MUTIARA WEDA: Sentralitas Diri
Yānyana-vadyāni karmani, tāni sevi-tavyāni, no itarāni, yānya-smākagm sucaritāni, tāni tvayo-pāsyāni, no itarāni. (Taittiriya Upanisad, I.xi.3)
Marilah hanya tindakan yang terbebas dari noda saja yang dikerjakan, dan bukan yang lain. Engkau harus mengikuti tindakan yang berbudi luhur, yang tidak bercacat saja, dan bukan yang lain.
SATU kekuatan laten yang ada pada setiap orang adalah ‘sentralitas diri’. Artinya, pusat kebenaran itu ada pada persepsi dirinya. Apapun yang menjadi persepsinya, itulah yang benar. Makanya, hampir semua manusia bingung melihat lingkungan sekitarnya, karena tidak sesuai dengan kebenaran yang dianutnya. Mereka melihat orang di luar dirinya sebagian besar salah. Hanya hal-hal yang sepaham saja dianggap benar, selebihnya salah. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki lingkungan sosial, membangun karakter, akhlak, moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan yang lainnya selalu relevan. Kapan pun dan di mana pun upaya-upaya itu terus dikerjakan, karena menurut persepsinya, pada zamannya mereka hidup, karakter masyarakat dirasa rendah, terjadi degradasi moral, akhlak manusia rendah dan seterusnya. Mereka resah dengan kehidupan sekitarnya dan berupaya melakukan perubahan.
Setiap orang memiliki niat untuk melakukan perubahan itu. Kalaupun ada yang merasa tidak mampu, tetapi paling tidak dia bisa mengatakan orang lain ini dan itu, tetangga satu dan yang lainnya jelek, karakternya tidak bagus dan sejenisnya. Paling tidak, mereka memiliki bahan rumpian untuk mengumpat dan menjelekkan orang lain, punya pandangan bahwa orang di sekitarnya jelek. Sementara mereka yang merasa mampu, oleh karena pengalaman dan pendidikan, atau bahkan petunjuk (titah) Tuhan, mereka berupaya membuat sistem untuk melakukan perubahan. Dengan sistem itu mereka bekerja. Bahkan, karena saking semangatnya membangun dan menjalankan sistem tersebut, mereka ingin ada perubahan ke arah yang benar dengan cepat. Terkadang kegiatannya tersebut sering melukai banyak orang lain di sekitarnya.
Fenomenanya selalu demikian. Orang mempersepsi bahwa banyak terjadi kesalahan di luar sana, sehingga dia belajar bagaimana caranya mengatasi masalah tersebut. Setelah merasa mampu, dia kemudian membangun sistem kerja. Mereka menyebut itu sebagai pengabdian kepada masyarakat, ngayah demi dharma, berjuang demi kebenaran, dan yang lainnya. Hampir semua sistem itu bekerja, karena setiap orang pada prinsipnya ingin merapatkan diri ke sebuah sistem agar dirinya merasa berharga dan memiliki kesempatan untuk ngayah, melayani, dan yang sejenisnya. Semua sistem sibuk, bahkan sampai kekurangan waktu, tenaga, dan dana. Sebagian besar program kerjanya jalan. Namun, ada satu mungkin yang masih jauh terletak di depan. Perjalanannya belum sampai. Apa itu? Visinya untuk membentuk akhlak yang baik, bermoral, berkarakter luhur, dan sejenisnya masih ada di depan. Sehingga, ketika tongkat komando pindah ke generasi berikutnya, mereka itu juga memiliki persepsi yang sama, yakni akhlak masyarakat rendah, tidak bermoral, tidak berkarakter luhur dan sejenisnya, dan memiliki keinginan yang sama untuk melakukan perubahan. Sistem baru pun terbangun. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Di zamannya hidup, orang selalu memiliki persepsi bahwa lingkungan sosialnya perlu diperbaiki, akhlaknya perlu dibangun, moralnya perlu ditingkatkan, dan karakternya perlu dikuatkan. Mereka kemudian berkaca dengan mengatakan bahwa tradisi leluhurnya dulu luar biasa, karakter mereka bagus, moral mereka hebat, dan seterusnya. Dan kemudian, mereka membayangkan kehidupan utopia di depan. Ada yang merefleksikan bahwa kehidupan leluhurnya luar biasa, sehingga mereka membuat sistem untuk mengembalikan hal-hal yang sesuai dengan apa yang dikerjakan para leluhur. Sementara yang lain merefleksikan sesuatu yang berbeda, yakni melakukan inovasi sesuai dengan konteks zamannya. Sehingga, tidak sedikit di antara dua gugusan ini ribut mengenai persepsi dan refleksi atas kebenaran itu.
Uniknya, teks seperti di atas tidak mendukung ini semua. Jika manusia ingin berkembang kesadarannya, menjadi inklusif, dan tercerahkan, ‘sentralitas diri’ itu harus dipermasalahkan. Yang mesti dikerjakan dan diselesaikan adalah ‘sentralitas diri’ itu sendiri, bukan yang lain. Bukan ‘sentralitas diri’ yang digunakan untuk menyelesaikan masalah lain, melainkan ‘ialah’ yang harus dijadikan masalah untuk diselesaikan. Atas dasar itu, instruksinya menjadi demikian: “kerjakan yang hanya tanpa noda dan ikuti yang tidak bercacat saja”, bukan yang lain. *
I Gede Suwantana
Komentar