Guide Travel Racik Bumbu Rujak
Siasati Sepi Job Saat Pandemi
GIANYAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 membuat sektor pariwisata khususnya di Bali, lesu.
Kunjungan wisatawan sepi mengakibatkan para pekerja pariwisata terpaksa istirahat. Namun, hal itu tak berlaku bagi salah seorang guide travel Desak Made Sriastuti,44. Guide yang memandu rombongan studi komparatif Dinas Kominfo Kabupaten Gianyar ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, 2 – 4 Desember ini,
bercerita tentang pekerjaan tambahannya sejak pandemi awal tahun 2020 ini. Kepada NusaBali, guide keturunan Bali asal Banjar Tak, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem ini mengaku memilih meracik bumbu rujak. Racikan bumbu rujak istri dari I Wayan Menu ini memiliki rasa nano-nano. Desak mengandalkan rasa khas terasi Lombok, gula Jawa, asem dan cuka.
Bumbu rujak racikannya diberi label ‘Bumbu Rujak Cempreng’. Penamaan ini sesuai dengan karakter suara Desak yang cempreng saat memandu wisatawan keliling Lombok. "Pandemi ini membuat saya sempat alih profesi. Karena bosan di rumah, sepi job. Akhirnya saya meracik bumbu rujak," jelasnya.
Bumbu rujak racikannya, hanya disempurnakan. Sebab sejak masih muda, Desak memang suka makan rujak sekaligus membuat bumbu. "Biasa, sebelum pandemi setiap saya guide saya pasti bawa bumbu rujak. Rekan sesama guide sering saya ajak ngerujak, katanya enak disarankan untuk memproduksi banyak," ungkapnya.
Pertama kali, Desak berkesempatan memperkenalkan bumbu rujak racikannya pada rombongan Bank Indonesia. "Saya bawa lumayan banyak, saya tawarkan ke rombongan. Ada orang Kalimantan, Jawa, dan lain-lain. Mereka juga suka," kenangnya.
Semenjak saat itulah, setiap kali ada memandu wisatawan Desak selalu membawa bumbu rujak Cempreng racikannya. "Baru-baru ini mulai ada kunjungan wisata, tapi tidak seramai dulu. Dalam setiap kesempatan, bumbu rujak ini pasti saya tawarkan," ungkapnya.
Meski keuntungannya tidak banyak, terpenting baginya adalah tidak menyerah dengan kondisi. "Per botol paling banter untung Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Tidak banyak, tapi membuat saya semangat melewati pandemi," jelas Desak yang tinggal di Desa Senteluk, Kecamatan Batu Layar, kabupaten Lombok Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat ini. Mengenai rasa, Desak jamin sesuai dengan selera lidah nusantara. Selain dipasarkan saat memandu kunjungan wisata, pemasaran Bumbu Rujak Cempreng juga sampai Bali, khususnya Karangasem. "Kebetulan ada keponakan di Karangasem. Biasanya saya kirim sesuai permintaan, kadang belasan sampai puluhan botol," jelas ibu dua anak ini.
Dijelaskan, Desak mulai menjadi guide sejak Tahun 2005. Sebelumnya, Desak yang memang lahir dan besar di Lombok sempat bekerja di hotel dan perusahaan asing. "Selama 7 tahun saya pernah rutin bolak balik Bali-Lombok, sekarang fokus disini jadi guide travel," imbuhnya.
Saat ini, Desak membuat bumbu rujak setiap seminggu sekali. Dalam sekali produksi, menghasilkan sekitar 50 botol. "Saya ada 3 kemasan botol, ukuran 200 ml dengan harga Rp 20.000. Ukuran 400 ml harga Rp 30.000. Dan ukuran 600 ml harga Rp 45.000. Yang sudah pernah mencicipi, biasanya berlangganan. Mereka nyari yang ukuran besar," ujarnya. *nvi
bercerita tentang pekerjaan tambahannya sejak pandemi awal tahun 2020 ini. Kepada NusaBali, guide keturunan Bali asal Banjar Tak, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem ini mengaku memilih meracik bumbu rujak. Racikan bumbu rujak istri dari I Wayan Menu ini memiliki rasa nano-nano. Desak mengandalkan rasa khas terasi Lombok, gula Jawa, asem dan cuka.
Bumbu rujak racikannya diberi label ‘Bumbu Rujak Cempreng’. Penamaan ini sesuai dengan karakter suara Desak yang cempreng saat memandu wisatawan keliling Lombok. "Pandemi ini membuat saya sempat alih profesi. Karena bosan di rumah, sepi job. Akhirnya saya meracik bumbu rujak," jelasnya.
Bumbu rujak racikannya, hanya disempurnakan. Sebab sejak masih muda, Desak memang suka makan rujak sekaligus membuat bumbu. "Biasa, sebelum pandemi setiap saya guide saya pasti bawa bumbu rujak. Rekan sesama guide sering saya ajak ngerujak, katanya enak disarankan untuk memproduksi banyak," ungkapnya.
Pertama kali, Desak berkesempatan memperkenalkan bumbu rujak racikannya pada rombongan Bank Indonesia. "Saya bawa lumayan banyak, saya tawarkan ke rombongan. Ada orang Kalimantan, Jawa, dan lain-lain. Mereka juga suka," kenangnya.
Semenjak saat itulah, setiap kali ada memandu wisatawan Desak selalu membawa bumbu rujak Cempreng racikannya. "Baru-baru ini mulai ada kunjungan wisata, tapi tidak seramai dulu. Dalam setiap kesempatan, bumbu rujak ini pasti saya tawarkan," ungkapnya.
Meski keuntungannya tidak banyak, terpenting baginya adalah tidak menyerah dengan kondisi. "Per botol paling banter untung Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Tidak banyak, tapi membuat saya semangat melewati pandemi," jelas Desak yang tinggal di Desa Senteluk, Kecamatan Batu Layar, kabupaten Lombok Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat ini. Mengenai rasa, Desak jamin sesuai dengan selera lidah nusantara. Selain dipasarkan saat memandu kunjungan wisata, pemasaran Bumbu Rujak Cempreng juga sampai Bali, khususnya Karangasem. "Kebetulan ada keponakan di Karangasem. Biasanya saya kirim sesuai permintaan, kadang belasan sampai puluhan botol," jelas ibu dua anak ini.
Dijelaskan, Desak mulai menjadi guide sejak Tahun 2005. Sebelumnya, Desak yang memang lahir dan besar di Lombok sempat bekerja di hotel dan perusahaan asing. "Selama 7 tahun saya pernah rutin bolak balik Bali-Lombok, sekarang fokus disini jadi guide travel," imbuhnya.
Saat ini, Desak membuat bumbu rujak setiap seminggu sekali. Dalam sekali produksi, menghasilkan sekitar 50 botol. "Saya ada 3 kemasan botol, ukuran 200 ml dengan harga Rp 20.000. Ukuran 400 ml harga Rp 30.000. Dan ukuran 600 ml harga Rp 45.000. Yang sudah pernah mencicipi, biasanya berlangganan. Mereka nyari yang ukuran besar," ujarnya. *nvi
Komentar