Kesaktian Pecut Kyai Macan Gading Hancurkan Teror Burung Gagak
DENPASAR, NusaBali
Dalam perspektif masyarakat Nusantara, kisah-kisah heroik senjata bertuah bukan hanya keris dan tombak.
Pecut juga dikenal sebagai senjata yang digunakan leluhur Nusantara. Senjata yang juga disebut cambuk atau cemeti ini pun acapkali dikisahkan bertuah atau memiliki kekuatan niskala (magis). Di antara kisah-kisah yang terkenal adalah pusaka Cemeti Samandiman milik Bupati Blitar ke-3, Kanjeng Pangeran Sosrohadinegoro (1915-1918). Dikisahkan kesaktiannya bisa mengalihkan jalannya lahar ketika Gunung Kelud meletus. Ada juga kisah, pecut milik Kyai Pan dari Desa Glendang Pakem, Madyopuro yang bisa merobohkan pohon besar sekali sabet, konon ceritanya pohon itu tak bisa ditebang.
Di Bali, kisah kesaktian pecut juga terjadi pada sekitar tahun 1620 M. “Pecut yang memiliki kesaktian itu dipegang oleh Kyai Macan Gading, salah seorang Ksatria Mahottama,” kata I Gusti Ngurah Nitya Santhiarsa, tokoh Puri Peguyangan kepada NusaBali, Kamis (17/12).
Pecut Sakti itu, lanjut Ngurah Nitya, bersanding dengan senjata bertuah lainnya berupa Tulup Empet yang dipercayakan kepada Ksatria Mahottama lainnya, yakni, Kyai Jambe Merik. “Dua senjata itu untuk menghadapi aksi teror burung gagak yang dikenal sebagai Gagak Bencana terhadap Raja Bali Dalem Di Made yang baru saja menggantikan ayahandanya, Dalem Sagening,” kata Ngurah Nitya yang juga akademisi dari Universitas Udayana ini.
Teror Gagak Bencana dilakukan dengan mengobrak-abrik sajian makanan Raja Bali Dalem Di Made. Kejadian ini terus berlangsung, tidak ada satu pun kalangan istana yang mampu mengusir burung gagak tersebut. Rupanya , burung gagak ini bukan burung biasa, namun diyakini mempunyai kekuatan atau kesaktian yang tinggi. “ Akhirnya ada pawisik atau bisikan gaib bahwa hanya Ksatria Mahottama dari Badung (Bandhana) yang mampu mengalahkan burung gagak tersebut, dengan senjata pusaka Pecut dan Tulup,” tutur Ngurah Nitya.
Pada waktu yang ditentukan, kedua Ksatria Mahottma, Kyai Jambe Merik dan Kyai Macan Gading, sudah berada di Istana Gelgel, dengan bersenjatakan pusaka masing-masing, Tulup Empet dan Pecut Sakti, secara serentak melakukan serangan kepada burung gagak, yang memiliki kekuatan dan kecepatan yang besar. Gelombang energi spiritual yang keluar dari Tulup Empet yang dilakukan oleh Kyai Jambe Merik, bersatu atau bersinergi dengan tenaga lecut yang dahsyat dari Pecut yang digerakkan oleh Kyai Macan Gading, berhasil menghancurkan kekuatan dari Gagak Bencana.
Keberhasilan kedua Ksatria Mahottma, disambut sukacita oleh Raja Bali, Dalem Di Made, dan sebagai tanda terimakasih, kemudian menganugerahkan rakyat atau pasukan masing-masing berjumlah 250 orang, jadi total 500 orang. “Pasukan inilah cikal bakal Pasukan Sikep Badung yang sangat terkenal dan handal, tidak pernah terkalahkan dalam setiap pertempuran,” ungkap Ngurah Nitya Santhiarsa.
Kyai Macan Ganding sendiri dikenal juga dengan nama Bhatara Mur Ring Watu Klotok/Kyai Angluran Pemecutan II/Cokorda Pemecutan II (1783-1718).
Sejarah kesaktian pecut Ksatria Mahottama inilah yang kini dibangkitkan kembali dalam Festival Budaya Pecut Ksatria Mahottama yang akan digelar di Puri Gerenceng Denpasar pada 27 Desember mendatang. “Dalam konteks kekinian, kami mengangkat nilai-nilai pecut bukan semata sebagai senjata atau simbol. Namun pecut juga menjadi suatu produk kreatif yang banyak disukai masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional,” kata Ngurah Nitya ditemui Kamis (17/12), di sela-sela persiapan pentas Festival Budaya Pecut. *mao
Di Bali, kisah kesaktian pecut juga terjadi pada sekitar tahun 1620 M. “Pecut yang memiliki kesaktian itu dipegang oleh Kyai Macan Gading, salah seorang Ksatria Mahottama,” kata I Gusti Ngurah Nitya Santhiarsa, tokoh Puri Peguyangan kepada NusaBali, Kamis (17/12).
Pecut Sakti itu, lanjut Ngurah Nitya, bersanding dengan senjata bertuah lainnya berupa Tulup Empet yang dipercayakan kepada Ksatria Mahottama lainnya, yakni, Kyai Jambe Merik. “Dua senjata itu untuk menghadapi aksi teror burung gagak yang dikenal sebagai Gagak Bencana terhadap Raja Bali Dalem Di Made yang baru saja menggantikan ayahandanya, Dalem Sagening,” kata Ngurah Nitya yang juga akademisi dari Universitas Udayana ini.
Teror Gagak Bencana dilakukan dengan mengobrak-abrik sajian makanan Raja Bali Dalem Di Made. Kejadian ini terus berlangsung, tidak ada satu pun kalangan istana yang mampu mengusir burung gagak tersebut. Rupanya , burung gagak ini bukan burung biasa, namun diyakini mempunyai kekuatan atau kesaktian yang tinggi. “ Akhirnya ada pawisik atau bisikan gaib bahwa hanya Ksatria Mahottama dari Badung (Bandhana) yang mampu mengalahkan burung gagak tersebut, dengan senjata pusaka Pecut dan Tulup,” tutur Ngurah Nitya.
Pada waktu yang ditentukan, kedua Ksatria Mahottma, Kyai Jambe Merik dan Kyai Macan Gading, sudah berada di Istana Gelgel, dengan bersenjatakan pusaka masing-masing, Tulup Empet dan Pecut Sakti, secara serentak melakukan serangan kepada burung gagak, yang memiliki kekuatan dan kecepatan yang besar. Gelombang energi spiritual yang keluar dari Tulup Empet yang dilakukan oleh Kyai Jambe Merik, bersatu atau bersinergi dengan tenaga lecut yang dahsyat dari Pecut yang digerakkan oleh Kyai Macan Gading, berhasil menghancurkan kekuatan dari Gagak Bencana.
Keberhasilan kedua Ksatria Mahottma, disambut sukacita oleh Raja Bali, Dalem Di Made, dan sebagai tanda terimakasih, kemudian menganugerahkan rakyat atau pasukan masing-masing berjumlah 250 orang, jadi total 500 orang. “Pasukan inilah cikal bakal Pasukan Sikep Badung yang sangat terkenal dan handal, tidak pernah terkalahkan dalam setiap pertempuran,” ungkap Ngurah Nitya Santhiarsa.
Kyai Macan Ganding sendiri dikenal juga dengan nama Bhatara Mur Ring Watu Klotok/Kyai Angluran Pemecutan II/Cokorda Pemecutan II (1783-1718).
Sejarah kesaktian pecut Ksatria Mahottama inilah yang kini dibangkitkan kembali dalam Festival Budaya Pecut Ksatria Mahottama yang akan digelar di Puri Gerenceng Denpasar pada 27 Desember mendatang. “Dalam konteks kekinian, kami mengangkat nilai-nilai pecut bukan semata sebagai senjata atau simbol. Namun pecut juga menjadi suatu produk kreatif yang banyak disukai masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional,” kata Ngurah Nitya ditemui Kamis (17/12), di sela-sela persiapan pentas Festival Budaya Pecut. *mao
Komentar