Serahkan Memori Banding, Gendo: Majelis Hakim Memang Ingin Menghukum Jerinx!
DENPASAR, NusaBali.com
Tim kuasa hukum I Gede Aryastina alias Jerinx mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Denpasar untuk menyerahkan memori banding pada Jumat (11/12). Hadir Ketua Tim, I Wayan ‘Gendo’ Suardana bersama rekan-rekan tim hukum lainnya.
Penyerahan memori banding dari Penasihat Hukum Jerinx dilakukan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Denpasar. Gendo menjelaskan memori banding setebal 72 halaman dan juga dilampiri catatan verbatim dalam setiap persidangan berdasarkan rekaman persidangan dan ad inforandum lainnya. Menurut Gendo hal itu dikarenakan dalam berita acara persidangan serta putusan, majelis hakim yang memeriksa perkara Jerinx hanya memasukkan pertimbangan hukum yang memberatkan Jerinx. “Dalam satu pokok bahasan yang meringankan dibuang, yang memberatkan dimasukkan. Keterangan penting tidak masuk,” ujar Gendo.
Lebih lanjut, Gendo menguraikan hal yang tidak dimasukkan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim adalah hubungan konseptual antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO), dalam hal ini maksudnya anggota IDI yakni para dokter yang menjalankan rekomendasi WHO yakni rapid test. “Padahal, keterangan dokter Widiyasa dalam persidangan ada menerangkan SOP wajib rapid test berasal dari WHO, lalu beberapa alat bukti surat yang menunjukkan hubungan konseptual antara IDI dengan WHO hilang, sehingga pernyataan Jerinx yang mengatakan IDI Kacung WHO seolah-olah bukan fakta. Itu seolah-olah fitnah,” tutur Gendo.
Gendo kemudian kembali menerangkan latar belakang Jerinx yang anti rasis, humanis dan tidak punya rasa benci terhadap dokter tidak masuk dalam berita acara dan putusan. Padahal menurutnya itu penting. “Karena hal tersebut bisa membedakan ujaran biasa dengan ujaran kebencian dan itu bisa dipakai menguji apakah Jrx mempunyai niat untuk menghasut untuk membenci dokter atau tidak. Hakim gagal memahami itu,” sorot Gendo.
Dalam memori banding, tim penasihat hukum lagi-lagi menegaskan bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara tidak adil karena hanya memasukkan keterangan Ahli Bahasa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wahyu Aji Wibowo. “Padahal dalam persidangan ahli bahasa JPU pendidikan formalnya bahasa Inggris, tidak menunjukkan curiculum vitae di persidangan dan tidak ada di website sebagaimana yang ahli bahasa JPU terangkan.”
Sebaliknya ahli bahasa dari penasihat hukum Jerinx, yakni, Jiwa Atmaja yang mengurai soal niat dalam soal ujaran kebencian tidak dimasukkan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim. “Sehingga hakim hanya menguji dari bentuk-bentuk bahasa saja,” tambah Gendo lagi.
Gendo juga menilai bahwa majelis hakim telah melanggar pasal 163 KUHAP yang pada akhirnya keterangan yang memberatkan Jerinx saja yang digunakan sebagai pertimbangan. “Ini seperti dipaksakan,” ujar Gendo.
Lebih jauh, Gendo menjelaskan postingan Jerinx di tanggal 13 Juni 2020 dengan 15 Juni 2020 dipaksakan menyambung oleh majelis hakim. Sedangkan fakta persidangan, baik keterangan saksi dan ahli menyatakan bahwa postingan tanggal 15 Juni 2020 tidak ditujukan kepada siapapun, termasuk IDI. “Hakim memaksakan seolah-olah sebagai perbuatan berlanjut dengan kehendak yang sama,” terang Gendo.
Lalu, Gendo juga menyatakan hal yang memberatkan dimasukkan dalam putusan, yakni perbuatan Jerinx yang membuat perasaan dokter tidak nyaman, Gendo menilai hal tersebut tidak ada tolak ukurnya sehingga itu merupakan asumsi dari majelis hakim. Terakhir, terkait perbuatan walk out Jerinx yang dinilai oleh majelis hakim menghina persidangan, Gendo juga mengajukan informasi tambahan kepada majelis hakim banding bahwa pada sidang sebelumnya (4 November 2020), ada terdakwa yang merokok pada saat sidang dengan agenda pembacaan putusan dan tindakan itu hanya diberikan peringatan oleh salah satu hakim yang memeriksa perkara Jerinx. “Dari semua hal tersebut, kami melihat bahwa majelis hakim ingin menghukum Jerinx,” tegasnya.*cla
Lebih lanjut, Gendo menguraikan hal yang tidak dimasukkan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim adalah hubungan konseptual antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO), dalam hal ini maksudnya anggota IDI yakni para dokter yang menjalankan rekomendasi WHO yakni rapid test. “Padahal, keterangan dokter Widiyasa dalam persidangan ada menerangkan SOP wajib rapid test berasal dari WHO, lalu beberapa alat bukti surat yang menunjukkan hubungan konseptual antara IDI dengan WHO hilang, sehingga pernyataan Jerinx yang mengatakan IDI Kacung WHO seolah-olah bukan fakta. Itu seolah-olah fitnah,” tutur Gendo.
Gendo kemudian kembali menerangkan latar belakang Jerinx yang anti rasis, humanis dan tidak punya rasa benci terhadap dokter tidak masuk dalam berita acara dan putusan. Padahal menurutnya itu penting. “Karena hal tersebut bisa membedakan ujaran biasa dengan ujaran kebencian dan itu bisa dipakai menguji apakah Jrx mempunyai niat untuk menghasut untuk membenci dokter atau tidak. Hakim gagal memahami itu,” sorot Gendo.
Dalam memori banding, tim penasihat hukum lagi-lagi menegaskan bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara tidak adil karena hanya memasukkan keterangan Ahli Bahasa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wahyu Aji Wibowo. “Padahal dalam persidangan ahli bahasa JPU pendidikan formalnya bahasa Inggris, tidak menunjukkan curiculum vitae di persidangan dan tidak ada di website sebagaimana yang ahli bahasa JPU terangkan.”
Sebaliknya ahli bahasa dari penasihat hukum Jerinx, yakni, Jiwa Atmaja yang mengurai soal niat dalam soal ujaran kebencian tidak dimasukkan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim. “Sehingga hakim hanya menguji dari bentuk-bentuk bahasa saja,” tambah Gendo lagi.
Gendo juga menilai bahwa majelis hakim telah melanggar pasal 163 KUHAP yang pada akhirnya keterangan yang memberatkan Jerinx saja yang digunakan sebagai pertimbangan. “Ini seperti dipaksakan,” ujar Gendo.
Lebih jauh, Gendo menjelaskan postingan Jerinx di tanggal 13 Juni 2020 dengan 15 Juni 2020 dipaksakan menyambung oleh majelis hakim. Sedangkan fakta persidangan, baik keterangan saksi dan ahli menyatakan bahwa postingan tanggal 15 Juni 2020 tidak ditujukan kepada siapapun, termasuk IDI. “Hakim memaksakan seolah-olah sebagai perbuatan berlanjut dengan kehendak yang sama,” terang Gendo.
Lalu, Gendo juga menyatakan hal yang memberatkan dimasukkan dalam putusan, yakni perbuatan Jerinx yang membuat perasaan dokter tidak nyaman, Gendo menilai hal tersebut tidak ada tolak ukurnya sehingga itu merupakan asumsi dari majelis hakim. Terakhir, terkait perbuatan walk out Jerinx yang dinilai oleh majelis hakim menghina persidangan, Gendo juga mengajukan informasi tambahan kepada majelis hakim banding bahwa pada sidang sebelumnya (4 November 2020), ada terdakwa yang merokok pada saat sidang dengan agenda pembacaan putusan dan tindakan itu hanya diberikan peringatan oleh salah satu hakim yang memeriksa perkara Jerinx. “Dari semua hal tersebut, kami melihat bahwa majelis hakim ingin menghukum Jerinx,” tegasnya.*cla
Komentar