Rumah Kompos Padangtegal Jadikan Pilah Sampah sebagai Kebiasaan
GIANYAR, NusaBali
Rumah Kompos Desa Adat Padangtegal yang berada di central parkir Monkey Forest merupakan tempat pengolahan sampah, khusus melayani masyarakat Desa Adat Padangtegal, Kelurahan/Kecamatan Ubud.
Berdiri sejak 2012, rumah kompos ini awalnya memaksa warga setempat untuk memilah sampah. Bahkan pemaksaan itu terjadi hamper dua tahun. "Setiap harinya kita memang mengolah sampah yang memang hanya datangnya dari masyarakat Desa Padangtegal, usaha hotel, restoran dan artshop," jelas Manajer Rumah Kompos Padangtegal, Ubud I Dewa Gede Satya Deva saat ditemui Selasa (15/12).
Dijelaskan lajang 27 tahun ini, sampah dibedakan menjadi dua jenis yaitu organik dan anorganik. Pemilihan sampah, menjadi tanggungjawab dari masyarakat atau pelanggan sejak mereka menghasilkan sampah. "Setelah terpilah, baru kita melakukan pengangkutan," jelas pemuda asal Lingkungan Candi Baru, Kelurahan/Kecamatan Gianyar ini.
Teknisi pengangkutan dibagi menjadi dua sesi. Yakni pengangkutan sampah organik mulai pukul 03.00 sampai 07.00 wita. Dilanjutkan dengan pengolahan sampah organik menjadi kompos. Kemudian Pengangkutan sampah an organik mulai 19.00 sampai 24.00 Wita. Sampah anorganik ini, dipilah kembali. "Hanya sisa dari yang sudah kita olah dan pilah saja yang kita kirimkan ke TPA Temesi," jelasnya.
Dalam sehari, Rumah Kompos Padangtegal mengumpulkan sampah warga sekitar 10 ton atau 3 truk. Dari jumlah itu, sekitar 6 sampai 8 ton yang diolah dan dipilah. Sisanya dikirim ke TPA Temesi. "Dari 3 truk, yang kita mampu olah 2 truk. Hanya 1 ke TPA," jelasnya.
Pelanggan rumah kompos, terdiri dari 672 KK dan 600an akomodasi wisata seperti hotel, restoran dan artshop. Per KK dikenakan retribusi cukup tinggi yakni Rp 85.000. Nominal ini, kata Deva sempat dianggap mahal oleh krama. Namun dengan manfaat pelestarian lingkungan secara keberlanjutan dari rumah kompos ini, warga dengan senang hati membayar retribusi tersebut. "Tenggang waktu bayarnya cukup lama, mulai tanggal 1 sampai 20 tiap bulannya. Kita kerjasama dengan Pecalang, warga langsung bayar ke LPD. Karena memang semua pembayaran ke LPD. Jadi tiap bulan kita Terima utuh dari LPD," jelasnya.
Kedepan, pihaknya sedang memikirkan cara untuk berinovasi. "Bagaimana agar pemasukan tidak hanya datang dari retribusi, agar meringankan pelanggan. Jadi pelanggan hanya perlu memilah sampah, rumah kompos juga tetap bisa jalan," ujarnya. Selain itu, saat ini rumah kompos juga menggarap lahan desa dengan sistem pertanian organik. Meski diakui, proses konversi dari sistem pertanian sebelumnya yang biasa menggunakan pupuk kimia ke pupuk organik perlu waktu.
Dikatakan Deva, rumah kompos saat ini baru sebatas mengolah sampah warga setempat. Namun produk berupa pupuk organik, dipasarkan sampai ke luar desa. "Warga bisa beli dalam jumlah 1 kampil, warga luar atau hotel untuk kebun bisa beli kubikan," jelasnya.
Ditugaskan Deva, rumah kompos bukan usaha profit oriented. "Terpenting adalah berkontribusi untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jadi profit tidak dicari dari retribusi atau kompos," jelasnya. Terlebih saat pandemi sekarang ini, pemasukan retribusi dari hotel restoran macet seiring dengan lesunya kunjungan wisata. "Kita punya 600an pelanggan hotel restoran dan artshop. Sebelum pandemi rutin berlangganan, tapi saat pandemi karena mereka juga minim pemasukan jadi kita kena dampak juga. Ada yang istirahat sementara berlangganan sampah," terangnya. Karena kondisi itu pula, tenaga harian rumah kompos bekerja hanya 12 sampai 15 hari dalam sebulan. "Biasanya 26 hari kerja, saat ini banyak liburnya. Tapi kami tidak ada memPHK," tegasnya. Teknisi gaji dihitung harian dengan nominal Rp 91.000 sampai Rp 110.000. "Kita ada 40 tenaga harian dan 3 manajemen," jelasnya. Para tenaga juga diikutkan BPJamsostek.
Sementara Bendesa Adat Padangtegal I Made Gandra menjelaskan, rumah kompos ini tujuannya untuk membiasakan setiap warga memilah sampahnya dari masing-masing rumah tangga. Sehingga yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat diminimalisir jumlahnya.
Made Gandra menjelaskan sebagai masyarakat Bali tentunya sudah menyatu dengan alam sejak dulu. Sehingga adanya keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Khusus untuk lingkungan sendiri, di Desa Padangtegal memiliki hutan kota dan sebuah beji atau sumber mata air.
Untuk itu pihaknya berkomitmen menyelamatkan lingkungan dengan cara pengelolaan sampah atau daur ulang secara bersinambungan.
Selain itu pihaknya juga menyadari bahwa penanganan sampah bukan saja tangung jawab pemerintah. "Jika masing-masing desa adat dapat mengelola sendiri sampah di desanya sebelum dibuang ke TPA permasalahan sampah pasti lebih ringan," ujarnya.
Menurut Gandra, menggarap sampah harus dilakukan secara bersama sama dan ada tempat edukasinya. Tanpa edukasi yang benar atau pengolahan yang benar akan sulit untuk melangkah. "Sejak tahun 2012 itu selama dua tahun kami di sini sangat sulit sekali mengedukasi masyarakat agar bersama -sama memilah sampahnya dari rumah. Namun tiga tahunnya dan sampai saat ini mereka sudah sadar,” jelas Gandra. *nvi
Komentar