Seni Panahan Tradisional Bali Dipamerkan dalam UMKM Bali Bangkit
DENPASAR, NusaBali
Dalam pameran UMKM Bali Bangkit yang dibuka pada Jumat (4/12), beragam unit usaha UMKM yang dipamerkan, mulai dari kuliner, busana, hingga seni rupa.
Di antara stand-stand pameran yang berlokasi di Gedung Ksirarnawa Taman Werdhi Budaya (Art Centre), terdapat satu stand yang merupakan stand dari klub panahan tradisional Bali, yakni Jepun Bali Traditional Archery Club.Klub panahan ini, berdiri di tahun 2005, dan hingga kini telah berkembang, sehingga tidak hanya terpusat di Denpasar saja, namun juga di wilayah lain. “Sementara klub yang sudah ada sekarang ada di Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar ada. Bangli baru ada yang mencoba ke sini,” ujar Ida Ayu Anom Purnamaningsih, pendiri sekaligus pelatih panahan tradisional di Jepun Bali Traditional Archery Club.
Yang membuat klub ini menarik, yakni alat dan seragam yang dikenakan. Memang, setiap daerah memiliki seragamnya masing-masing. Khusus di klub Jepun Bali, seragam yang dikenakan identik dengan warna poleng tridatu (merah putih hitam), dengan pakaian atasan pria yakni kemeja putih, atasan wanita yaitu kebaya putih, dan selendang poleng warna tridatu. Bagi pemanah pria, atribut dilengkapi dengan udeng dengan warna poleng yang sama, dan atribut lelunakan bagi wanita.
Tidak hanya pakaian, namun cara memanah panahan tradisional ini juga terbilang unik. Dalam memanah, pemanah pria harus dalam keadaan duduk bersila, sementara pemanah wanita mengambil posisi duduk bersimpuh, dengan posisi busur sedikit dimiringkan
Dari jenis sasaran yang dipanah, terdapat dua kategori, yakni sasaran berupa bandulan yang diikat secara vertikal, dan target sasaran berupa face target yang memiliki nilai dari skala 1 sampai 10, dengan nilai tertinggi, 10, yang berada tepat di tengah sasaran. Jenis sasaran ini, kemudian membedakan aturan jarak untuk memanahnya.
“Kalau untuk yang bandulan, untuk dewasa itu jaraknya paling jauh 30 meter. Kalau yang face target, nembaknya duduk juga, alatnya sama, pakaiannya sama, tapi jaraknya yang berbeda yaitu 50 meter, 40 meter, dan 30 meter,” lanjut pelatih panahan berusia 69 tahun ini.
Secara umum, panah memang telah menjadi senjata tradisional sejak zaman kerajaan. Khusus dalam perkembangan Jepun Bali sebagai klub panahan tradisional, awalnya terinspirasi dari Yogyakarta, yang memanah dilakukan dalam posisi duduk, yang disebut jemparingan. “Tiyang tertarik, tiyang belajar di sana tiga hari. Kemudian langsung diajak lomba, kalau di sana disebut dengan gladen. Karena tertarik, lagi datang kembali. Kita datang kembali untuk pelatihan membuat alatnya,” kenang pelatih panahan yang juga seorang mantan atlet renang ini.
Berawal dari pelatihan tersebut, hingga kini Jepun Bali mengalami perkembangan, sehingga kini busur panah yang dibuat memiliki ciri khas ukiran Bali. Secara umum, anak panah dan busur tradisional ini tebuat dari bambu. Bambu yang dipilih untuk busurnya pun adalah bambu petung, sementara kayu sawo menjadi pilihan terbaik untuk gagang atau pegangan yang berukir.
“Bambu petung, bambu ini harus yang sudah tua, dan tumbuhnya yang bagus untuk sayapnya niki yang tumbuhnya di bukit. Kenapa di bukit jadi ada airnya dia sedikit, dan hidupnya goyangnya bagus sehingga lentur. Kalau di Bali belum tyang dapat, ini pesannya di Jogja,” jelasnya.
Ukuran busur, bervariasi tergantung dengan tinggi pemanah itu sendiri, di mana setinggi alis pemakai menjadi patokan busur tersebut. “Kalau kurang, cepat patah dia, keras jadinya tarikannya, jadi kalau lebih barang 5 sampai 10 centimeter boleh,” paparnya.*cr74
Yang membuat klub ini menarik, yakni alat dan seragam yang dikenakan. Memang, setiap daerah memiliki seragamnya masing-masing. Khusus di klub Jepun Bali, seragam yang dikenakan identik dengan warna poleng tridatu (merah putih hitam), dengan pakaian atasan pria yakni kemeja putih, atasan wanita yaitu kebaya putih, dan selendang poleng warna tridatu. Bagi pemanah pria, atribut dilengkapi dengan udeng dengan warna poleng yang sama, dan atribut lelunakan bagi wanita.
Tidak hanya pakaian, namun cara memanah panahan tradisional ini juga terbilang unik. Dalam memanah, pemanah pria harus dalam keadaan duduk bersila, sementara pemanah wanita mengambil posisi duduk bersimpuh, dengan posisi busur sedikit dimiringkan
Dari jenis sasaran yang dipanah, terdapat dua kategori, yakni sasaran berupa bandulan yang diikat secara vertikal, dan target sasaran berupa face target yang memiliki nilai dari skala 1 sampai 10, dengan nilai tertinggi, 10, yang berada tepat di tengah sasaran. Jenis sasaran ini, kemudian membedakan aturan jarak untuk memanahnya.
“Kalau untuk yang bandulan, untuk dewasa itu jaraknya paling jauh 30 meter. Kalau yang face target, nembaknya duduk juga, alatnya sama, pakaiannya sama, tapi jaraknya yang berbeda yaitu 50 meter, 40 meter, dan 30 meter,” lanjut pelatih panahan berusia 69 tahun ini.
Secara umum, panah memang telah menjadi senjata tradisional sejak zaman kerajaan. Khusus dalam perkembangan Jepun Bali sebagai klub panahan tradisional, awalnya terinspirasi dari Yogyakarta, yang memanah dilakukan dalam posisi duduk, yang disebut jemparingan. “Tiyang tertarik, tiyang belajar di sana tiga hari. Kemudian langsung diajak lomba, kalau di sana disebut dengan gladen. Karena tertarik, lagi datang kembali. Kita datang kembali untuk pelatihan membuat alatnya,” kenang pelatih panahan yang juga seorang mantan atlet renang ini.
Berawal dari pelatihan tersebut, hingga kini Jepun Bali mengalami perkembangan, sehingga kini busur panah yang dibuat memiliki ciri khas ukiran Bali. Secara umum, anak panah dan busur tradisional ini tebuat dari bambu. Bambu yang dipilih untuk busurnya pun adalah bambu petung, sementara kayu sawo menjadi pilihan terbaik untuk gagang atau pegangan yang berukir.
“Bambu petung, bambu ini harus yang sudah tua, dan tumbuhnya yang bagus untuk sayapnya niki yang tumbuhnya di bukit. Kenapa di bukit jadi ada airnya dia sedikit, dan hidupnya goyangnya bagus sehingga lentur. Kalau di Bali belum tyang dapat, ini pesannya di Jogja,” jelasnya.
Ukuran busur, bervariasi tergantung dengan tinggi pemanah itu sendiri, di mana setinggi alis pemakai menjadi patokan busur tersebut. “Kalau kurang, cepat patah dia, keras jadinya tarikannya, jadi kalau lebih barang 5 sampai 10 centimeter boleh,” paparnya.*cr74
1
Komentar