MUTIARA WEDA: Wiku Ngeraga
Yato vā imāni bhutāni jāyante, yen jātāni jivanti, Yat-prayantya-bhisamvisanti, tad-vijijnāsasva, Tad brahmeti, sa tapo-‘tapyata, sa tapas-taptvā. (Taittiriya Upanisad. III,i.2)
Upayakan untuk mengetahui dengan baik dari mana semua yang ada ini lahir, di mana dari yang lahir itu hidup dan terus eksis, dan ke mana, ketika berangkat mereka semua menuju. Itulah Brahman.
SEPERTI itulah definisi yang diberikan teks tentang Brahman. Di mana menariknya? Ketika kita mendefinisikan suatu benda, biasanya yang kita uraikan adalah properti dan fungsi yang ada pada benda itu. Seperti misalnya ketika kita mendefinisikan tentang ‘sendok’, kita berupaya melihat detail yang ada pada sendok itu beserta fungsinya. Sendok adalah sebuah alat yang terbuat bisa dari metal, plastik atau kayu yang memiliki gagang dan bagian kepalanya cekung untuk menampung sejumlah muatan serta benda ini digunakan untuk makan atau keperluan masak di dapur. Seperti itu kira-kira yang bisa digali dari properti yang ada tentang sendok. Intinya, properti adalah definisi dari sebuah benda. Bagaimana dengan Brahman? Di sini uniknya.
Brahman dinyatakan sebagai keberadaan yang tak terpikirkan, sehingga secara otomatis tidak ada definisi yang bisa diberikan. Dan, memang Brahman tidak perlu didefinisikan, sebab setiap kata yang digunakan untuk menyebut-Nya telah dengan sendirinya bertentangan. Namun, agar sadhaka memiliki pegangan pada pikirannya, teks tetap menyajikannya dengan analogi-analogi atau yang sejenisnya. Teks di atas mencoba mendefinisikan-Nya melalui fenomena yang terjadi di alam ciptaan ini, yang bisa dianggap ‘di luar’ properti-Nya. Siapa Brahman? Ia adalah dari mana segala sesuatu ini berasal, dengannya semua yang lahir itu dipelihara, dan ke mana segala sesuatu itu kembali. Oleh karena properti-Nya tidak bisa dikenali oleh pencerapan panca indria dan nalar pikiran, maka Ia Yang Absolut itu dijelaskan melalui fenomena yang bisa ditangkap dan dikenali.
Definisi itu sepertinya bukanlah poin yang ingin dijelaskan, melainkan hanya pelengkap untuk menginstruksikan yang pokok. Oleh karena Brahman tidak bisa didefinisikan dengan cara apapun, namun toh juga didefinisikan untuk ‘make sense’ dari instruksi sejatinya. Apa itu? ‘Vijijnāsasva’ — senantiasa mengupayakan untuk mengetahui dengan baik atas apa yang tidak bisa didefinisikan itu. Mengapa? Karena yang tidak bisa didefinisikan itulah diri kita yang sejati. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa didefinisikan adalah diri kita yang sejati? Sebab, hal yang bisa didefinisikan adalah objek dari ia yang mendefinisikan (subjek). Tentu, diri kita yang sejati adalah si subjek yang sedang mendefinisikan. Segala sesuatu yang bisa didefinisikan sepenuhnya objek dari yang mendefinisikan. Sehingga dengan demikian, memang benar diri yang sejati itu tak terdefinisikan, sebab ia adalah subjek yang mendefinisikan. Demikianlah kira-kira permenungannya.
Permasalahan yang tersisa adalah bagaimana caranya kita mengerti ‘diri yang sedang mendefinisikan’ tersebut? Hanya inilah sebenarnya yang hendak diperintahkan oleh teks. Untuk ‘make sense’ bahwa perintah untuk meneliti tentang si subjek itu valid dan memang itu satu-satunya dharmanya manusia hidup, hal-hal yang lain mesti dijelaskan, meskipun akhirnya kita tahu bahwa penjelasan itu sendiri tidak menjelaskan apa-apa, dan bahkan untuk beberapa pikiran yang tidak maju, penjelasan itu justru berbahaya. Namun, tidak ada pilihan. Meskipun berbahaya, penjelasan itu tetap penting atas dasar dharma itu sendiri. Teks kemudian bicara teknologi, bicara metode, bicara sistematika kerja, bicara perintah.
Properti yang harus dimiliki agar kita sukses memahami sistematika kerja atau metode atau teknologi tersebut adalah attitude atau pemahaman tertentu yang harus dimiliki. Apa pemahaman dan attitude itu? Yakni, ‘semua itu tidak bisa dikerjakan bersama-sama’ dengan kata lain ‘hanya sendiri’. Itulah pemahaman dan attitude-nya. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kerja tim itu luar biasa, tetapi dalam hal memahami si subjek ini tidak memerlukan ko-operasi apa-apa. Hanya sendiri yang bisa mengerjakan. Kehadiran yang lain adalah gangguan. Kalaupun yang lain dipentingkan kehadirannya, tapi itu tidak dalam rangka menjalani jalan itu, melainkan hanya mengorek informasi tentang jalan itu saja. Jalan itu hanya bisa dijalani sendiri, oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri. Ini mungkin yang dimaksudkan dengan ‘jalan sunyi’ atau ‘wiku ngeraga’. *
I Gede Suwantana
1
Komentar