudah ada Peraturan Menteri LHK Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. “Bukan tidak diperbolehkan menggunakan incinerator, tapi ada tata cara yang sudah diatur. Ada persyaratan juga yang perlu dipenuhi, yaitu lokasi, efisiensi, baku mutu emisi dan sebelum itu harus diuji coba agar memenuhi persyaratan tersebut. Salah satunya ruang bakarnya itu harus memenuhi suhu yang ditentukan, kemudian efisiensinya perlu 99 persen,” jelasnya lagi.
Made Sara kemudian kembali menjelaskan bahwa prinsip pengolahan limbah itu di samping teknologi harus juga memperhatikan aspek ekonomi. “Jika teknologi tidak terjangkau kan tidak efektif juga,” jelasnya.
Made Sara juga menambahkan bahwa beberapa rumah sakit yang ada di Bali juga punya incirenator tapi belum punya izin. “Contohnya RS Wangaya. Maka dari itu sekarang semua mengurus perizinannya,” pungkas Made Sara.*cla
Penyusun ANDAL yang juga Dosen Biologi Universitas Udayana Denpasar ini mengingatkan bahwa penanganan limbah B3 harus dilakukan dengan cepat dan maksimal dalam dua hari. Oleh karena itu, lanjutnya, ada Surat Edaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk penanganan limbah B3 tersebut.
RSUD Kabupaten Klungkung sendiri sebenarnya sudah memiliki incinerator, namun belum memiliki izin pengoperasian. Sejumlah rumah sakit lainnya di beberapa kabupaten/kota di Bali juga sempat memiliki incinerator, namun mengalami penolakan dari masyarakat. Alhasil incinerator tersebut mangkrak. “RSUD Klungkung memang sudah punya incinerator. Tetapi dulunya keadaannya kurang bagus, sehingga diperbaiki agar memenuhi persyaratan perizinan dan operasionalnya bisa legal,” jelas Made Sara.
Namun keukeuhnya pihak RSUD Klungkung tetap ditentang oleh pegiat lingkungan hidup. Saat diskusi publik di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Selasa (1/12) lalu, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Bali dan Frontier (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali menentang keras rencana pengoperasian incinerator. “Operasional incinerator bisa merusak lingkungan yang pada akhirnya sangat membahayakan kesehatan masyarakat, khususnya di radius 500 meter dari lokasi incinerator,” kata Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama.
Dalam diskusi yang dipimpin oleh Kepala DKLH Bali I Made Teja, Made Juli Untung Pratama mengatakan dampak penggunaan incinerator untuk pembakaran limbah B3 akan menghasilkan dioksin yang dapat memicu penyakit kanker dan merusak organ reproduksi pria dan perempuan, sehingga membuat sulit memiliki keturunan. “Sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Operasional incinerator ini harus dicoret,” protesnya.
Untung Pratama juga menjelaskan hingga saat ini belum ada laboratorium rujukan di Indonesia yang dapat menganalisa dioksin dalam sampel emisi incinerator. Sehingga ia menilai rencana operasional incinerator tersebut tidak bisa dilaksanakan. Walhi juga menyorot dokumen ANDAL dan RKL/RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan) pengembangan RSUD Klungkung yang kurang menjelaskan track record pihak ketiga pengolah limbah B3 yakni PT Triarta Mulia Indonesia.
Di sisi lain Walhi menawarkan solusi lain yakni Autoclave dengan pencacah yang termasuk limbah B3 dari pasien Covid-19. “Karena Autoclave tidak menimbulkan emisi yang berbahaya serta sejauh ini belum ada dampak buruk kesehatan akibat operasional Autoclave. Jadi seharusnya Autoclave bisa digunakan,” saran Untung Pratama dalam diskusi yang juga dihadiri Sekjen Frontier Bali Natri Krisnawan tersebut.
Sayangnya usulan penggunaan Autoclave untuk penanganan limbah B3 di RSUD Klungkung dinilai memberatkan. “Autoclave memang layak untuk penanganan limbah B3, namun itu tidak dapat dilaksanakan karena keterbasan anggaran sehingga tidak dapat dikelola,“ jawab Made Sara.
Tanpa menjelaskan perbandingan harga yang dinilai memberatkan, Made Sara mengungkapkan bahwa ia dan timnya mengerti kekhawatiran emisi limbah dioksin. Karena itu, lanjutnya, ada solusi pembakaran di atas suhu 600 derajat celsius atau sesuai spesifikasi dari Kementerian LHK yaitu minimal 800 derajat celsius untuk chamber pertama. “Agar terjadi pembakaran lebih sempurna incinerator harus memiliki 2 channel, ruang bakar pertama minimal 800 derajat celsius, yang kedua minimal 1.200 derajat celsius. Sehingga pembakaran plastik tidak menimbulkan dioksin. Jadi kami sudah punya pilihan dan pertimbangan,” jelas Made Sara ketika dikonfirmasi NusaBali.
Made Sara pun meluruskan soal pelarangan penggunaan incinerator. Pasalnya sudah ada Peraturan Menteri LHK Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. “Bukan tidak diperbolehkan menggunakan incinerator, tapi ada tata cara yang sudah diatur. Ada persyaratan juga yang perlu dipenuhi, yaitu lokasi, efisiensi, baku mutu emisi dan sebelum itu harus diuji coba agar memenuhi persyaratan tersebut. Salah satunya ruang bakarnya itu harus memenuhi suhu yang ditentukan, kemudian efisiensinya perlu 99 persen,” jelasnya lagi.
Made Sara kemudian kembali menjelaskan bahwa prinsip pengolahan limbah itu di samping teknologi harus juga memperhatikan aspek ekonomi. “Jika teknologi tidak terjangkau kan tidak efektif juga,” jelasnya.
Made Sara juga menambahkan bahwa beberapa rumah sakit yang ada di Bali juga punya incirenator tapi belum punya izin. “Contohnya RS Wangaya. Maka dari itu sekarang semua mengurus perizinannya,” pungkas Made Sara.*cla
1
Komentar