Sanggar Burat Wangi Rindu Aktif Saat Pandemi
TABANAN, NusaBali
Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 menjadikan banyak aktivitas masyarakat melesu, bahkan mati suri.
Namun, banyak seniman dan pendiri sanggar rindu berkegiatan. Salah satunya, Sanggar Burat Wangi (SBW) di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Tabanan.
SBW adalah sanggar yang berkecimpung dalam kesenian tradisional. Anggotanya dari usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga SD (sekolah dasar). Agar tetap membangkitkan jiwa seni dalam masa pandemi, SBW selalu memanfaatkan momen undangan berkegiatan lewat virtual.
Tutor sekaligus pendiri SBW, Nyoman Budarsana menuturkan di tengah pandemi sekarang, banyak sanggar tidak aktif latihan atau pun pentas. Karena ada pembatasan kerumunan sehingga kegiatan berkesenian terbatas. "Kalau tidak ada pandemi, anak-anak sering ngayah, dan terlibat dalam kegiatan yang dibuat pihak luar," ujarnya.
Kendati pun sekarang tidak aktif, SBW selalu memanfaatkan momen undangan berkesenian lewat virtual. Anak-anak sangat semangat mengikuti. Contohnya, sempat mengikuti pentas seni virtual yang digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, menyajikan Teater Tari Le Mayeur. Sempat tampil permainan tradisional Megandu, dalam kegiatan Program Belajar Bersama di Museum Subak, Tabanan, serangkain peringatan HUT Museum Subak.
"Kalau tidak ada undangan virtual, paling hanya ngayah memainkan gender ketika ada masyarakat yang mengelar upacara mesangih, otonan, atau lainnya. Tentu selalu mengedepankan protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan mengatur jarak saat tampil," kata Budarsana.
Dengan semangatnya anak-anak latihan ketika ada pentas, jelas Budarsana, membuktikan mereka rindu berkesenian. Seharusnya Pemkab Tabanan di tengah pandemi sekarang membuat kegiatan yang sifatnya virtual. Selain bertujuan memperhatikan seniman dan sanggar karena dampak pandemi, juga bermanfaat sebagai pendataan jumlah sanggar dan seniman yang aktif di Tabanan.
Sebab, menurutnya, Tabanan juga memiliki seni beraneka ragam. "Kami harapkan Pemkab Tabanan buat suatu kegiatan yang bisa melibatkan sanggar dan seniman. Bayangkan mereka (seniman dan sanggar) yang dulunya aktif sekarang sudah delapan bulan vakum," harapnya.
Dituturkan Budarsana, sebelum berubah menjadi sanggar, dulu sanggar asuhnya bernama Pasraman Buratwangi. Pasraman ini sebagai sebuah pendidikan untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang cerdas, berbudaya serta mampu memanajemen dirinya sendiri. Pendidikan non formal ini untuk mengasah diri dengan pendidikan seni budaya dan budi pekerti, sehingga mental anak menjadi kuat. Mengingat belajar seni budaya Bali merupakan sebuah pendidikan dasar agama Hindu yang sangat penting bagi generasi muda. Pasraman Buratwangi lahir pada 23 Agustus 2005 untuk memberikan pendidikan seni budaya kepada generasi muda.
Kehadirannya pun sangat sederhana yakni lahir di sebuah halaman rumah penduduk yang tidak terlalu mewah. Anak-anak yang menjadi siswa adalah setingkat TK dan SD dan SMP bukan saja dari Banjar Ole, ada juga dari luar desa. Mereka belajar setiap Sabtu dan Minggu serta pelajaran tambahan setiap hari libur. Para tutor yang terlibat memiliki kesepakatan untuk menyumbangkan sedikit kegiatan sosialnya, sehingga proses belajar mengajar diberikan secara gratis.
Kendati pun berdiri untuk melestarikan seni budaya, namun pelajaran yang diberikan tak melulu pada muatan lokal seni budaya. Ada juga pelajaran bahasa Inggris, melukis, teater, serta musik dan tari modern. Awalnya pasraman ini memiliki 75 siswa yang antara laki-laki dan perempuan berimbang. Setiap ada piodalan di pura di lingkungan desa, siswa pasraman sering ngayah tari rejang dan baris gede serta tarian lepas lainnya. "Biasa mengisi acara hut STT (tari dan musik), mengisi acara pernikahan (penabuh rindik), dan upacara mesangih (potong gigi) yang menampilkan penabuh gender wayang," bebernya.
Kegiatan lain, pernah dilakukan, yakni Sanggar Buratwangi ketika status pasraman tampil di layar lebar dalam acara Buku Catatan Si Unyil, Ayo Bermain, dalam TV nasional. Ada juga acara Ngalawang Barong Bangkung. Kalau secara perorangan, anak-anak Sanggar Burawangi sering mendukung sekeha gong desa lain dalam ajang Pesta kesenian Bali (PKB).
Setelah bergulir program pasraman dari pemerintah yang mewajibkan setiap desa pakraman membuat pasraman, maka Pasraman Buratwangi berubah menjadi sanggar. Buratwangi yang mulai menekuni permainan gender wayang, sehingga didapuk menjadi duta kesenian Kabupaten Tabanan yang tampil pada Lomba Gender Wayang PKB ke-38 2016. "Saat itu Sanggar Buratwangi menyajikan Gending Gender Wayang Khas Tabanan," imbuhnya.
Tak hanya itu, anak-anak sanggar Buratwangi juga pendukung utama kegiatan Festival ke Uma, sebagai penyelenggara kegiatan “Malam Kesetaraan Gender” sebuah diskusi yang diisi demo bermain gender bertepatan dengan Tumpek Wayang. Selain menampilkan penabuh anak-anak dari sanggar tersebut, malam apresiasi seni ini juga diramaikan dengan penampilan Sekaa Gender Sekar Anom, Banjar Dalem Pejaten, Kecamatan Kediri, Tabanan dan Vaughan Hatch seorang penabuh dan pecinta gamelan Bali asal Selandia Baru. *des
SBW adalah sanggar yang berkecimpung dalam kesenian tradisional. Anggotanya dari usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga SD (sekolah dasar). Agar tetap membangkitkan jiwa seni dalam masa pandemi, SBW selalu memanfaatkan momen undangan berkegiatan lewat virtual.
Tutor sekaligus pendiri SBW, Nyoman Budarsana menuturkan di tengah pandemi sekarang, banyak sanggar tidak aktif latihan atau pun pentas. Karena ada pembatasan kerumunan sehingga kegiatan berkesenian terbatas. "Kalau tidak ada pandemi, anak-anak sering ngayah, dan terlibat dalam kegiatan yang dibuat pihak luar," ujarnya.
Kendati pun sekarang tidak aktif, SBW selalu memanfaatkan momen undangan berkesenian lewat virtual. Anak-anak sangat semangat mengikuti. Contohnya, sempat mengikuti pentas seni virtual yang digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, menyajikan Teater Tari Le Mayeur. Sempat tampil permainan tradisional Megandu, dalam kegiatan Program Belajar Bersama di Museum Subak, Tabanan, serangkain peringatan HUT Museum Subak.
"Kalau tidak ada undangan virtual, paling hanya ngayah memainkan gender ketika ada masyarakat yang mengelar upacara mesangih, otonan, atau lainnya. Tentu selalu mengedepankan protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan mengatur jarak saat tampil," kata Budarsana.
Dengan semangatnya anak-anak latihan ketika ada pentas, jelas Budarsana, membuktikan mereka rindu berkesenian. Seharusnya Pemkab Tabanan di tengah pandemi sekarang membuat kegiatan yang sifatnya virtual. Selain bertujuan memperhatikan seniman dan sanggar karena dampak pandemi, juga bermanfaat sebagai pendataan jumlah sanggar dan seniman yang aktif di Tabanan.
Sebab, menurutnya, Tabanan juga memiliki seni beraneka ragam. "Kami harapkan Pemkab Tabanan buat suatu kegiatan yang bisa melibatkan sanggar dan seniman. Bayangkan mereka (seniman dan sanggar) yang dulunya aktif sekarang sudah delapan bulan vakum," harapnya.
Dituturkan Budarsana, sebelum berubah menjadi sanggar, dulu sanggar asuhnya bernama Pasraman Buratwangi. Pasraman ini sebagai sebuah pendidikan untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang cerdas, berbudaya serta mampu memanajemen dirinya sendiri. Pendidikan non formal ini untuk mengasah diri dengan pendidikan seni budaya dan budi pekerti, sehingga mental anak menjadi kuat. Mengingat belajar seni budaya Bali merupakan sebuah pendidikan dasar agama Hindu yang sangat penting bagi generasi muda. Pasraman Buratwangi lahir pada 23 Agustus 2005 untuk memberikan pendidikan seni budaya kepada generasi muda.
Kehadirannya pun sangat sederhana yakni lahir di sebuah halaman rumah penduduk yang tidak terlalu mewah. Anak-anak yang menjadi siswa adalah setingkat TK dan SD dan SMP bukan saja dari Banjar Ole, ada juga dari luar desa. Mereka belajar setiap Sabtu dan Minggu serta pelajaran tambahan setiap hari libur. Para tutor yang terlibat memiliki kesepakatan untuk menyumbangkan sedikit kegiatan sosialnya, sehingga proses belajar mengajar diberikan secara gratis.
Kendati pun berdiri untuk melestarikan seni budaya, namun pelajaran yang diberikan tak melulu pada muatan lokal seni budaya. Ada juga pelajaran bahasa Inggris, melukis, teater, serta musik dan tari modern. Awalnya pasraman ini memiliki 75 siswa yang antara laki-laki dan perempuan berimbang. Setiap ada piodalan di pura di lingkungan desa, siswa pasraman sering ngayah tari rejang dan baris gede serta tarian lepas lainnya. "Biasa mengisi acara hut STT (tari dan musik), mengisi acara pernikahan (penabuh rindik), dan upacara mesangih (potong gigi) yang menampilkan penabuh gender wayang," bebernya.
Kegiatan lain, pernah dilakukan, yakni Sanggar Buratwangi ketika status pasraman tampil di layar lebar dalam acara Buku Catatan Si Unyil, Ayo Bermain, dalam TV nasional. Ada juga acara Ngalawang Barong Bangkung. Kalau secara perorangan, anak-anak Sanggar Burawangi sering mendukung sekeha gong desa lain dalam ajang Pesta kesenian Bali (PKB).
Setelah bergulir program pasraman dari pemerintah yang mewajibkan setiap desa pakraman membuat pasraman, maka Pasraman Buratwangi berubah menjadi sanggar. Buratwangi yang mulai menekuni permainan gender wayang, sehingga didapuk menjadi duta kesenian Kabupaten Tabanan yang tampil pada Lomba Gender Wayang PKB ke-38 2016. "Saat itu Sanggar Buratwangi menyajikan Gending Gender Wayang Khas Tabanan," imbuhnya.
Tak hanya itu, anak-anak sanggar Buratwangi juga pendukung utama kegiatan Festival ke Uma, sebagai penyelenggara kegiatan “Malam Kesetaraan Gender” sebuah diskusi yang diisi demo bermain gender bertepatan dengan Tumpek Wayang. Selain menampilkan penabuh anak-anak dari sanggar tersebut, malam apresiasi seni ini juga diramaikan dengan penampilan Sekaa Gender Sekar Anom, Banjar Dalem Pejaten, Kecamatan Kediri, Tabanan dan Vaughan Hatch seorang penabuh dan pecinta gamelan Bali asal Selandia Baru. *des
Komentar