Pandemi Covid-19 Mereposisi Gaya Hidup Krama Bali
PROYEKSI 2021: Bidang SOSIAL
DENPASAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 yang berkecamuk sejak Maret 2020 lalu, telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan krama Bali.
Orang terkaya hingga paling miskin, sehat bugar lahir-bathin, terlebih punya penyakit bawaan, sangat takut dengan wabah Corona ini. Pandemi juga telah merusak sistem perekonomian, terutama Bali yang telanjur menggantungkan hidup dari sektor pariwisata. Bukan hanya itu, pandemi Covid-19 juga telah mengubah perilaku sosial, budaya, dan ekonomi krama Bali. Satu-satunya langkah arif yang mesti dijalankan krama Bali yakni mereposisi gaya hidup. Kehidupan yang sebelumnya glamour karena berkelimpahan dolar touristik, mesti kembali ke cara hidup sederhana.
Ada fakta lapangan menarik jika menyimak dampak pandemi Covid-19 terhadap struktur sosial budaya dan ekonomi krama Bali. Sedikitnya ada tiga kelas atau kelompok krama Bali, yang secara ekonomi relatif kebal terhadap dampak pandemi. Kelompok pertama, kelas borjuis, setingkat tuan tanah, pengusaha, termasuk pebisnis bidang pariwisata yang masih nihil menjaminkan aset ke tangan pihak lain. Kelompok ini juga termasuk kelas menengah lama, sarat modal, dan mapan dari hasil malang-melintang di kancah bisnis touristik.
Kesatuan ciri dari kelas tersebut yakni masih bisa plesiran, tetap berdandan rapi, perlente, dan bertahan dengan mode busana bermerek. Mereka aktif menyantap makanan beragam menu di resto-resto mahal. Di antara mereka, ada yang bisa me-nyumbangkan paket sembako kepada warga dekat yang terdampak pandemi. Kalau toh ada yang sedikit pusing, paling banter karena beberapa asetnya kurang terawat. Pikirnya, pasti banyak fasilitas jadi kusam, karatan, hingga termakan ngengat.
Kelompok kedua, orang-orang kelas menengah yang menggantungkan hidup dari anggaran formal negara. Mereka pejabat negara/pemerintahan hingga staf, dengan segenap peran atau profesi masing-masing. Kelas ini tentu bukan aparatur negara yang kreditan bulanannya setara gaji bruto, hingga masih gali lubang tutup lubang. Tak terkecuali, di kelas ini ada segerombolan kolega yang sangat terlatih sampai mahir ikut mengutak-atik pos anggaran negara/daerah, hingga terciprat ke saku pribadinya.
Kelompok ketiga, orang-orang yang terbiasa hidup sederhana atau terpaksa sederhana. Mereka jauh dari gemerlap modernitas yang memanjakan hidup, jauh dari sikap hedonis yang berbiaya tinggi. Mereka terbiasa puas pada satu fokus: pemenuhan kebutuhan hidup primer (makan, pakaian, perumahan).
Hanya saja, kelompok ketiga ini hanya sekelompok kecil, terpinggirkan, jika berobat ringan pun sangat tergantung kartu BPJS yang preminya dibayar pemerintah. Mereka juga sangat jauh dari bising gemerincing dolar pariwisata. Mereka, antara lain, petani penyakap. Mereka amat terlatih merasakan kegagalan panen karena kekeringan atau serangan hama/penyakit tanaman. Hasil olah ladangnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.
Mereka memang tampak miskin, namun tetap ‘punya hati’, berbudi, bahkan naluri bertahan hidup yang tiada tanding. Karena sederhana dan tidak tergantung dari konglomerasi global pariwisata, maka mereka lebih kebal terjangan pandemi Covid-19, ketimbang kelas sosial lainnya.
Satu kelompok yang sesungguhnya amat berat menjalani hidup akibat didera pandemi adalah ‘kelas menengah baru’. Mereka bukan orang miskin. Disebut ‘menengah baru baru’, karena sebelum pandemi Covid-19, mereka sempat nyaris kaya hingga tampak seperti kelas menangah mapan. Mereka punya rumah bagus berikut sanggah (tempat pemujaan keluarga) maprada (berlapis warna emas), punya mobil, dan perhiasan rumah. Semua itu melambangkan diri sebagai sosok krama Bali yang be maan ngalih gae (sudah dapat pekerjaan menghasilkan uang). Anak-anaknya pun sudah mengenyam pendidikan perguruan tinggi.
Biasanya, mereka jadi kelompok tajir (banyak uang) juga karena ikut berkecimpung di dunia pariwisata. Entah kerja di akomodasi jenis hotel, restoran, jasa antar wisatawan, objek pelancongan, di kapal pesiar hingga kerja spa. Di antara mereka, ada yang pelaku wisata mandiri, karena tidak lagi maburuh kepada pihak lain. Misalnya, tour guide bermodalkan mobil pribadi, punya warung wisata, dan lainnya. Bahkan, mereka ada yang punya lebih dari tiga mobil, meski setengahnya masih berstatus cicilan. Berani ngredit ratusan juta rupiah, karena usaha lancar.
Fakta lapangan menjadikan amat sulit membantah bahwa, ‘kelas menengah baru’ ini dapat dikategorikan komunitas yang tergolong paling apes, dibandingkan krama Bali yang masuk daftar korban pandemi. Saat awal-awal pandemi, mereka masih bisa tersenyum dan makan karena ada uang tabungan. Cicilan mobil pun masih boleh ditangguhkan pihak bank, kecuali di rentenir.
Namun, kisaran satu semester usia Covid-19, tabungan kian menipis, menipis dan habis. Akibatnya, mereka putar otak untuk bisa hidup. Maka, di pinggir-pinggir jalan raya menjamur banyak pedagang. Mulai dari berjualan makanan/minuman, pakaian, buah-buahan, jual tisu, hingga dongkelan bahan tanaman bonsai.
Selebihnya, berjualan secara online. Mereka pantang gagal, meski berjualan sering sepi dan jarang untung. Sebagian lagi, mereka pulang kampung untuk bertani/berkebun. Karena hasilnya tak karuan, mereka mencoba usaha lain, sampai bisa makan. Fenomena ini betul-betul menguatkan kebenaran aksioma, hidup ini keras. Padahal mereka rata-rata pekerja pariwisata hingga manajer hotel/restoran, bahkan mantan ‘bos kecil’ rent car atau punya villa.
Sesungguhnya, kelas ini tergolong kaum optimis. Karena mereka adalah orang mapan baru, namun percaturan hidupnya paling awal terskak mat oleh Covid-19 ini. Mesti demikian, bisa ditebak mereka belum kapok-kapok dari sikap mendewakan pariwisata.
Karena tak meyakini dapat melakoni gaginan (pekerjaan) lain yang hasilnya sebesar pariwisata. Maka hasrat agar pariwisata bangkit kembali, menjadi kerinduan yang makin merasuk ke lubuk hati. Sebagaimana pandangan orang kebanyakan, pandemi tak pasti kapan akan berakhir. Vaksin Covid-19 baru akan disuntikkan untuk uji coba pada darah daging orang Indonesia. Belum jelas sejauh mana efektivitasnya menekan sebaran pandemi.
Di lain sisi, hidup tak boleh berhenti. Satu-satunya solusi (sebagian krama Bali telah melakoni), untuk menghadapi segala dampak pandemi, yakni mereposisi gaya hidup. Dalam arti, orang Bali terus menata diri, menyediakan cara–cara lain, entah model baru atau lama, hingga bisa menjalani hidup secara wajar dan terukur. Alih-alih, sangat bagus jika bisa berinovasi. Semakin tak pasti kapan pandemi berhenti, maka reposisi gaya hidup ini akan menjadi sangat fundamental, semacam gerakan kodrati. Artinya, seberat apa pun tantangan dan sepahit apa pun ‘rasa yang ada’, hidup tak boleh dihentikan atau berhenti.
Bagian yang mesti direposisi adalah kebiasaan hidup yang sebelumnya berdandan glamour, hedonis (pemuja kesenangan) hingga holic (kemabukan) untuk kembali ke cara-cara hidup sederhana. Tentu dengan syarat, tanpa merasa kehilangan mar-tabat atau harga diri. Siapa pun dia. Kesederhanaan hanyalah mengurangi ragam hiasan dan citra-citra semu, namun tetap kaya makna.
Sangat baik jika kondisi ini dijadikan pijakan lanjut atas upaya membangun kesadaran baru tentang menjaga ke-Bali-an. Beritual secara Hindu Bali, misalnya, tak lagi mewah meriah ke teben (di luar fungsi utama upacara). Ini pula menjadi ke-sempatan bagi para praktisi Hindu Bali untuk lebih banyak menusukkan kedalaman makna ritual, ketimbang memperbanyak kemeriahan yang hanya profan. Beritual mesti difokus ke titik inti yakni ‘membalas’ utang Tri Rna (Dewa, Pitra, Rsi) secara sujati.
Naluri bertahan hidup mesti dikuatkan ulang. Sebelum pandemi, uang mudah didapat hingga pemenuhan segala konsumsi cenderung liar. Maka kini sedapat mungkin hasrat konsumsi mesti diredam. Biasanya, krama istri atau ibu-ibu, jika ke pura harus dengan dandanan salon. Kini cukup hasil riasan sendiri. Begitu juga krama lanang, kurangi ke tajen dan minum-minuman keras merek asing. Jika harus menghangatkan dada dengan miras (minuman keras), cukup ciiir sesloki arak Bali. *
I Nyoman Wilasa
Wartawan NusaBali
Wartawan NusaBali
Komentar